BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penulisan makalah ini
dilatar belakangi oleh penyelesaian tugas mata kuliah Sosiologi Komunikasi dan
Informasi serta sebagai tambahan pengetahuan bagi saya sebagai penulis dan
pembaca.
Cabang-cabang ilmu
komunikasi merupakan ilmu yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami
teori-teorinya.
Agar teori tersebut
lebih jelas maka saya akan menjelaskan masing-masing teori tersebut beserta
tokoh pencetusnya. Pemikiran, konsep dan teori ini dijabarkan sehingga dapat dengan
jelas di pahami.
B. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui dan memahami cabang-cabang
ilmu komunikasi
2.
Mengetahui dan memahami teori-teori dan
pencetus teori dalam cabang-cabang ilmu komunikasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Komunikasi
Intrapersonal
1.
Definisi
Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi
intrapersonal adalah penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri
komunikator sendiri. Komunikasi intrapersonal merupakan keterlibatan internal
secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari pesan-pesan. Seorang
individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik bagi
dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan. Komunikasi
intrapersonal dapat menjadi pemicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pengetahuan
mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan
kesadaran (awareness) terjadi saat berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh
komunikator. Untuk memahami apa yang terjadi ketika orang saling berkomunikasi,
maka seseorang perlu untuk mengenal diri mereka sendiri dan orang lain. Karena
pemahaman ini diperoleh melalui proses persepsi. Maka pada dasarnya letak
persepsi adalah pada orang yang mempersepsikan, bukan pada suatu ungkapan
ataupun obyek.
Menurut
Lance Morrow dalam majalah Time (1998) mengatakan bahwa “berbicara dengan diri
sendiri sering kali merupakan hal yang yang tidak bermartabat-pikiran jahat,
pembenaran terhadap diri sendiri, serta maki-makian”. Sedangkan menurut Joan
Aitken dan Leonard Shedletsky (1997) menyatakan bahwa komunikasi intrapersonal
sebnarnya lebih dari itu. Komunikasi macam ini melibatkan banyak penilaian akan
perilaku orang lain.
Aktivitas
dari komunikasi intrapribadi yang kita lakukan sehari-hari dalam upaya memahami
diri pribadi diantaranya adalah; berdo’a, bersyukur, instrospeksi diri dengan
meninjau perbuatan kita dan reaksi hati nurani kita, mendayagunakan kehendak
bebas, dan berimajinasi secara kreatif. Pemahaman diri pribadi ini berkembang
sejalan dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam hidup kita. Kita tidak
terlahir dengan pemahaman akan siapa diri kita, tetapi prilaku kita selama ini
memainkan peranan penting bagaimana kita membangun pemahaman diri pribadi ini.
Kesadaran
pribadi (self awareness) memiliki beberapa elemen yang mengacu pada identitas
spesifik dari individu (Fisher 1987:134). Elemen dari kesadaran diri adalah
konsep diri, proses menghargai diri sendiri (self esteem), dan identitas diri
kita yang berbeda beda (multiple selves).
Namun,
pada tahun 1992, Pengertian tentang ‘communication intrapersonal’ itu sendiri
adalah ambigu: banyak definisi tampak melingkar karena mereka meminjam,
menerapkan dan dengan demikian mendistorsi fitur konseptual (misalnya,
pengirim, penerima, pesan, dialog) ditarik dari komunikasi antar-orang normal,
tidak diketahui entitas atau orang -bagian yang diduga melakukan
‘intrapersonal’ tukar, dalam banyak kasus, sebuah bahasa yang sangat pribadi
yang mengemukakan, setelah analisis, ternyata benar-benar dapat diakses dan
akhirnya tidak dapat dipertahankan. Secara umum, komunikasi intrapersonal
tampaknya timbul dari kecenderungan untuk menafsirkan proses mental batin yang
mendahului dan menyertai perilaku komunikatif kita seolah-olah mereka juga
jenis lain proses komunikasi. Titik keseluruhan adalah bahwa rekonstruksi
proses mental batin kita dalam bahasa dan idiom percakapan sehari-hari
masyarakat sangat dipertanyakan, lemah di terbaik.
Elemen-elemen
konsep diri di dalam komunikasi intrapersonal:
1. Konsep
diri
Konsep
diri adalah bagaimana kita memandang diri kita sendiri, biasanya hal ini kita
lakukan dengan penggolongan karakteristik sifat pribadi, karakteristik sifat
sosial, dan peran sosial.
Karakteristik
pribadi adalah sifat-sifat yang kita miliki, paling tidak dalam persepsi kita
mengenai diri kita sendiri. Karakteristik ini dapat bersifat fisik (laki-laiki,
perempuan, tinggi, rendah, cantik, tampan, gemuk, dsb) atau dapat juga mengacu
pada kemampuan tertentu (pandai, pendiam, cakap, dungu, terpelajar, dsb.)
konsep diri sangat erat kaitannya dengan pengetahuan. Apabila pengetahuan
seseorang itu baik/tinggi maka, konsep diri seseorang itu baik pula. Sebaliknya
apabila pengetahuan seseorang itu rendah maka, konsep diri seseorang itu tidak
baik pula.
2. Karakteristik
sosial
Karakteristik
sosial adalah sifat-sifat yang kita tamplikan dalam hubungan kita dengan orang
lain (ramah atau ketus, ekstrovert atau introvert, banyak bicara atau pendiam,
penuh perhatian atau tidak pedulian, dsb). Hal hal ini memengaruhi peran sosial
kita, yaitu segala sesuatu yang mencakup hubungan dengan orang lain dan dalam
masyarakat tertentu.
3. Peran
sosial
Ketika
peran sosial merupakan bagian dari konsep diri, maka kita mendefinisikan
hubungan sosial kita dengan orang lain, seperti: ayah, istri, atau guru. Peran
sosial ini juga dapat terkait dengan budaya, etnik, atau agama. Meskipun
pembahasan kita mengenai 'diri' sejauh ini mengacu pada diri sebagai identitas
tunggal, namun sebenarnya masing-masing dari kita memiliki berbagai identitas
diri yang berbeda (mutiple selves).
4. Identitas
diri yang berbeda
Identitas
berbeda atau multiple selves adalah seseorang kala ia melakukan berbagai
aktivitas, kepentingan, dan hubungan sosial. Ketika kita terlibat dalam
komunikasi antarpribadi, kita memiliki dua diri dalam konsep diri kita.
·
Pertama persepsi mengenai diri kita, dan
persepsi kita tentang persepsi orang lain terhadap kita (meta persepsi).
·
Identitas berbeda juga bisa dilihat kala
kita memandang 'diri ideal' kita, yaitu saat bagian kala konsep diri
memperlihatkan siapa diri kita 'sebenarnya' dan bagian lain memperlihatkan kita
ingin 'menjadi apa' (idealisasi diri)
Ada
tiga level dalm aktifitas komunikasi Intrapersonal, diantaranya :
1. Internal
discourse, merupakan aktifitas individu yang berkaitan dengan kerja berpikir,
berkonsentrasi, dan kerja analisis tentang sesuatu.
2. Solo
vocal communication, merupakan aktifitas komunikasi antarpersonal seperti
berbicara diri sendiri demi memperjelas apa yang seseorang pikirkan dan
mengubahnya sebagai pesan yang dapat dikirimkan bagi sesama.
3. Solo
written communication, merupakan komunikasi antarpersonal-menulis untuk diri
sendiri (catatan harian).
Dalam
komunikasi intrapersonal terjadi pengolahan informasi yang meliputi sensasi,
persepsi, memori, dan bepikir.
a. Sensasi
berasal dari “sense”, artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme
dengan lingkungannya.
Menurut
Benyamin B. Wolman (1973:343) sensasi adalah pengalaman elementer bayang segera,
yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan
terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.
b. Persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Menurut
(Desiderato, 1976:129) persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi
(sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah
bagaian persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak
hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori.
c. Memori
memegang peranan penting dalam mempengaruhi baik persepsi (dengan menyediakan
kerangka rujukan) maupun berpikir.mendalami psikologi kognitif dalam upaya
menemukan cara-cara baru dalam menganalisa pesan dan pengolahan pesan.
Robert
T. Craig (1979) bahkan meminta ahli komunikasi agar
d. Berpikir
adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau
memberikan respons.
2.
Asumsi
Dasar Komunikasi Intrapersonal
Semua
jenis komunikasi intrapersonal yang akan dilakukan oleh individu itu sebenarnya
didatangkan pada konsep diri yang akarnya ada pada konsep diri, persepsi, dan
ekspektasi. Intinya lahirnya komunikasi intrapersonal itu difokuskan pada peranan
diri sendiri.
3.
Para
Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Intrapersonal
a)
Psikologi
Sosial
Psikologi
sosial adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman dan tingkah laku
individu-individu dalam hubungan dengan situasi sosial. Latar belakang
timbulnya psikologi sosial berasal dari beberapa pandapat, misalnya Gabriel
Tarde mengatakan, pokok-pokok teori psikologisosial berpangkal pada proses
imitasi sebagai dasar dari pada interaksi social antar manusia.
Gustave
Le Bon berpendapat bahwa pada manusia terdapat dua macam jiwa yaitu jiwa
individu dan jiwa massa yang masing-masing berlainan sifatnya. Sigmund Freud
berbeda dengan Le Bon, ia berpendapat bahwa jiwa massa itu sebenarnya sudah
terdapat dan tercakup oleh jiwa individu, hanya saja tidakdisadari oleh manusia
itu sendiri karena memang dalam keadaan terpendam.
Pada
tahun 1950 dan 1960 psikologi social tumbuh secara aktif dan program gelar
dalam psikologi dimulai disebagian besar universitas. Dasar mempelajari
psikologi social bedasarkan potensi-potensi manusia dimana potensi ini
mengalami proses perkembangan setelah individu itu hidup dalam lingkungan.
Potensi-potensi itu antara lain :
1. Kemampuan
menggunakan bahasa
2. Adanya
sikap etik
3. Hidup
dalam 3 dimensi
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Pandangan
psikologis ini melihat manusia sebagai kesatuan lahiriah dan nkarakteristik
yang mengarahkannya kepada perilaku mandiri. Dan pandangan ini juga melihat
pikiran individu sebgai tempat memproses dan memahami informasi serta
menghasilkan pesan, tetapi pandangan ini juga mengakui kekuatan yang dimiliki
oleh individu melebihi individu lain serta efek informasi pada pikiran manusia.
Oleh karena itu, hampir tidak mengejutkan jika penjelasan-penjelasan psikologis
telah menarik para ahli komunikasi, terutama dalam kajian perubahan dan
efek-efek interaksi.
Kajian
individu sebagai makhluk sosial merupakan tujuan dari tradisi
(sociopsychological). Berasal dari kajain psikologi sosial, tradisi ini
memiliki tradisi yang kuat dalam komuikasi . Teori-teori tradisi ini berfokus
pada perilakusosial individu, variabel psikologois, efek individu, kepribadian
dan sifat, presepsi, serta kognisi. meskipun teori-teori ini memiliki banyak
perbedaan, mereka sama-sama memperhatikan perilaku dan sifat-sifat pribadi
serta proses kognitif yang menghasilkan perilaku.
Pendekatan
individualis yang memberi citra tradisi sosiopsikologis merupakan hal yang umum
dalam pembahasan komunikasi serta lebih luas dalam ilmu pengetahuan sosial dan
perilaku.
Yang
mendasari teori psikologis sosial ini adalah komunikasi non verbal. Komunikasi
non verbal bisa di tunjukkan berupa ekspresi wajah, sikap badan, dan gerak
isyarat. Didalam komunikasi non verbal ini tidak menggunakan bahasa dan tulisan
seperti komunikasi verbal. Komunikasi non verbal pengungkapan pesannya yaitu
melalui isyarat. Isyarat hanya dapat digambarkan oleh diri pribadi orang itu
sendiri, sehingga proses komunikasipun dalam teori psikologis sosial ini pada
dsaarnya adalah diri sendiri.
b)
Teori
Pengolahan Informasi (Information Processing Theory)
·
Konsep
Pemrosesan Informasi
Teori belajar yang oleh Gagne (1988)
disebut dengan ‘Information Processing Learning Theory’. Teori ini
merupakan gambaran atau model dari kegiatan di dalam otak manusia di saat
memroses suatu informasi. Karenanya teori belajar tadi disebut juga
‘Information-Processing Model’ oleh Lefrancois atau ‘Model Pemrosesan
Informasi’. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses
pembelajaran meliputi delapan fase yaitu :
·
Motivasi
·
Pemahaman
·
Pemerolehan
·
Penyimpanan
·
Ingatan
kembali
·
Generalisasi
·
Perlakuan
·
Umpan
balik
Dalam suatu kegiatan belajar, seseorang menerima informasi
dan kemudian mengolah informasi tersebut di dalam memori. Pemrosesan informasi
dalam memori manusia diproses dan disimpan dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu Sensory Memory, Short-term Memory,dan Long-term Memory.
1. Sensory Memory (SM)
Informasi masuk ke dalam sistem pengolah informasi manusia
melalui berbagai saluran sesuai dengan inderanya. Sistem persepsi bekerja pada
informasi ini untuk menciptakan apa yang kita pahami sebagai persepsi. Karena
keterbatasan kemampuan dan banyaknya informasi yang masuk, tidak semua
informasi bisa diolah. Informasi yang baru saja diterima ini disimpan dalam
suatu ruang sementara (buffer) yang
disebut sensory memory.
Durasi suatu informasi dapat tersimpan di dalam sensory memory ini sangat singkat, kurang dari 1/2 sekon
untuk informasi visual dan sekitar 3 sekon untuk informasi audio. Tahap
pemrosesan informasi tahap pertama ini sangat penting karena menjadi syarat
untuk dapat melakukan pemrosesan informasi di tahap berikutnya, sehingga
perhatian pembelajar terhadap informasi yang baru diterimanya ini menjadi
sangat diperlukan. Pembelajar akan memberikan perhatian yang lebih terhadap
informasi jika informasi tersebut memiliki fituratau ciri khas yang menarik dan jika informasi tersebut
mampu mengaktifkan pola pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (prior knowledge).
2. Short-term Memory (STM) atau
“Working Memory”
Short-term memory atau working memory berhubungan
dengan apa yang sedang dipikirkan seseorang pada suatu saat ketika menerima
stimulus dari lingkungan. Durasi suatu informasi tersimpan di dalam short-term memory adalah 15 – 20
sekon. Durasi penyimpanan di dalamshort-term
memory ini akan bertambah lama, bisa menjadi sampai 20 menit, jika
terdapat pengulangan informasi. Informasi yang masuk ke dalam short-term memory berangsur-angsur
menghilang ketika informasi tersebut tidak lagi diperlukan. Jika informasi
dalamshort-term memory ini
terus digunakan, maka lama-kelamaan informasi tersebut akan masuk ke dalam
tahapan penyimpanan informasi berikutnya, yaitu long-term memory.
3.
Long-term Memory (LTM)
Long-term memory merupakan memory penyimpanan
yang relatif permanen, yang dapat menyimpan informasi meskipun informasi
tersebut mungkin tidak diperlukan lagi. Informasi yang tersimpan di dalam long-term memory diorganisir ke
dalam bentuk struktur pengetahuan tertentu, atau yang disebut dengan schema. Schema mengelompokkan elemen-elemen informasi sesuai dengan
bagaimana nantinya informasi tersebut akan digunakan, sehingga schema memfasilitasi akses
informasi di waktu mendatang ketika akan digunakan (proses memanggil kembali
informasi). Dengan demikian, keahlian seseorang berasal dari pengetahuan yang
tersimpan dalam bentuk schema di
dalam long-term memory,
bukan dari kemampuannya untuk melibatkan diri dengan elemen-elemen informasi
yang belum terorganisasi di dalam long-term
memory.
Penyimpanan informasi dalam long-term memory dapat diumpamakan seperti peristiwa yang
terjadi pada penulisan data ke dalam disket atau hardisk komputer atau pun
perekaman suara ke dalam kaset. Kapasitas penyimpanan dalam long-term memory ini dapat
dikatakan tak terbatas besarnya dengan durasi penyimpanan seumur hidup.
Kapasitas penyimpanan disebut tak terbatas dalam arti bahwa tidak ada seseorang
pun yang pernah kekurangan “ruang” untuk menyimpan informasi baru, berapa pun
umur orang tersebut. Durasi penyimpanan seumur hidup diartikan sebagai
informasi yang sudah masuk di dalam long-term memory tidak akan pernah hilang,
meskipun bisa saja terjadi informasi tersebut tidak berhasil diambil kembali (retrieval) karena beberapa alasan.
Menurut teori Gagne, hasil
pembelajaran merupakan keluaran dari pemrosesan yang berupa kecakapan manusia
(Human Capabilities) yang terdiri atas:
1. Informasi Verbal
Informasi verbal adalah hasil
pembelajaran yang berupa informasi yang dinyatakan dalam bentuk verbal
(kata-kata atau kalimat) baik secara tertulis atau lisan. Informasi verbal
adalah berupa pemberian nama atau label terhadap suatu benda atau fakta,
pemberian definisi atau pengertian, atau perumusan mengenai berbagai hal dalam
bentuk verbal.
2. Kecakapan Intelektual
Kecakapan intelektual adalah
kecakapan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungan yang menggunakan
simbol-simbol. Misalnya simbol-simbol dalam bentuk matematik, seperti
penambahan, pengurangan, pembagian, perkalian dan sebagainya. Kecakapan
intelektual ini mencakup kecakapan dalam membedakan (diskriminasi). Konsep
intelektual sangat diperlukan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3. Strategi Kognitif
Strategi kognitif ialah kecakapan
individu untuk melakukan pengendalian dan mengelola keseluruhan aktifitasnya.
Dalam proses pembelajaran, strategi kognitif ini kemampuan mengendalikan
ingatan dan cara-cara berfikir agar terjadi aktifitas yang efektif. Kalau
kecakapan intelektual lebih banyak terarah kepada proses pemikiran pelajar.
Strategi kognitif ini memberikan kemudahan bagi para pelajar untuk memilih
informasi verbal dan kecakapan intelektual yang sesuai untuk diterapkan selama
proses pembelajaran dan berfikir.
4. Sikap
Sikap ialah hasil pembelajaran yang
berupa kecakapan individu untuk memilih berbagai tindakan yang akan dilakukan.
Dengan kata lain, sikap dapat diartikan sebagai keadaan didalam diri individu
yang akan member arah kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu objek atau
rangsangan. Dalam sikap terdapat pemikiran, peradaan yang menyertai pemikiran,
dan kesiapan untuk bertindak.
5. Kecakapan Motorik
Kecakapan motorik ialah hasil
pembelajaran yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan
fisik.
Dalam pemrosesan informasi terdapat
hambatan-hambatan. Berdasarkan (Cermak & Craik, dalam Craik & Lockhart,
2002), hambatan teori pemrosesan informasi antara lain:
·
Tidak
semua individu mampu melatih memori secara maksimal
·
Proses
internal yang tidak dapat diamati secara langsung
·
Tingkat
kesulitan mengungkap kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam
ingatan
·
Kemampuan
otak tiap individu tidak sama.
R.
Gagne (1988) adalah pencetus teori pemrosesan informasi (information processing
theory), dia berpendapat bahwa “ Dalam pembelajaran itu terjadi proses
penerimaan informasi untuk kemudian diolah, sehingga akan menghasilkan keluaran
dalam bentuk hasil pembelajraan. Dalam pemrosesan informasi itu terjadi adanya
interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal
individu.
Ada
beberapa macam kondisi internal dalam komunikasi intrapersonal;
1. Keadaan
di dalam individu yang diperlukan untuk mencapai hasil pembelajaran
2. Proses
kognitif yang terjadi dalam individu selama proses pembelajaran berlangsung
Sedangkan
kondisi eksternal ialah berbagai rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi
individu dalam proses pembelajaran.
Segala
sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi menjadi lima kategori yang
disebut the domainds of learning, yaitu sebagai berikut :
1. Keterampilan
motoris (motor skill)
Diperlukan
koordinasi dari berbagai gerakan badan.
2. Informasi
verbal
Orang
dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, dan menggambar.
3. Kemampuan
intelektual
Manusia
mengadakan interaksi dengan dunia luar dengan menggunakan simbol¬simbol.
4. Strategi
kognitif
Ini
merupakan organisasi keterampilan yang internal (internal organized skill) yang
perlu untuk belajar mengingat dan berpikir.
5. Sikap
Sikap
ini penting dalam proses belajar, tanpa kemmapuan ini belajar tak akan berhasil
dengan baik.
Selain
itu teori ini membahas juga tentang input, pemrosesan, penyimpanan dan
pencarian kembali informasi pada diri manusia. (Chaplin, 2008). Pada input,
otak bergantung pada penginderaan untuk menemukan informasi yang berasal dari
perangsang lingkungan, dan menyalurkannya ke dalam impuls saraf. Saraf sensoris
dan jalan penyalurnya lewat urat saraf tulang belakang dan pusat-pusat subkortikal,
dapat disamakan dengan saluran di dalam mesin, cuma memiliki satu kapasitas
saluran saja (Chaplin, 2008).
Teori
ini menyatakan bahwa informasi mula-mula disimpan pada sensory storage (gudang
inderawi), kemudian masuk short-term-memory (STM) lalu dilupakan atau dikoding
untuk dimasukkan ke dalam long-term-memory (LTM). Otak manusia dianalogikan
dengan komputer.
Terdapat
dua macam memori: memori ikonis untuk materi yang kita peroleh secara visual,
dan memori ekosis untuk materi yang masuk secara auditif (melalui pendengaran).
Penyimpanan disini berlangsung cepat, hanya berlangsung sepersepuluh sampai
seperempat detik.
Supaya
dapat diingat, informasi harus dapat disandi (encoded) dan masuk pada STM. STM
hanya mampu mengingat tujuh (plus atau minus dua) bit informasi. Jumlah bit
informasi disebut rentangan memori (memori span). Untuk meningkatkan kemampuan
STM, para psikolog menganjurkan kita untuk mengelompokkan informasi;
kelompoknya disebut chunk.
Bila
informasi dapat dipertahankan pada STM, ia akan masuk pada LTM. Inilah yang
umumnya disebut sebagai ingatan. LTM meliputi periode penyimpanan informasi
sejak semenit sampai seumur hidup. Kita dapat memasukkan informasi dari STM ke
LTM dengan chunking, rehearsals, clustering, atau method of loci.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi
yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran.
Berdasarkan
temuan riset linguistik, psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan
model berpikir. Pusat kajiannya pada proses belajar dan menggambarkan cara
individu memanipulasi simbol dan memproses informasi.
c)
Teori
interferensi (interference theory)
Teori
interferensi adalah teori psikologis yang menjelaskan tentang beberapa fitur
dari memori. Ini menyatakan bahwa gangguan terjadi kita belajar tentang hal-hal
yang baru, yang menyebabkan ingatan yang pernah kita simpan didalam otak itu
bisa tergangu, akibat dari itu semua adanya persaingan antara ingatan yang baru
masuk dengan ingatan yang sudah lama yang ada didalam otak kita.
Bergstrom
(1892) psikolog Jerman, yang melakukan studi pertama tentang interferensi.
Eksperimen ini mirip dengan Stroop tugas dan mata pelajaran yang diperlukan
untuk menyortir dua deck kartu kata-kata ke dua tumpukan. Ketika lokasi berubah
untuk tumpukan kedua, menyortir itu akan lebi lambat. Ini menyebabkan sorting
aturan pertama menggangu belajar aturan baru.
Pada
tahun 1924, James J. Jenkins dan Dallenback menunjukkan bahwa pengalaman
sehari-hari dapat mengganggu memori dengan percobaan yang mengakibatkan retensi
yang lebih baik selama periode tidur daripada atas jumlah waktu yang sama yang
ditujukan untuk aktivitas.
Teori
interferensi terbagi menjadi tiga jenis utama yang sangat mempengaruhi proses
psikologis seseorang, diantaranya adalah;
1. Proaktif
2. Retroactive
3. Output
Shiffrin
(1970) memori merupakan meja lilin atau kanvas. Pengalaman adalah lukisan pada
meja lilin atau kanvas itu. Pada kanvas itu sudah terlukis hukum relativitas.
Segera setelah itu Anda mencoba merekam hukum medan gabungan. Yang kedua akan
menyebabkan terhapusnya rekaman yang pertama atau mengaburkannya. Inilah yang
disebut interfensi. Misalkan, anda menghafal halaman pertama dalam kamus
inggris-indonesia kemudian anda berhasil. Teruskan ke halaman kedua. Dan
berhasil juga, tetapi yang di ingat pada halaman pertama akan berkurang. Ini
yang disebut inhibisi retroaktif (hambatan kebelakang). Beberapa experimen
menunjukan bahwa pelajaran yang dihafal sebelum tidur lebih awet dalam ingatan
kita dari pada pelajaran yang dihafal sebelum kegiatan-kegiatan lain.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi
yang mendasari teori ini adalah bahwa ingatan atau rekaman kita dalam otak itu
ada batasan. Rekaman yang kita dalam otak itu memiliki kemampuan penyimpanan
yang terkadang bisa kehapus rekaman itu jika di isi dengan rekaman yang lain.
Disinalah terjadi interferensi. Kaitan dengan komunikasi intrapersonal
terkadang seseoarang yang berbicara di depan public, biasanya seseorang secara
tiba-tiba lupa dengan apa yang ingin dia sampaikan, sebenarnya itu terjadi
karena kita merekam terlalu banyak atau juga bisa di sebabkan rekaman kita
kurang kuat di dalam otak kita.
d)
Teori Aus (Disuse Theory)
Menurut teori ini memori hilang atau
memudar karena waktu. Seperti halnya otot manusia bila dilatih terus-menerus
maka akan kuat. Sejak jaman yunani hingga kini, masih ada orang yang menganggap
bahwa tugas guru adalah melatih ingatan muridnya.
William James, juga Benton J. Underwood
membuktikan dengan eksperimen, bahwa “the more memorizing one does, the poorer
one’s ability to memorize” – makin sering mengingat, makin jelek kemampuan
mengingat.
B.
Komunikasi
Interpersonal
1.
Definisi
Komunikasi Interpersonal
Komunikasi
interpersonal adalah suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang
saling berkomunikasi. Maksud dari Proses ini, yaitu mengacu pada perubahan dan
tindakan (action) yang berlangsung terus-menerus.
Menurut
Joseph A. Devito, komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil
orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Komunikasi
antarpersonal dinilai paling baik dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan,
opini, dan perilaku komunikan. Alasannya adalah karena komunikasi antarpersonal
dilakukan secara tatap muka dimana antara komunikator dan komunikan saling
terjadi kontak pribadi; pribadi komunikator menyentuh pribadi komunikan,
sehingga aka nada umpan balik yang seketika (perkataan, ekspresi wajah, ataupun
gesture). Komunikasi inilah yang dianggap sebagai suatu teknik psikologis
manusiawi.
Komunikasi
interpersonal adalah bukan hal yang tunggal melainkan interpersonal itu
komunikasi diantara dua orang. Semakin banyak kita berinteraksi dengan orang
sebagai individu yang berbeda, semakin interpersonal yang komunikasi tersebut.
Para sarjana studi komunikasi interpersonal bagaimana komunikasi menciptakan
dan memelihara hubungan dan bagaimana mitra berkomunikasi untuk menghadapi tantangan
normal dan Luar Biasa dari mainining keintiman dari waktu ke waktu (Canary Dan
Stafford, 1994; Bebek Dan kayu, 1995; Spencer, 1994; kayu Dan Bebek, 006 ).
Penelitian menunjukkan bahwa rekan-rekan yang mendengarkan secara sensitif dan
berbicara secara terbuka memiliki kesempatan terbesar untuk mempertahankan
hubungan dekat dari waktu ke waktu. Penelitian di bidang ini juga menunjukkan
bahwa komunikasi adalah pengaruh yang penting tentang bagaimana mengembangkan
hubungan pribadi dari waktu ke waktu.
2.
Asumsi
Dasar Komunikasi Interpersonal
Asumsi
dasar komunikasi antarpribadi adalah bahwa setiap orang yang berkomunikasi akan
membuat prediksi pada data psikologis tentang efek atau perilaku komunikasinya,
yaitu bagaimana pihak yang menerima pesan memberikan reaksinya. Jika menurut
persepsi komunikator reaksi komunikan menyenangkan maka ia akan merasa bahwa
komunikasinya telah berhasil.
Setiap
berkomunikasi dengan orang lain kita secara tidak langsung membuat prediksi
tentang efek dan prilaku komunikasinya. Menurut Miller ada tiga tingkatan
analisis yang digunakan dalam melakukan prediksi, yaitu: tingkat kultural,
tingkat sosiologis, dan tingkat psikologis.
Berbicara
mengenai efektivitas komunikasi antarpersonal, Mc. Crosky, Larson dan Knapp
menyatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengusahakan
accuracy yang paling tinggi derajatnya dalam setiap situasi.
Untuk
kesamaan dan ketidak samaan dalam derajat pasangan komunikator dan komunikan
dalam proses komunikasi, Everett M. Rogers mengetengahkan istilah homophily dan
heterophily yang dapat menjelaskan hubungan komunikator dan komunikan dalam
proses komunikasi antar personal. Homophily adalah istilah yang menggambarkan
derajat pasangan perorangan yang berinteraksi yang memiliki kesamaan dalam sifatnya
(attribute). Heterophily adalahh derajat pasangan orang-orang yang berinteraksi
yang berada dalam sifat-sifat tertentu. Dalam situasi bebas memilih, dimana
komunikator dapat berinteraksi dengan salah seorang dari sejumlah komunikan.
Menurut
para psikolog seperti Fordon W. Allport, Erich Fromm, Martin Buber, Carl Rogers
dan Arnold P. Goldstein, menyatakan bahwa hubungan antar personal yang baik
akan membuat, antara lain :
1. Makin
terbukanya seorang pasien mengungkapkan perasaannya,
2. Makin
cenderung ia meneliti perasaanya secara mendalam beserta penolongnya,
3. Makin
cendereng ia mendengar denagn penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang
diberikan penolongnya.
Menurut
Litteljohn (1999) menyatakan komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang
dilakukan antar individu.
Menurut
Agus M. Hardjana (2003:85) komunikasi interpersonal adalah sebuah interaksi
tatap muka anatar dua orang atau beberapa orang, dimana pengirim dapat
menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan
menanggapi pesan secara langsung pula. Pendapat senada juga dikemukakan oleh :
Deddy Mulyana (2008:81) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah
komunikasi antar dua orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal
ataupun non verbal.
Menurut
Trenholm dan jensen (1995:26) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal sebagai
komunikasi antar dua orang secara langsung secara tatap muka (komunikasi
diadik).
Dalam
komunikasi antarpersonal kita mencoba untuk menginterpretasikan makna yang
menyangkut diri kita sendiri, diri orang lain, dan hubungan yang terjadi.
Kesemuanya terjadi melalui suatu proses piker yang melibatkan penarikan
kesimpulan. Masing-masing individu secara simultan akan menggunakan tiga
tataran yang berbeda, yaitu persepsi, metapersepsi dan metametapersepsi.
Ketiganya akan saling mempengaruhi sepanjang proses komunikasi.
Secara
teoritis komunikasi antarpersonal diklasifikasikan menjadi dua jenis menurut
sifatnya, antara lain :
1. Komunikasi
diadik ( dyadic communication ) adalah komunikasi antarpersonal yang
berlangsung antara dua orang yakni seorang komunikator yang menyampaikan pesan
dan seorang lagi komunikan yang menerima pesan.
2. Komunikasi
tridadik (tridadic communication) adalah komunikasi antarpersonal yang pelkunya
terdiri dari tiga orang, yakni seorang komunikator dan dua orang komunikan.
Menurut
Judy C. Pearson, menyebutkan ada enam karakteristik komunikasi antarpersonal,
antaralain:
1. Komunikasi
antarpersonal dimulai dengan diri pribadi (self)
2. Komunikasi
antarpersonal bersifat transaksional
3. Komunikasi
antarpersonal mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi.
4. Komunikasi
antarpersonal mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihak-pihak yang
berkomunikasi
5. Komunikasi
antarpersonal melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu dengan lainnya
(interdependen) dalam proses komunikasi
6. Komunikasi
antarpersonal tidak dapat diubah maupun diulang
Teori-teori
antarpersonal menjelaskan prosesinteraksi antara dua orang (dyad) yang
dilakukan tatap muka atau melalui media. Unit analisi dari komunikasi
antarpersonal adalah dyad dan relasi itu sendiri. Ada empat perspektif khusu
dari studi komunikasi antarpersonal, yaitu:
1. Perspektif
relasional (kualitatif) yang menguraikan komunikasi melalui peranan pengirim
dan penerima yang berbagi dan menciptakan makna pesan secara simultan.
2. Perspektif
situasional (kontekstual), yang menguraikan komunikasi yang terjadi antara dua
orang dalam konteks tertentu.
3. Perspektif
kuantitatif, yang menguraikan komunikasi sebagai interaksi dyadic, termasuk
komunikasi impersonal.
4. Pespektif
strategis, yang menguraikan komunikasi untuk mencapai tujuan antarpersonal
tertentu.
Ada
beberapa sifat komunikasi interpersonal, diantaranya adalah :
a. Komunikasi
itu bersifat spontan dan informal
b. Saling
menerima umpan balik (feedback) secara maksimal
c. Partisipan
berperan fleksibel
3.
Para
Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Interpersonal
a)
Teori
kebutuhan hubungan interpersonal
Gregory
Bateson adalah seorang Antropolog, dia pendiri garis teori ini yang selanjutnya
dikenal dengan komunikasi relasional. Kerjanya mengarah pada pengembangan dua
proposisi mendasar pada mana kebanyakan teori relasional masih bersandar.
Pertama yaitu sifat mendua dari pesan: setiap pertukaran interpersonal membawa
dua pesan, pesan “report” dan pesan “command”. Report message mengandung
substansi atau isi komunikasi, sedangkan command message membuat pernyataan
mengenai hubungan. Dua elemen ini selanjutnya dikenal sebagai “isi pesan” dan
“pesan hubungan”, atau “komunikasi” dan “metakomunikasi”.
Pesan
report menetapkan mengenai apa yang dikatakan, dan pesan command menunjukkan
hubungan diantara komunikator. Isi pesan sederhana seperti “I love you” dapat
dibawakan dalam berbagai cara, dimana masing-masing mengatakan sesuatu secara
berbeda mengenai hubungan. Frasa ini dapat dikatakan dalam cara yang bersifat
dominasi, submissive, pleading (memohon), meragukan, atau mempercayakan. Isi
pesannya sama, tetapi pesan hubungan dapat berbeda pada tiap kasus.
Proposisi
kedua Bateson yaitu bahwa hubungan dapat dikarakterisasi dengan komplementer
atau simetris. Dalam hubungan yang komplementer, sebuah bentuk perilaku diikuti
oleh lawannya. Contoh, perilaku dominan seorang partisipan memperoleh perilaku submissive
dari partisipan lain. Dalam symmetry, tindakan seseorang diikuti oleh jenis
yang sama. Dominasi ketemu dengan sifat dominan, atau submissif ketemu dengan
submissif.
Disini
kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan struktur dalam sistem.
Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka
miliki. Sistem yang mengandung serangkaian pesan submissif akan sangat berbeda
dengan yang mengandung rangkaian pesan yang besifat dominasi. Dan struktur
pesan yang mencampur keduanya adalah berbeda pula.
Meski
Bateson seorang pakar antropologi, gagasannya dengan cepat dibawa kedalam
psikiatri dan diterapkan pada hubungan patologis. Beberapa peneliti komunikasi
memanfaatkan kerja Bateson dan kelompoknya. Aubrey Fisher, salah satu yang
dikenal baik dari kelompok ini, sebagai pemimpin teoritisi sistem. Dalam buku
Perspectives on Human Communication dia menerapkan konsep sistem kedalam
komunikasi.
Analisa
Fisher dimulai dengan perilaku seperti komentar verbal dan tindakan nonverbal
sebagai unit terkecil analisa dalam sistem komunikasi. Perilaku yang dapat
diamati ini dapat dilihat atau didengar dan merupakan satu-satunya ekspresi
pemikiran bagi keterhubungan individu dalam sistem komunikasi. Dari sudut
pandang sistem, perilaku itu sendiri adalah apa yang dihitung, dan struktur
hubungan terdiri atas pola perilaku yang tersusun ini. Dengan kata lain,
hubungan kita dengan orang lain ditentukan oleh bagaimana kedua kita bertindak
dan apa yang kita katakan.
Pola
komunikasi dibentuk oleh sekuen tindakan. Ketika kita berkomunikasi kita
bertindak dan bereaksi dalam sekuen, jadi interaksi adalah arus pesan. Fisher
percaya bahwa arus bicara dengan dirinya sendiri mengatakan sedikit mengenai
komunikasi, sehingga harus dipecah kedalam unit-unit yang mengandung tindakan
dan respon. Fisher mengembangkan metode untuk mengetahui semua pola percakapan,
yang terdiri atas pesan-pesan penyandian, sehingga pola respon dapat
ditetapkan.
Unit
yang paling dasar dari komunikasi dipakai Fisher adalah interact, atau
rangkaian dua pesan yang bersambungan diantara dua orang.
Contohnya
yaitu pertanyaan dari orang pertama diikuti oleh jawaban dari orang kedua.
Pertanyaan yang diikuti oleh jawaban akan berbeda dari permintaan yang diikuti
persetujuan. Permintan yang diikuti oleh penawaran adalah berbeda dari
suggestion atau saran yang diikuti oleh keberatan. Interaksi dikombinasikan
kedalam unit yang lebih besar disebut double interact (tiga tindakan), dan
selanjutnya dikombinasi lagi kedalam triple interact (empat tindakan). Struktur
dari keseluruhan interaksi merupakan rangkaian interaksi yang makin lama makin
membesar. Kebanyakan kerja Fisher melibatkan pembuatan keputusan dalam kelompok
kecil. Dalam risetnya dia menyandi apa yang orang katakan dalam diskusi
kelompok dan menganalisa interaksi ini dalam cara yang seluruh pola, atau
struktur dari diskusi dapat digambarkan. Fisher menunjukkan bagaimana interaksi
berkombinasi dengan bentuk fase pemuatan keputusan kelompok.
Diantara
periset yang terkenal dalam komunikasi relasional adalah Edna Rogers dan Frank
Millar. Kerja Millar dan Rogers merupakan aplikasi langsung dari gagasa Bateson
dan konsisten dengan teori Fisher. Secara khusus, mereka bertanggung jawab bagi
pengembangan metode riset mengenai pengkode-an dan pengelompokan pola
relasional. Seperti Fisher, Millar dan Rogers mengamati percakapan dan kode
tindakan komunikasi dalam suatu cara yang membiarkan mereka menemukan pola yang
diciptakan melalui interaksi. Dari risetnya mereka mengembangkan teori yang menunjukkan
bagaimana hubungan mengandung struktur kontrol, kepercayaan, dan keakraban.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Adalah
satu bagian dalam lapangan komunikasi yang dikenal sebagai relational
communication sangat dipengaruhi oleh teori sistem. Inti dari kerja ini adalah
asumsi bahwa fungsi komunikasi interpersonal untuk membuat, membina, dan
mengubah hubungan dan bahwa hubungan pada gilirannya akan mempengaruhi sifat
komunikasi interpersonal.
Poin
ini berdasar pada gagasan bahwa komunikasi sebagai interaksi yang menciptakan
struktur hubungan. Dlaam keluarga misalnya, anggota individu secara sendirian
tidak membentuk sebuah sistem, tetapi ketika berinteraksi antara satu dengan
anggota lainnya, pola yang dihasilkan memberi bentuk pada keluarga. Gagasan sistem
yang penting ini secara luas diadopsi dalam lapangan komunikasi. Proses dan
bentuk merupakan dua sisi mata uang; saling menentukan satu sama lain.
b)
Teori
Analisis Transaksional (Transactional Analysis Theory)
Menurut
International Association Transaksional Analisis, Analisis Transaksional adalah
teori kepribadian dan psikoterapi sistematis untuk pertumbuhan pribadi dan
perubahan pribadi.
a. Sebagai
teori kepribadian, TA menggambarkan bagaimana orang-orang yang terstruktur
psikologis. Ia menggunakan apa yang mungkin modelnya yang paling terkenal,
ego-negara (Parent-Adult-Anak) model untuk melakukan hal ini (kita akan
membahas tiga negara ego kemudian dalam makalah ini). Model yang sama membantu
menjelaskan bagaimana orang fungsi dan mengekspresikan kepribadian mereka dalam
perilaku mereka.
b. Ini
adalah teori komunikasi yang dapat diperluas untuk analisis sistem dan
organisasi.
c. Ia
menawarkan teori untuk perkembangan anak, dengan menjelaskan bagaimana kita
dewasa pola hidup berasal dari masa kanak-kanak. Penjelasan ini didasarkan pada
gagasan tentang “Hidup Script”: asumsi bahwa kami terus strategi masa
kanak-kanak kembali bermain, bahkan ketika hasil ini dalam sakit atau
kekalahan.
d. Dalam
aplikasi praktis, dapat digunakan dalam diagnosis dan perawatan berbagai jenis
gangguan psikologis, dan menyediakan sebuah metode terapi untuk perorangan,
pasangan, keluarga dan kelompok.
e. Luar
bidang terapi, telah digunakan dalam pendidikan, untuk membantu guru tetap
komunikasi yang jelas pada tingkat yang tepat, dalam konseling dan konsultasi,
dalam pelatihan manajemen dan komunikasi, dan oleh badan-badan lain.
Teori
analisis transaksional memandang hubungan sebagai sebuah system. Setiap system
memiliki sifat-sifat structural, integrative, dan medan. Semua system terdiri
dari subsistem-subsistem yang saling tergantung dan bertindak bersama sebagai
satu kesatuan.
Teori
ini dikemukakan oleh seorang psikiater jenius Amerika bernama Eric Berne yang
lahir di Montreal Kanada 10 Mei 1910. Kemunculan teori ini tidak dapat
dilepaskan dari perasaan dari perasaan kecewa Berne terhadap praktek psikiatri
yang menurutnya menuntut biaya terlalu mahal tetapi hasil yang dapat
diperdebatkan serta sukar dimengerti. Atas dasar inilah, Berne terdorong untuk
mengahsilkan teori dan metode psikiatri yang betul-betul dapat mengak misteri
dibalik perilaku manusia yaitu pada otak yang merupakan suatu system.
Haree
dan Lamb (1996) mendefinisikan teori analisis transaksional sebagai sesuatu
teori kepribadian dan tingkah laku social yang dipakai sebagai wahana untuk
psikioterapi dan perubahan social yang lebih umum. Konsep kepribadian dan
prilaku social dalam teori ini dipandang sebagai satu kesatuan dimana struktur
kepribadian seseorang diyakini akan mempengaruhi cara yang bersangkutan
berinteraksi secara social. Komunikasi atau tindakan membina hubungan dengan
orang lain merupakan wujud interaksi social. Karena alasan ini kemudian
analisis transaksional menempatkan tindakan komunikasi antar manusia sebagai
bagian yang tak terlepaskan.
menurut
teori analisis transaksional, ketika dua lebih orang bertemu, cepat atau
lambat; salah satu dari mereka akan menyapa atau memberikan indikasi lainnya
atas kehadiran orang lain. Hal ini disebut “ Stimulus Transaksional”. Orang
lain tersebut kemudian akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan stimulus yang diterima. Respon yang diberikan orang lain tersebut
dinamai “Tanggapan Transaksional”. Orang yang menyampaikan stimulus disebut
“agen” dan orang yang merespon disebut “Responden”.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Berne
mengajukan beberapa asumsi dasar yang melandasi teorinya, yaitu:
1. Manusia
pada dasarnya dalam keadaan “oke”. Ini lebih merupakan pernyataan kualitas atau
potensial ketimbang keadaan actual. Masing-masing manusia selalu berniali,
berguna dan memiliki kemampuan-kemampuan tertentu sehingga layak diperlakukan
secara patut.
2. Semua
orang memiliki kapasitas untuk berfikir
3. Manusia
memutuskan sendiri jalan hidup mereka sendiri dengan membuat keputusan pada
naskah awal kehidupan mereka, dan keputusan itu dapat diubah.
Tujuan
teori analisis transaksional adalah menghasilkan hubungan atau komunikasi yang
efektif dan memuaskan kedua belah pihak. Menurut teori ini titik tolak untuk
memahami perilaku komunikasi manusia adalah dengan memahami sumber yang
mendorong perilaku tersebut yakni Egostate.
c)
Teori
Proksemik
Proksemik
adalah studi tentang penggunaan jarak dalam menyampaikan pesan; istilah ini
dilahirkan oleh antropolog interkultural Edward T. Hall. Hall membagi jarak ke
dalam empat corak: jarak publik, jarak sosial, jarak personal, dan jarak akrab.
Jarak yang dibuat individu dalam hubungannya dengan orang lain menunjukkan
tingkat keakraban di antara mereka.
Proksemik
menurut Hall adalah bentuk lain untuk menjelaskan hubungan antara pengamatanya
dan teori tentang bagaimana seseorang menggunakan ruang yang khusus dalam
kebudayaan dan kebiasaan untuk berkomunikasi antarpersonal. Sebuah definisi
khusus lagi tentang proksemik adalah studi tentang bagaiman seorang secara
tidak sadar terlibat dalam struktur ruang atau jarak fisik antara manusia
sebagai sesuatu keteraturan, tertib pergaulan setiap harinya. Konsep ini
sebenarnya konsep yang dianalogikan dari studi-studi para arsitek wilayah
perkotaan tentang bagaimana pengamanan suatu kota sebagai pemukiman.
Asumsi Dasar Teori
Ada
tiga bentuk dasar ruang antarpersonal yang dikemukakan Hall, antara lain :
1. Fixed
feature space adalah suatu struktur yang tidak dapat digerakan tanpa
persetujuan kita.
2. Semi
fixed feature space adalah struktur ruang yang sebagaiannya bisa di gerakan
atas kehendak kita atau jangkauan kita.
3. Informal
Space adalah ruang atau wilayah di sekitar badan kita dengan orang lain.
Hall
mengemukakan bahwa pada saat seseorang terlibat dalam komunikasi antarpersonal
dengan orang lain maka bisa terjadi delapan kemungkinan katagori utama dari
analisis proksemik, antara lain :
1. Posture-sex
factor, yaitu jarak antara pasangan waktu berhubungan sex.
2. Sociofugal-sociopetal
axis, adalah adanya hambatan ruang antarpersonaldalam berinteraksi, jika tidak
ada hambatan disebut socialpetal axis.
3. Kinesthetic
factor, yaitu perilaku prosemik dengan kebiasaan menyentuh tubuh sehingga
menunjukan tingkat keakraban antarpartisipan.
4. Perilaku
meraba dan menyentuh, seseorang mungkin dilibatkan dalam setiap cara
meraba-raba, menyentuh, memegang, mengusap, menyinggung, mengecapi makanan dan
minuman, memperpanjang pegangan, membuat tekanan-tekanan pada pegangan,
sentuhan mendadak, ataupun kebetulan menyentuh.
5. Visual
code, kebiasaan kontak mata dengan jangkauan (saling memandang) dan tidak ada
kontak sama sekali.
6. Thermal
code, mengamati kehangatan dari komunikator terhadap lainnya.
7. Olfactory
code, factor ini termasuk jenis dan tingkat kehangatan yang terlibat waktu
orang bercakap-cakap.
8. Voice
loudness, kekuatan suara waktu berbicara dihubungkan secara langsung dengan
ruang antarpersonal.
d) Uncertainty Reduction Theory (Teori Pengurangan Ketidakpastian)
Tujuan penyusunan teori pengurangan ketidakpastian
ini adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi
ketidakpastian di antara orang asing yang terlibat dalam pembicaraan satu sama
lain untuk pertama kali. Saat pertama kali bertemu, orang bertindak sebagai
peneliti yang naïf, yang termotivasi untuk memprediksi maupun untuk menjelaskan
apa yang terjadi dalam perjumpaan – perjumpaan awal.
Teori ini menyebutkan bahwa ada dua tipe ketidakpastian
dari perjumpaan awal, yaitu :
1. Ketidakpastian
Kognitif (Cognitive uncertainty) merupakan
tingkatan ketidakpastian yang diasosiasikan dengan keyakinan dan sikap.
2. Ketidakpastian
Perilaku (Behavioral uncertainty), dilain pihak berkenaan dengan
luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan.
Contoh kasus :
Suatu hari Christian menunggu waktu kuliah di kampus. Di
sebelahnya duduk seorang wanita yang tidak dikenalnya, yang merupakan mahasiswi
kampus UAJY
juga. Setelah 5 menit berlalu, mereka merasa saling tidak
nyaman dengan suasana tegang karena mereka tidak saling mengenal dan terus
berdiam diri. Ada rasa ketidakpastian apakah orang di sebelahnya merasa tidak
nyaman atau berpikir bahwa orang di sebelahnya itu sombong karena tidak menyapa
dan tidak mengajak berkenalan. Akhirnya Christian menyapa wanita itu dan
mengajaknya berkenalan, belum lama mereka mengobrol akhirnya mereka masuk ke
kelas masing – masing. Christian mengalami ketidakpastian kembali dengan
berpikir, apakah wanita itu menganggapnya “sok kenal”? tapi Christian memiliki
keinginan untuk mengurangi ketidakpastian tersebut dengan mengajak wanita itu berkenalan, oleh karena itu dia mungkin lebih
mengerti lebih baik tentang kemungkinan tingkah laku dari orang itu.
Asumsi Uncertainty Reduction Theory (Teori Pengurangan
Ketidakpastian)
Teori ini meliputi tujuh (7) asumsi :
1. Orang mengalami ketidakpastian dalam latar
interpersonal. Karena terdapat
harapan yang berbeda – beda mengenai kejadian interpersonal , maka orang akan
merasa tidak pasti atau bahkan cemas untuk bertemu dengan orang lain.
2. Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan,
menimbulkan stress secara kognitif. Berada
dalam ketidakpastian membutuhkan energy emosional dan psikologis yang banyak.
Orang-orang yang dalam kerja barunya mengalami stress dengan sekitarnya.
3. Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka
adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan
prediktabilitas.Meningkatkan prediktabilitas dengan mencari informasi yang
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan.
4. Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses
perkembangan yang terjadi melalui tahapan – tahapan. Fase awal (awal interaksi di anntara
orang asing) Fase personal (tahapan ketika orng mulai berkomunikasi dengan
lebih spontan dan membuka banyak informasi personal) Fase Akhir (memutuskan
apakah hubungan tersebut akan diteruskan atau dihentikan).
5. Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk
mengurangi ketidakpastian.
Komunikasi interpesornal mensyartakan beberapa kondisi,
yaitu kemampuan untuk mendengar, tanda respon non-verbal, dan bahasa yang sama.
Tantangan seperti ini mempengaruhi proses pengurangan ketidakpastian dan
pengembangan hubungan.
6. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang
berubah seiring berjalannya waktu. Komunikasi
interpersonal adalah perkembangan, yang diawali oleh interaksi awal sebagai
elemen kunci keberhasilannya.
7. Sangat mungkin menduga perilaku orang dengan
menggunakan cara seperti hukum.
Perilaku manusia diatur oleh prinsip – prinsip umum yang
berfungsi dengan cara seperti hukum.
Aksioma Uncertainty Reduction Theory (Teori Pengurangan
Ketidakpastian)
Uncertanty Reduction Theory mengemukakan adanya tujuh
aksioma (kebenaran yang ditarik dari penelitian sebelumnya dan akal sehat) :
1. Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi pada
permulaan fase awal, ketika jumlah komunikasi verbal antara dua orang asing
meningkat, tingkat ketidakpastian untuk tiap partisipan dalam suatu hubungan
akan menurun. Jika ketidakpastian menurun, jumlah komunikasi verbal akan
meningkat. Hal ini menyatakan adanya kebalikan atau hubungan negative antara
ketidakpastian dan komunikasi verbal.
2. Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat
ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan
tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif
nonverbal. Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negative.
3. Tingkat ketidakpastian yang tinggi menyebabkan
menungkatnya perilaku pencarian infromasi. Ketika tingkat ketidakpastian
menurun, perilaku pencarian informasi juga menurun. Aksioma ini menunjukan
hubungan yang positif antara dua konsep tersebut.
4. Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam sebuah
hubungan menyebabkan penurunan tingkat keintiman dari isi komunikasi. Tingkat
ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi. Aksioma
ni memeprlihatkan hubungan yang negative antara ketidakpastian dan tingkat
keintiman.
5. Ketidkapastian yang tingkat tinggi menghasilkan
tingkat resiprositas yang tinggi. Tingkat ketidakpastian yang rendah
menghasilkan tingkay resiprositas yang rendah pula. Hubungan yang positif
terjadi disini.
6. Kemiripan di antara orang akan mengurangi
ketidakpastian, sementara ketidakmiripan akan meningkatkan ketidakpastian.
Aksioma ini menyakan sebuah hubungan yang negative.
7. Peningkatan ketidakpastian akan menghasilkan penurunan
dalam kesukaan; penurunan dalam ketidakpastian menghasilkan peningkatan dalam
kesukaan. Ini merupakan hubungan negatif.
C.
KOMUNIKASI
KELOMPOK
1.
Definisi
Komunikasi Kelompok
Kelompok
adalah sekumpulan orang – orang yang terdiri darii tiga atau lebih. Kelompok
memiliki hubungan yang intensif di antara mereka satu sama lainnya, terutama
kelompok primer. Intensitas hubungan di antara mereka merupakan persyaratan
utama yang dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok tersebut. kelompok kecil
adalah sekumpulan perorangan yang relatif kecil yang masing-masing dihubungkan
oleh beberapa tujuan yang sama dan mempunyai derajat organisasi tertentu di
antara mereka.
Menurut
Dedy Mulyana kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama
yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu
sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut.
Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, atau suatu komite yang
tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Pada komunikasi kelompok, juga
melibatkan komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan teori komunikasi
antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
Menurut
Anwar Arifin komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara
beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan,
konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam
Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara
tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui,
seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana
anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang
lain secara tepat. Dari dua definisi di atas mempunyai kesamaan, yakni adanya
komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu umtuk
mencapai tujuan kelompok.
Karakteristik
kelompok kecil adalah sebagai berikut :
1. Jumahnya
cukup kecil sehingga semua anggota bisa berkomunikasi dengan mudah sebagai
pengirim maupun penerima.
2. Para
anggota kelompok harus dihubungkan satu sama lain dengan beberapa cara.
3. Di
antara anggota kelompok harus ada beberapa tujuan yang sama.
4. Para
anggota kelompok harus dihubungkan oleh beberapa aturan dan struktur yang
terorganisasi.
Kelompok
kecil melaksanakan kegiatannya dengan berbagai format. Format yang paling
populer adalah panel atau meja-bundar, seminar, simposium, dan simposium-forum.
Panel
atau Meja Bundar. Dalam format panel atau meja bundar, anggota kelompok
mengatur diri mereka sendiri dalam pola melingkar atau semi-melingkar. Mereka
berbagi informasi atau memecahkan permasalahan tanpa pengaturan siapa dan kapan
mereka berbicara. Anggota akan memberikan kontribusinya jika mereka sendiri
merasakan merasakan layak itu.
Seminar.
Dalam seminar, anggota kelompok adalah “para pakar” dan berpartisipasi dalam
format panel atau meja bundar. Perbedaannya adalah dalam seminar terdapat
peserta yang anggotanya diminta untuk berkontribusi. Mereka ini bisa diminta
untuk mengajukan pertanyaan atau memberikan beberapa umpan balik.
Simposium,
setiap anggota menyajikan presentasi yang telah disiapkan, seperti halnya
pidato di depan umum. Semua pembicara menilik dari aspek yang berbeda mengenai
suatu topik. Dalam simposium, pemimpin akan memperkenalkan para pembicara,
mengatur alur dari satu pembicara ke pembicara lain, dan bisa juga menyampaikan
ringkasannya secara berkala.
Simposium-Forum.
Simposium-forum terdiri dari dua bagian: simposium, dengan pembicara yang sudah
disiapkan, dan forum, yang mempersilakan para hadirin untuk mengajukan
pertanyaan dan dijawab oleh pembicara. Pimpinan akan memperkenalkan para
pembicara dan menjadi moderator dalam acara tanya jawab.
Keberadaan
suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan dengan adanya fungsi-fungsi yang
dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut, antara lain fungsi hubungan sosial,
fungsi pendidikan, fungsi persuasi, fungsi pemecahan masalah, fungsi pembuatan
keputusan, dan fungsi terapi.
Berikut
beberapa klasifikasi kelompok dan karakteristik komunikasinya menurut para ahli
:
·
Kelompok primer dan sekunder.
Charles
Horton Cooley pada tahun 1909 (dalam Jalaludin Rakhmat, 1994) mengatakan bahwa
kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan
akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan
kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak
akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita.
Jalaludin
Rakhmat membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya :
a. Kualitas
komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam, artinya
menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur
backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana pribadi saja). Meluas,
artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara
berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.
b. Komunikasi
kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan
kelompok primer adalah sebaliknya.
c. Komunikasi
kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.
d. Komunikasi
pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder
nonpersonal.
e. Komunikasi
kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental.
·
Kelompok keanggotaan dan kelompok
rujukan.
Theodore
Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan
kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang
anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu.
Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur
(standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Menurut
teori, kelompok rujukan mempunyai tiga fungsi: fungsi komparatif, fungsi
normatif, dan fungsi perspektif.
·
Kelompok deskriptif dan kelompok
preskriptif
John
F. Cragan dan David W. Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif
dan peskriptif. Kategori deskriptif melihat proses pembentukan kelompok secara
alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif
dibedakan menjadi tiga:
a. kelompok
tugas.
b. kelompok
pertemuan.
c. kelompok
penyadar.
2.
Asumsi
Dasar Komunikasi Kelompok
Para
Psikolog Sosisal juga mengenal mode. Pada tahun 1960-an, tema uatama mereka
adalah persepsi sosial. Pada dasawarsa ini berikutnya, tema ini memudaar. Studi
tentang pembentukan dan perubhan sikap juga mengalami pasang surut. Pernah
menjadi mode sampai tahun 1950-an, memudar pada dasawarsa berikutnya., dan
populer lagi pada akhir 1970-an. Begitu pula study kelompok. Pada tahun
1940-an, ketika dunia dilanda perang, kelompok menjadi pusat perhatian. Setelah
perang beralih ke individu, dan bertahan sampai dengan tahun 1970-an. Akhir 1970-an,
minat yang tinggi tumbuh kembali pada study kelompok, dan seperti yang
diramalkan oleh Steiner (1974) menjadi dominan pada tahun 1980-an. Para
pendidik melihat komunikasi kelompok sebgai metode pendidikan yang efektif.
Menemukan komunikasi kelompok sebagai wadah yang tepat untuk melahirkan ggasan
kreatif, sedangkan para psikiater komunikasi kelompok sebagai wahana untuk
memperbaharui kesehatan mental serat para ideolog juga menyaksiakan komunikasi
kelompok sebgai sarana untuk meningkatkankesadaran politik ideologis. Minat
yang tinggitelah memperkaya pengetahuan kita tentang berbagai jenis kelompok
dan pengaruh kelompok pada perilaku kita.
3.
Para
Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Kelompok
a)
Sosial
Exchange Model (Model Pertukaran Sosial)
Dalam
teori pertukaran sosial, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi :
Anda mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya. Diterapkan pada
penetrasi sosial, Anda akan menyingkap informasi tentang diri Anda ketika rasio
biaya manfaatnya sesuai bagi Anda.
Menurut
Altman dan Taylor, rekan dalam berhubungan tersebut pada saat tertentu, tetapi
juga menggunakan informasi yang ada pada mereka juga menggunakan informasiyang
ada pada mereka untuk memperkirakan manfaat dan bioaya di masa yang akan
datang. Selama manfaat lebih besar dari biayanya, pasangan tersebut akan
semakin dekat dengan lebih banyak berbagi dan lebih banyak informasi pribadi.
Menurut
Thibaut dan Kelley yang mengemukakan bahwa orang meng evaluasi hubungan dengan
orang lain. Model ini memandang hubungan antarpersonal sebagai suatu transaksi
dagang, maksudnya adalah orang hubungan dengan orang lain karena mengharapkan
sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Asumsi Dasar Sosial Exchange Model
Altman
dan Taylor menyatakan ada empat tahap dalam pengembangan sosial dalam proses
komunikasi dalam kehidupan manusia, diantaranya :
1. Orientasi
Orientasi
terdiri atas komunikasi tidak dengan orang tertentu, dimana seseorang hanya
mengungkapkan informasi yang sangat umum. Jika manfaat ini bermanfaat bagi pelaku
hubungan, mereka akan bergerak ke tahap selanjutnya, yaitu ketahap pertukaran
afektif eksploratif.
2. Pertukaran
afektif eksploratif
Gerakan
yang menuju sebuah tingkat yang lebih dalam dari pengungkapan yang terjadi.
3. Pertukaran
afektif
Pertukaran
afektif terpusat pada perasaan mengkritik dan mengevaluasi pada tingkat yang
lebih dalam. Thap ini tidak akan dimasuki kecuali mereka menerima manfaat yang
besar yang sesuai dengan biaya dalam tahap sebelumnya.
4. Pertukaran
yang seimbang
Kedekatan
yang tinggi dan memungkinkan mereka untuk saling memperkirakan tindakan dan
respons dengan baik.
Menurut
Thibaut dan Kelley, asumsi dasar yang mendasari seluruh analisisnya bahwa
setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalm hubungan social hanya
selama hubungan tersebut cukup memuaskan di tinjau dari beberapa segi, antara
lain :
1. Ganjaran
adalah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu
hubungan.
2. Biaya
adalah akibat yang dinilai negative yang terjadi dalam suatu hubungan.
3. Hasil
atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya
4. Tingkat
perbandingan menunjukan ukuran baku (standar) yang dipaki sebagai criteria
dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang.
Dengan
mempertimbangkan konsekuensinya, khusus terhadap ganjaran yang diperoleh dan
upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam
hubungan tersebut atau meninggalkannya. Ukuran bagi keseimbangan antara
ganjaran dan upaya ini disebut comparison levels, dimana di atas ambang ukuran
tersebut orangkan merasa puas dengan hubungan.
Roloff
(1981) mengemukakan bahwa asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan upaya
tidak bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengekploitasi, tetapi bahwa
orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang
diinginkan. Hubungan yang ideal akan terjadi bilamana kedua belah pihak dapat
saling memberikan cukup keuntungan sehingga berhubungan tersebut menjadi sumber
yang dapat diandalkan bagi kepuasan kedua belah pihak.
b)
Fundamental
Interpersonal Relations Orientation (FIRO) Theory
Teori
Fundamental Interpersonal Relations Orientation (FIRO) Theory ditemukan oleh
William C. Schultz. Teori ini ditemukan pada tahun 1960 untuk menggambarkan hal
dasar mengenai perilaku komunikasi di suatu kelompok kecil. Teori ini menjelaskan
bagaimana seseorang memasuki kelompok karena adanya tiga kebutuhan
interpersonal, yaitu : inclusion, control, dan affection
Teori
ini memiliki kesinambungan dari yang diuraikan oleh Cragan dan Wright bahwa ada
dua dimensi interpersonal yang mempengaruhi keefektifan suatu kelompok, yaitu:
kebutuhan interpersonal dan proses interpersonal yang meliputi keterbukaan
(disclosure), percaya, dan empati. Awal dari teori ini yaitu minat Schutz
terhadap pembentukan kelompok-kelompok kerja yang efektif. Pengamatan yang
dilakukan Schutz sangat dipengaruhi oleh karya-karya Bion (1949) dan Redl
(1942) sehingga tidak mengherankan teori yang diungkapkan oleh Schutz sangat
berbau psikoanalisis.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Ide
pokok dari FIRO Theory adalah bahwa setiap orang mengorientasikan dirinya
kepada orang lain dengan cara tertentu dan cara ini merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilakunya dalam hubungan dengan orang lain dalam sebuh kelompok.
Asumsi dasar dari teori ini adalah suatu individu terdorong untuk memasuki
suatu kelompok karena didasari oleh beberapa hal, yaitu :
1. Inclusion,
yaitu keinginan seseorang untuk masuk dalam suatu kelompok. Dalam posisi ini,
seseorang cenderung berpikir bagaimana cara mereka berinteraksi dalam
lingkungan kelompok yang baru ini, seperti sikap apa yang akan saya ambil jika
saya memasuki kelompok ini. Dalam situasi ini, akan ada dua kemungkinan yang
akan dilakukan, yaitu bereaksi berlebihan (over-react) seperti mendominasi
pembicaraan, dan bereaksi kekurangan (under-react) seperti lebih sering
mendengarkan atau hanya ingin membagi sebagian kisah hidup kepada orang-orang
yang dipercayai saja.
2. Control,
yaitu suatu sikap seseorang untuk mengendalikan atau mengatur orang lain dalam
suatu tatanan hierarkis. Dalam posisi ini pembagian kerja seperti sangat
dibutuhkan untuk menghasilkan sesuatu yang produktif. Situasi ini dapat
menciptakan beberapa sikap, yaitu otokrat (sikap individu yang memiliki
kecenderungan lebih kuat atau mendominasi dari pada anggota kelompok lainnya),
dan abdikrat (sikap individu yang menyerah dan cenderung mengikuti apa yang
dikatakan oleh individu yang mendominasi).
3. Affection,
yaitu suatu keadaan dimana seseorang ingin memperoleh keakraban emosional dari
anggota kelompok yang lain. Dalam situasi ini, seseorang membutuhkan kasih
sayang sebagai suatu pendukung dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sikap seperti
ini akan menciptakan overpersonal (suatu keadaan dalam diri individu dimana
tidak dapat mengerjakan pekerjaan karena tidak adanya ikatan kasih sayang), dan
underpersonal(suatu keadaan dalam diri individu dimana tidak adanya kasih
sayang yang diberikan anggota lain tidak berpengaruh terhadap pekerjaannya).
c) Teori
Perkembangan Kelompok
Teori
Perkembangan Kelompok dikemukakan oleh Bennis dan Shepherd pada tahun 1956.
Teori ini merupakan pengembangan atau setidaknya dipengaruhi dari apa yang
telah diungkapkan oleh orang-orang sebelumnya, seperti S. Freud, Kurt Lewin
(1946), Sullivan (1953), Schutz (1955) dan Carl Rogers. Awal dari teori ini
adalah dari ketidak-sengajaan Kurt Lewin pada tahun 1946 yang menemukan
dasar-dasar munculnya kelompok sensitivitas. Dilanjutkan pada tahun 1960-an
adanya kelompok pertemuan, dan Carl Rogers melihat adanya manfaat dari kelompok
pertemuan ini, yaitu pengembangan diri.
Cara
ini biasa dilakukan oleh para psikolog untuk melatih pasien menemukan bagaimana
dirinya sendiri. Kemudian pada tahun 1970-an, ditemukan pula bahwa kelompok
pertemuan ini juga dapat mempercepat suatu kehancuran akibat dari kepemimpinan
kelompok yang merusak.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi
dasar dari teori ini adalah proses perkembangan kelompok yang terjadi dalam
interaksi antara orang-orang yang berada dalam suatu situasi latihan di sebuh
kelompok. Teori ini merupakan suatu bagian dari tindak komunikasi kelompok
pertemuan. Bennis dan Shepherd meneliti teori perkembangan kelompok ini dari
sebuah pengamatan yang dilakukan pada kelompok-kelompok latihan di National
Training Laboratory for Group Development di Bethel, Maine, Amerika Serikat.
Para peserta kelompok dipilih dari latar belakang yang berbeda mulai dari
pendidikan, sosial, dan ekonomi, begitu pula dengan kepribadiannya. Pada
awalnya anggota kelompok satu sama lain tidak saling mengenal. Seorang pelatih
memberikan tugas-tugas kepada kelompok tersebut dengan prosedur yang telah
dibuat. Pertemuan antara anggota kelompok dilakukan beberapa kali dalam satu
menggu dan ini dilakukan dalam beberapa minggu. Untuk mencapai tujuan dari
tugas-tugas ini, yang mulanya tidak saling mengenal kini mau tidak mau harus
saling berkenalan bahkan saling berinteraksi untuk dapat menyelesaikan tugas
yang diberikan pelatih. Inilah tahapan-tahapan yang dilakukan ketika bergabung
dalam suatu kelompok. Ada perkembangan atau proses yang dilewati untuk
pencapaian tujuan bersama yang telah disepakati.
Bennis
dan Shepherd menyatakan bahwa tidak semua keompok bisa mencapai titik akhir
perkembangannya. Tujuan dari pelatihan yang dilakukan dalam sebuah kelompok,
antara lain : pada tingkat individual dapat membantu peserta untuk mengembangkan
motivasi dalam berinteraksi terhadap orang lain, peningkatan pemahaman terhadap
situasi kelompok, peningkatan kendali terhadap komunikasi antar manusia,
menambah keragaman perilaku sosial pada setiap peserta latihan; sedangkan pada
tingkat kelompok dapat membentuk suatu komunikasi yang valid dimana setiap
anggota dapat mengkomunikasikan perasaan, motivasi, keinginannya secara bebas
dan tepat.
Tahapan-tahapan
perkembangan kelompok yang biasanya dilalui seseorang dalam suatu kelompok,
terdiri atas :
1. Tahap
Otoritas, yaitu tahap di mana keraguan ketergantungan dapat dicairkan. Tahapan
ini terdiri atas tiga subtahap, yaitu : tahap ketergantungan, tahap
pemberontakan, dan tahap pencairan.
2. Tahap
Pibadi, yaitu tahap di mana dicairkan keraguan saling ketergantungan. Tahapan
ini terdiri atas tiga subtahap, yaitu : tahap harmoni, tahap identitas pribadi,
dan tahap pencairan masalah.
d)
Teori Perbandingan Sosial Festinger
Masing-masing orang
memiliki konsep diri yang berbeda-beda sehingga menyebakan dirinya melakukan
perbandingan diri dengan orang lain. Gejala ini disebut sebagai perbandingan
sosial. Perbandingan sosial terjadi manakala orang merasa tidak pasti mengenai
kemampuan pendapatnya maka meraka akan mengevaluasi diri mereka melalui
perbandingan orang lain yang sama. Perbandingan sosial merupakan proses
otomatis dan spontan terjadi. Umumnya motif yang dilakukan manusia dalam
melakukan perbandingan sosial adalah untuk mengevaluasi diri sendiri,
memperbaiki diri sendiri dan meningkatkan diri sendiri.
Manusia dalam melakukan perbandingan sosial berlaku dalil umum sebagai berikut :
Manusia dalam melakukan perbandingan sosial berlaku dalil umum sebagai berikut :
• Persamaan (similarity
hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan orang-orang yang
sama dengan dirinya (laterla comparison) atau yang sedikit lebih baik dan umumnya
manusia tersebut berjuang untuk menjadi lebih baik.
•Dikaitkan dengam atribut (related atribut hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan melihat usia, etnis dan jenis kelamin yang sama
• Downward comparison : manusia kadang membandingkan dirinya dengan orang yang lebih buruk dari dirinya. Umumnya ini dilakukan untuk mencari perasaan yang lebih baik atau mengabsahkan diri sendiri (self validating). Disini muncul dalil bahwa manusia kadang tidak objektif dalam melakukan perbandingan sosial
Teori Sosial Comparison (Dorian & Garfinkel, 2002) menyatakan bahwa setiap orang akan melakukan perbandingan antara keadaan dirinya sendiri dengan keadaan orang-orang lain yang mereka anggap sebagai pembanding yang realistis. Perbandingan sosial semacam ini terlibat dalam proses evaluasi diri seseorang, dan dalam melakukannya seseorang akan lebih mengandalkan penilaian subyektifnya dibandingkan penilaian obyektif. Bila masyarakat terlanjur membentuk pandangan bahwa penampilan fisik yang ideal itu adalah seperti yang dimiliki para model yang ditampilkan dalam media massa, maka akan ada kecenderungan bahwa individu akan membandingkan dirinya berdasarkan standar yang tidak realistis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa orang-orang yang sebenarnya memiliki proporsi tinggi badan serta berat badan yang normal mungkin saja memiliki penilaian yang negatif mengenai tubuhnya karena menggunakan tubuh model-model yang dilihatnya di media masa sebagai pembanding (Vilegas & Tinsley, 2003). Sampai batas tertentu, proses berpikir kritis terhadap diri sendiri memang akan membantu seseorang untuk menilai dirinya sendiri secara sehat dan untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Festinger (Sarwono, 2004) menyebutkan bahwa teori perbandingan sosial adalah proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interakso sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self-evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membandingkan diri dengan orang lain.
Ada dua hal yang diperbandingkan dalam hubungan ini, yaitu:
•Dikaitkan dengam atribut (related atribut hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan melihat usia, etnis dan jenis kelamin yang sama
• Downward comparison : manusia kadang membandingkan dirinya dengan orang yang lebih buruk dari dirinya. Umumnya ini dilakukan untuk mencari perasaan yang lebih baik atau mengabsahkan diri sendiri (self validating). Disini muncul dalil bahwa manusia kadang tidak objektif dalam melakukan perbandingan sosial
Teori Sosial Comparison (Dorian & Garfinkel, 2002) menyatakan bahwa setiap orang akan melakukan perbandingan antara keadaan dirinya sendiri dengan keadaan orang-orang lain yang mereka anggap sebagai pembanding yang realistis. Perbandingan sosial semacam ini terlibat dalam proses evaluasi diri seseorang, dan dalam melakukannya seseorang akan lebih mengandalkan penilaian subyektifnya dibandingkan penilaian obyektif. Bila masyarakat terlanjur membentuk pandangan bahwa penampilan fisik yang ideal itu adalah seperti yang dimiliki para model yang ditampilkan dalam media massa, maka akan ada kecenderungan bahwa individu akan membandingkan dirinya berdasarkan standar yang tidak realistis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa orang-orang yang sebenarnya memiliki proporsi tinggi badan serta berat badan yang normal mungkin saja memiliki penilaian yang negatif mengenai tubuhnya karena menggunakan tubuh model-model yang dilihatnya di media masa sebagai pembanding (Vilegas & Tinsley, 2003). Sampai batas tertentu, proses berpikir kritis terhadap diri sendiri memang akan membantu seseorang untuk menilai dirinya sendiri secara sehat dan untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Festinger (Sarwono, 2004) menyebutkan bahwa teori perbandingan sosial adalah proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interakso sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self-evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membandingkan diri dengan orang lain.
Ada dua hal yang diperbandingkan dalam hubungan ini, yaitu:
a. Pendapat (opinion)
b. Kemampuan (ability)
Perubahan pendapat
relatif lebih mudah terjadi daripada perubahan kemampuan.
1. Dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan
1. Dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan
Festinger mempunyai
hipotesis bahwa setiap orang mempunyai dorongan (drive) untuk menilai pendapat
dan kemampuannya sendiri dengan cara membandingkannya dengan pendapat dan
kemampuan orang lain. Dengan cara itulah orang bisa mengetahui bahwa
pendapatnya benar atau tidak dan seberapa jauh kemampuan yang dimilikinya
(Sarwono, 2004).
Festinger juga
memperingatkan bahwa dalam menilai kemampuan, ada dua macam situasi, yaitu:
Pertama, kemampuan orang dinilai berdasarkan ukuran yang obyektif, misalnya
kemampuan mengangkat barbel. Kedua, kemampuan dinilai berdasarkan pendapat.
Misalnya, untuk menilai kemampuan pelukis berdasarkan pendapat orang lain.
2. Sumber-sumber
penilaian
Orang akan mengagungkan
ukuran-ukuran yang obyektif sebagai dasar penilaian selama ada kemungkinan
melakukan itu. Namun, jika tidak, maka orang akan menggunakan pendapat atau
kemampuan orang lain sebagai ukuran.
3. Memilih orang untuk membandingkan
3. Memilih orang untuk membandingkan
Dalam membuat
perbandingan dengan orang lain, setiap orang mempunyai banyak pilihan. Namun,
setiap orang cenderung memilih orang sebaya atau rekan sendiri untuk dijadikan
perbandingan.
Festinger mempunyai
hipotesis mengenai hal ini yaitu: kecenderungan untuk membandingkan diri dengan
orang lain menurun jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain itu
meningkat. Dari hipotesisnya itu, terdapat dua hipotesis ikutan (corollary),
yaitu:
a. Kalau ia boleh
memilih, seseorang akan memilih orang yang pendapat atau kemampuannya mendekati
pendapat atau kemampuannya sendiri untuk dijadikan pembanding.
b. Jika tidak ada kemungkinan lain kecuali membandingkan diri dengan pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau kemampuannya sendiri.
Dengan menggunakan beberapa hipotesisnya selanjutnya Festinger menarik beberapa kesimpulan (derivasi) untuk tujuan peramalan tingkah laku:
Derivasi A: penilaian orang terhadap dirinya akan mantap (stabil) jika ada orang lain yang pendapat atau kemampuannya mirip dengan dirinya untuk dijadikan pembanding.
Derivasi B: penilaian cenderung akan berubah jika kelompok pembanding yang ada mempunyai pendapat atau kemampuan yang jauh berbeda daripada pendapat atau kemampuan sendiri.
b. Jika tidak ada kemungkinan lain kecuali membandingkan diri dengan pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau kemampuannya sendiri.
Dengan menggunakan beberapa hipotesisnya selanjutnya Festinger menarik beberapa kesimpulan (derivasi) untuk tujuan peramalan tingkah laku:
Derivasi A: penilaian orang terhadap dirinya akan mantap (stabil) jika ada orang lain yang pendapat atau kemampuannya mirip dengan dirinya untuk dijadikan pembanding.
Derivasi B: penilaian cenderung akan berubah jika kelompok pembanding yang ada mempunyai pendapat atau kemampuan yang jauh berbeda daripada pendapat atau kemampuan sendiri.
Derivasi C: orang akan
kurang tertarik pada situasi-situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau
kemampuan yang berbeda dari dirinya sendiri dan akan lebih tertarik pada
situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang hampir sama
dengan dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang akan lebih tertarik pada
kelompok yang memberi peluang lebih banyak untuk melakukan perbandingan.
Derivasi D: perbedaan
besar dalam suatu kelompok dalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan
tindakan untuk mengurangi perbedaan itu.
4. Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan
4. Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan
Seperti yang telah
dikatakan di atas, terdapat perbedaan antara kemampuan dan pendapat, pada
kemampuan ada desakan untuk berubah ke satu arah, yaitu ke arah kemampuan yang
lebih tinggi atau baik sedangkan dalam hal pendapat terdapat keleluasaan untuk
terjadinya perubahan ke segala arah.
Atas dasar itu, Festinger mengajukan hipotesis berikutnya, yaitu dalam hal kemampuan terdapat desakan untuk berubah searah yaitu berubah ke atas yang tidak terdapat dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesis ini menurut Festinger setidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika Serikat, di mana prestasi yang tinggi sangat dihargai. Dengan kata lain, di lingkungan masyarakat lain di mana prestasi yang tinggi tidak mendapat penghargaan yang tinggi, hipotesis ini belum tentu berlaku.
Atas dasar itu, Festinger mengajukan hipotesis berikutnya, yaitu dalam hal kemampuan terdapat desakan untuk berubah searah yaitu berubah ke atas yang tidak terdapat dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesis ini menurut Festinger setidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika Serikat, di mana prestasi yang tinggi sangat dihargai. Dengan kata lain, di lingkungan masyarakat lain di mana prestasi yang tinggi tidak mendapat penghargaan yang tinggi, hipotesis ini belum tentu berlaku.
Hipotesis berikutnya yang
dikemukakan Festinger didasarkan pada perbedaan antara kemampuan dan pendapat
tersebut adalah: ada faktor-faktor nonsosial ang menyulitkan atau tidak
memungkinkan perubahan kemampuan pada seseorang, yang hampir-hampir tidak ada
pada perubahan pendapat. Misalnya orang badannya lemah bisa saja berpendapat
bahwa ia bisa mengangkat barbel seberat 100 kg. Tetapi kenyataanya ia tetap
saja tidak dapat mengangkat barbel tersebut. Lain halnya jika seseorang merasa
pendapatnya salah, maka dengan mudah ia mengubah pendapatnya tersebut.
5. Berhentinya
perbandingan
Jika kita melihat
Derivasi D di atas, yaitu perbedaan besar dalam suatu kelompok dalam hal
pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedaan
itu. Maka akan muncul beberapa kesimpulan lagi, salah satunya adalah jika
perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain dalam kelompok terlalu
besar, maka akan terdapat kecenderungan untuk menghentikan
perbandingan-perbandingan.
Konsekuensi pengehentian perbandingan ini berbeda antara pendapat dan kemampuan, karena perbedaan pendapat seseorang dari kelompok berarti pendapat orang itu tidak benar, sedangkan konotasi negatif seperti itu tidak selalu terdapat pada perbedaan kemampuan.
Konsekuensi pengehentian perbandingan ini berbeda antara pendapat dan kemampuan, karena perbedaan pendapat seseorang dari kelompok berarti pendapat orang itu tidak benar, sedangkan konotasi negatif seperti itu tidak selalu terdapat pada perbedaan kemampuan.
Mengenai hal ini,
Festinger mengemukakan hipotesis bahwa sejauh perbandingan yang berkepanjangan
dengan orang lain menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan, penghentian
perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan dan kebencian. Hipotesis ini
pun memiliki hipotesis ikutan yang menyatakan bahwa penghentian perbandingan
akan diikuti oleh perasaan bermusuhan atau kebencian hanya dalam hal perbedaan
pendapat, tidak dalam hal perbedaan kemampuan.
6. Desakan ke arah
keseragaman
Setiap faktor yang
meningkatkan dorongan untuk membandingkan pendapat atau kemampuan dengan
sendirinya juga akan merupakan faktor yang mendesak ke arah tercapainya
keseragaman pendapat atau kemampuan yang bersangkutan. Atau dengan kata lain
bahwa setiap faktor yang meningkatkan pentingnya suatu kelompok sebagai
kelompok pembanding untuk suatu pendapat atau kemampuan akan merupakan faktor
yang meningkatkan desakan ke arah keseragaman dalam hal pendapat atau kemampuan
tersebut.
Desakan ke arah
keseragaman pendapat atau kemampuan tergantung dari daya tarik kelompok itu.
Semakin menarik kelompok itu bagi seseorang, semakin penting arti kelompok itu
sebagai pembanding dan semakin kuat pula desakan pada orang itu untuk
mengurangi perbedaan antara dirinya sendiri dengan kelompok. Hal tersebut
terlihat dalam perilaku-perilaku sebagai berikut:
a. kecenderungan untuk mengubah pendapat sendiri
a. kecenderungan untuk mengubah pendapat sendiri
b. usaha yang semakin
meningkat untuk mengubah pendapat orang lain
c. kecenderungan yang
meningkat untuk membuat orang lain kurang senang
Jika ada berbagai
pendapat atau kemampuan dalam kelompok, manifestasi dari kekuatan desakan ke
arah keseragaman berbeda-beda antara orang yang ada di dekat pendapat umum
kelompok (modus pendapat kelompok) dengan orang yang jauh dari modus pendapat.
Khususnya orang yang dekat dengan modus pendapat kelompok, mempunyai kekuatan
yang lebih besar untuk mengubah posisi pendapat atau kemampuan orang lain,
relatif lebih lemah kecenderungannya untuk memperkecil kemungkinan perbandingan
dan sangat lemah kecenderungannya untuk mengubah posisinya sendiri jika
dibandingkan dengan orang yang jauh dari modus pendapat kelompok.
7. Pengaruhnya terhadap
pembentukan kelompok
Dorongan untuk menilai
diri sendiri mempunyai pengaruh yang penting terhadap pembentukan kelompok dan
perubahan keanggotaan kelompok:
a. Karena perbandingan
hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk menilai diri sendiri orang
terdorong untuk berkelompok dan menghubungkan dirinya sendiri dengan orang
lain.
b. Kalompok yang paling
memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat dengan pendapat sendiri. Oleh
karena itu, orang lebih tertarik pada kelmpok yang pendapatnya sama dengan
pendapat sendiri dan cenderung menjauhi kelompok-kelompok yang pendapatnya
berbeda dari pendapat sendiri.
8. Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan
8. Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan
Jika perbedaan-perbedaan
pendapat atau kemampuan dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan
mengatur dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan itu dapat didekatkan dan
perbandingan dapat dilakukan.
Akan tetapi, Festinger mengatakan bahwa ada dua situasi di mana hal tersebut tidak terjadi, yaitu di mana perbedaan tetap besar, tetapi perbandingan tetap harus dilakukan. Kedua situasi tersebut adalah:
Akan tetapi, Festinger mengatakan bahwa ada dua situasi di mana hal tersebut tidak terjadi, yaitu di mana perbedaan tetap besar, tetapi perbandingan tetap harus dilakukan. Kedua situasi tersebut adalah:
a. Situasi di mana
kelompok itu sangat menarik bagi seseorang sehingga orang itu tetap saja ikut
dalam kelompok walaupun pendapat atau kemampuannya cukup jauh berbeda dari
pendapat atau kemampuan kelompok.
b. Situasi di mana
individu terpaksa harus ikut terus dengan kelompok karena tidak ada kemungkinan
lain, misalnya orang yang dipenjara, atau harus tetap bekerja walaupun tidak
suka pada perusahaan tempatnya bekerja. Dalam hal ini pengaruh kelompok
terhadap individu lemah dan keseragaman pendapat hanya dapat dicapai melalui
paksaan atau kekerasan.
Teori Perbandingan sosial
dalam komunikasi kelompok
Teori atau pendekatan
perbandingan sosial mengemukakan bahwa tindak komunikasi dalam kelompok
berlangsung karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu untuk membandingkan
sikap, pendapat dan kemampuannya dengan individu-individu lainnya.
Dalam pandangan teori
perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi dengan anggota
kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika muncul ketidak setujuan yang
berkaitan dngan suatu kejadian atau peristiwa, kalau tingkat kepentingannya
peristiwa tersebut meningkat dan apabila hubungan dalam kelompok (group
cohesivenes) juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, setelah suatu keputusan
kelompok dibuat, para anggota kelompok akan saling berkomunikasi untuk mendapatkan
informasi yang mendukung atau membuat individu-individu dalam kelompok lebih
merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut.
Sebagai tambahan catatan,
teori perbandingan sosial ini diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana
tindak komunikasi dari para anggota kelompok mengalami peningkatan atau
penuruanan.
2. Perbandingan Sosial dan Identitas social
2. Perbandingan Sosial dan Identitas social
Identitas sosial sebagai
teori tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya
serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh
Festinger (1954) sebagai teori di mana bisa membimbing kita untuk membandingkan
diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang
berbeda, siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah. Setidaknya
ada tiga variabel yang mempengaruhi hubungan pembedaan antar kelompok dalam
situasi sosial yang nyata (Tajfel, 1974; Turner, 1975; dalam Hogg & Abrams,
2000). Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok mereka sebagai
konsep diri mereka: secara subjektif mereka pasti menidentifikasikan kelompok
yang relevan. Hal ini tidak cukup dari orang lain saja yang mengidentifikasikan
seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua, situasi sosial akan
menciptakan perbandingan sosial yang memungkinkan terjadinya seleksi dan
evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah
tidak sama secara sikinifikan. Misalnya saja, di Amerika perbedaan kelompok
lebih cenderung menonjol pada perbedaan warna kulit, tapi perbedaan warna kulit
bukan sesuatu yang menonjol di Hongkong. Ketiga, in-group tidak membandingkan
dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada out-group: out-group pastinya
dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan,
kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group
dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group.
Menurut Sarben &
Allen (1968), identitas sosial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi
seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan mana kita berada, posisi
seperti apa saja yang keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang
berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu
mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya,
perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya
secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
3. Perbandingan sosial dan prasangka social
3. Perbandingan sosial dan prasangka social
Kita selalu membandingkan
diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal
yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial,
status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi
dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk
dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di
mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan
prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan
kita. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok.
Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka
(Myers, 1999). Dalam masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam
prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif
setara prasangka yang ada kurang kuat.
C. Contoh Perbandingan Sosial dalam Kehidupan
C. Contoh Perbandingan Sosial dalam Kehidupan
1. Perbandingan sosial
dalam fenomena mengantri
Dalam penelitiannya, Zhou
dan Soman, melihat adanya kesempatan diantara para pengantri, untuk melakukan
perbandingan sosial posisinya, dengan mereka yang ada dalam antrian yang sama.
Setiap pengantri, akan merasakan mereka berada dalam situasi krisis, atau
menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Perasaan harga diri dalam situasi
semacam itu, ternyata dapat kembali ditegakkan, jika mereka dapat membandingkan
diri dengan posisi pengantri lain yang lebih buruk. Jadi para pengantri, bukan
hanya menghitung berapa orang lagi yang ada di depan, melainkan juga berapa
orang yang juga masih antri di belakang.
Antri, ternyata memprovokasi penarikan perbandingan sosial. Karena dalam antrian, akan terlihat dengan jelas, siapa yang memiliki posisi lebih baik dan siapa lebih buruk. Manusia selalu cenderung membandingkan, dimana posisinya, dengan melihat mereka yang posisi sosialnya berada atas dan di bawah. Sama seperti antrian, siapa posisinya di depan dan siapa di belakang. Penelitian Prof. Zhuo dan Prof. Soman menunjukkan, perbandingan posisi ini berlaku, jika antrian klasik terbentuk, yakni masing-masing pengantri berdisi pada posisi berbaris ke belakang. Jika antrian diatur dengan nomor, seperti di ruang tunggu dokter atau di rumah sakit, fenomena perbandingan posisi sosial tidak muncul.
2. Perbandingan Sosial dalam Performance Appraisals (PA)
Antri, ternyata memprovokasi penarikan perbandingan sosial. Karena dalam antrian, akan terlihat dengan jelas, siapa yang memiliki posisi lebih baik dan siapa lebih buruk. Manusia selalu cenderung membandingkan, dimana posisinya, dengan melihat mereka yang posisi sosialnya berada atas dan di bawah. Sama seperti antrian, siapa posisinya di depan dan siapa di belakang. Penelitian Prof. Zhuo dan Prof. Soman menunjukkan, perbandingan posisi ini berlaku, jika antrian klasik terbentuk, yakni masing-masing pengantri berdisi pada posisi berbaris ke belakang. Jika antrian diatur dengan nomor, seperti di ruang tunggu dokter atau di rumah sakit, fenomena perbandingan posisi sosial tidak muncul.
2. Perbandingan Sosial dalam Performance Appraisals (PA)
Dalam dunia industri
(pekerjaan), perbandingan sosial pun memiliki porsinya. Salah satunya adalah
dalam proses evaluasi tenaga kerja. Proses evaluasi tenaga kerja dengan
memperhatikan produktivitasnya disebut sebagai penilaian karya atau performance
appraisal (pa). Tujuannya adalah digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
penempatan, baik promosi, mutasi, maupun demosi juga untuk penentuan penggajian
serta kebutuhan pelatihan. Penilaian karya atau kinerja dapat dievaluasi dengan
produktivitas secara kuantitatif maupun subyektif. Produktivitas kuantitatif
yang dapat diukur seperi misalnya, target barang yang dipasarkan oleh seorang
sales atau jumlah pasien sehari yang didapat oleh seorang dokter. Sedangkan
produktivitas kerja subyektif adalah penilaian sikap dan perilaku kerja dari
rekan sejawat, atasan, bawahan maupun stake holder, seperti misalnya kerjasama
yang dimiliki oleh tenaga kerja.
Penilaian karya secara konvensional hanya dilakukan oleh atasan kepada bawahan menyangkut penilaian subyektif sehingga kurang menekankan pada penilaian kuantitatif produktivitasnya. Beberapa permasalahan PA sehingga tidak mampu obyektif karena pengaruh hallo effect, yaitu kesalahan penilai karena tidak mampu membedakan antara kepentingan pribadi dengan proporsi bidang tugas. Akibatnya, atasan hanya menilai bawahan berdasarkan hubungan emosional yang digunakan dalam memberikan standarisasi penilaian. Permasalahan lainnya adalah contrast effect, yakni standar nilai yang kontras diberikan kepada individu yang berbeda hanya karena penilai terlalu berorientasi kepada kelebihan seorang saja. Kondisi ini disebabkan oleh social comparison (perbandingan sosial) yang terlalu ekstrim kepada individu yang berbeda.
Penilaian karya secara konvensional hanya dilakukan oleh atasan kepada bawahan menyangkut penilaian subyektif sehingga kurang menekankan pada penilaian kuantitatif produktivitasnya. Beberapa permasalahan PA sehingga tidak mampu obyektif karena pengaruh hallo effect, yaitu kesalahan penilai karena tidak mampu membedakan antara kepentingan pribadi dengan proporsi bidang tugas. Akibatnya, atasan hanya menilai bawahan berdasarkan hubungan emosional yang digunakan dalam memberikan standarisasi penilaian. Permasalahan lainnya adalah contrast effect, yakni standar nilai yang kontras diberikan kepada individu yang berbeda hanya karena penilai terlalu berorientasi kepada kelebihan seorang saja. Kondisi ini disebabkan oleh social comparison (perbandingan sosial) yang terlalu ekstrim kepada individu yang berbeda.
D.
KOMUNIKASI
ORGANISASI
1.
Definisi
Komunikasi Organisasi
Istilah
“organisasi” dalam bahasa Indonesia merupakan adopsi dari kata “organization”
dari bahasa Latin yang berasal dari kata kerja bahasa Latin “organizare” yang
artinya to form as or into a whole consisting of interdependent or coordinated
parts.
Everet
M.Rogers dalam bukunya Communication in Organization, mendefinisikan organisasi
sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas. Robert
Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems Approach, mendefinisikan
organisasi sebagai sarana dimana manajemen mengoordinasikan sumber bahan dan
sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.
Menurut
pendapat (Rogers dan rogers, dalam Henneman dan McEwen, 1975, hlm. 218).
Organisasi didefinisikan “ suatau kumpulan atau suatu sistem individu yang
bersama-sama, melalui hirarki pangkat dan pembagian kerja, berusaha untuk
mencapai tujuan tertentu” .
ada
beberapa hal terpenting dalam komunikasi organisasi yang sesuai dengan definisi
diatas:
Dapat
dikatakan bahwa organisasi merupakan suatu paduan dari bagian-bagian yang satu
sama lain saling bergantung. Dalam komunikasi organisasi akan erat kaitannya
dengan suatu kekuasaan, arus pesan, dan perilaku karena melibatkan jumlah orang
yang tidak sedikit dalam setiap organisasinya.
Menurut
Gold Haber, Komunikasi organisasi adalah arus pesan dalam suatu jaringan yang
sifat hubungannya saling bergantungan satu sama lain. Arus pesan yang digunakan
bersifat, yaitu :
1. Vertikal
2. Horizontal
3. Diagonal.
Secara
fungsional, komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan
penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari
suatu organisasi tertentu. Komunikasi organisasi dapat terjadi kapanpun,
setidaknya satu orang yang menduduki suatu jabatan dalam suatu organisasi akan
menafsirkan suatu pertunjukkan. Sedangkan secara tradisional, komunikasi
organisasi cenderung dianggap menekankan kegiatan penanganan pesan yang
terkandung dalam suatu “batas organisasional (organizational boundary)”. Dalam
hal ini komunikasi organisasi dipandang dari suatu perspektif interpretif
(subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan
organisasi.
Komunikasi
organisasi erat kaitannya dengan kekuasaan. Maka dari itu French dan Reven
membagi lima tipe kekuasaan, antara lain :
a. Reward
Power, memusatkan perhatian pada kemampuan untuk memberi ganjaran atau imbalan
atas pekerjaan atau tugas yang dilakukan orang lain.
b. Coercive
Power, lebih memusatkan pandangan pada kemampuan untuk memberi hukuman kepada
orang lain.
c. Referent
Power, didasarkan pada suatu hubungan kesukaan dalam arti seseorang
mengidentifikasi orang lain yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti
yang diinginkannya.
d. Expert
Power, memfokuskan diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai
kekuasaan pastilah ia memiliki pengetahuan, keahlian, dan informasi lebih
banyak dalam suatu persoalan.
e. Legitimate
Power, bersandar pada struktur suatu organisasi, dan terutama pada nilai-nilai
kultural.
Conrad
(1985) mengidentifikasikan tiga fungsi komunikasi didalam sebuah organisasi.
Fungsi-fungsi tersebut adalah :
1. Fungsi
Perintah
Komunikasi
memperbolehkan anggoa organisasi “ Membicarakan, menerima, menafsirkan, dan
bertindak atas suatu perintah”. Dua jenis komunikasi yang mendukung pelaksanaan
tugas ini adalah pengarahan dan umpan balik dari kiomunikan, dan tujuannya
adalah adalah berhasil mempengaruhi anggota laindalam organisasi. Hasil fungsi
perintah adlah koordinasi di antara sejumlahb anggota yang saling bergantung
dalam organisasi tersebut.
2. Fungsi
Relasional
Komunikasi
memperbolehkan anggota organisasi “ menciptakan dan mempertahankan bisnis
produktif dan hubungan personal dengan anggota organisasi lain”. Hubungan dalam
pekerjaan mempengaruhi kinerja pekerjaan (job peformance) dalam berbagai cara,
misalnya, kepuasana kerja, aliran komunikasi kebawah maupun ke atas dalam
hirarki organisasional dan tingkat pelaksanaan perintah.
3. Fungsi
Manajemen ambigu
Pilihan
dalam situasi organisasi sering dibuat dalam keadaan yang sangat ambigu.
Misalnya, motivasi berganda telah muncul karena pilihan yang diambil
akanmempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga diri sendiri: tujuan
organisasi tidak jelas, dan konteks yang mengharuskan adanya pilihan tersebut
mungkin tidak jelas.
Faktor
lain yang ditemukan oelh Dennis (1975) dengan kategori-kategori tradisional
untuk menganalisis komunikasi organisasi, diantaranya :
a. Komunikasi
Ke Bawah
Komunikasi
ini diprakarsai oleh manajemen organisasi tingkat dan kemudian ke bawah
melewati “rantai perintah”. Banyak penelitian mengenai keefektifan berbagai
bentuk komunikasi ke bawah menunjukan bahwa menggunakan saluran kombinasi
cenderung memberikan hasil yang terbaik. Penelitian yang dilakukan oleh Dahle
(1954) menemukan bahwa uruan saluran menurut tingkat keefektifannya (dari yang
efektifitasnya paling tinggi hingga yang paling rendah) diantaranya sebgai
berikut :
1. Kombinasi
tulisan
2. Lisan
saja
3. Tulisan
saja
4. Papan
pengumuman
5. Selentingan
Dengan
kata lain, untuk menyampaikan informasi kepada para pegawai dengan tepat,
kombinasi saluran tulisan dan memberi hasil terbaik.
b. Komunikasi
ke atas.
Komunikasi
dari bawahan ke atasan. Komunikasi tipe ini umumnya bertujuan untuk melakukan
kegiatan prosedural yang sudah merupakan bagian dari struktur organisasi atau
perusahaan. Bentuknya antara lain dalam pelaporan kegiatan, penyampaian
gagasan, dan penyampaian informasi yang menyangkut masalah-masalah pekerjaan.
Bisa dilakukan secara langsung dan tak langsung atau secara tertulis. Dalam
organisasi pembelajaran, model komunikasi seperti ini sudah biasa dilakukan.
Kepada semua karyawan didorong untuk tidak segan-segan menyampaikan hal apapun
kepada atasan sejauh dalam kerangka pengembangan perusahaan.
2.
Asumsi
Dasar Komunikasi Organisasi
Sosiolog
Amitai Etzioni menyatakan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat organisasi.
Kita dilahirkan dalam sebuah organisasi dan dididik dalam suatu organisasi
serta sebagian besar dari kita menghabiskan mayoritas hidupnya dengan bekerja
untuk organisasi. Komunikasi organisasi akan selalu dibutuhkan pada era
sekarang ini. Alasannya karena kini, makin banyak lembaga baik di bidang bisnis
ataupun industri,
organisasi-organisasi
sosial, ataupun institusi pendidikan yang harus mengetahui bagaimana prinsip
mengenai komunikasi yang baik dalam suatu organisasi untuk suatu pencapaian
bersama. Dalam komunikasi organisasi berkaitan erat dengan arus komunikasi.
Ada
tiga pendekatan untuk melihat komunikasi yang terjadi di dalam organisasi, yaitu
:
1. Pendekatan
Makro :
Pendekatan
makro melihat organisasi sebagai suatu struktur global yang berinteraksi dengan
lingkungannya. Organisasi melakukan aktivitas-aktivitasnya untuk berinteraksi
dengan lingkungannya.
2. Pendekatan
Mikro :
Pendekatan
ini terutama menfokuskan kepada komunikasi dalam unit dan sub-unit pada suatu
organisasi. Komunikasi yang diperlukan pada tingkat ini adalah komunikasi
antara anggota kelompok
3. Pendekatan
Individual :
Pendekatan
Individual menitik beratkan pada tingkah laku komunikasi individual dalam
organisasi. Semua tugas-tugas yang telah diuraikan pada dua pendekatan
sebelumnya diselesaikan oleh komunikasi individual satu sama lainnya.
3.
Para
Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Organisasi
a)
Teori
Komunikasi Kewenangan
Teori
Komunikasi Kewenangan dikemukakan oleh Chester Barnard, seorang presiden dari
Bell Telephone Company di New Jersey, Amerika Serikat. Barnard mengungkapkan
sebuah tesis yang menyatakan bahwa sebuah organisasi hanya dapat berlangsung
dengan adanya suatu kerja sama antarmanusia. Kerja sama dijadikan sebuah sarana
di mana kemampuan individu dapat dikombinasikan untuk mencapai tujuan bersama.
Sejarah dari adanya teori komunkasi kewenangan bermula dari Perrow (1938) yang
merasa prihatin mengenai implikasi teori klasik mengenai organisasi dan doktrin
ilmiah manajemen, di mana birokrasi dianggap sebagai suatu hal kotor. Namun,
sejak Barnard (1973) mampublikasikan The Functions Of The Executive, sejak
inilah mulai muncul pemikiran baru tentang birokrasi. Bernard menyatakan bahwa
organisasi adalah sistem orang, bukan struktur yang direkayasa secara mekanis.
Suatu struktur yang mekanis yang jelas dan baik tidaklah cukup.
Definisi
Barnard mengenai organisasi formal menitikberatkan konsep sistem dan konsep
orang. Tekanannya pada aspek-aspek kooperatif organisasi mencerminkan
pentingnya unsur manusia. Barnard menyatakan bahwa eksistensi suatu organisasi
bergantung pada kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan kemauan untuk bekerja
sama untuk mencapai suatu tujuan yang sama pula. Maka ia menyimpulkan bahwa
“Fungsi pertama seorang eksekutif adalah mengembangkan dan memelihara suatu
sistem komunikasi.”
Bernand
juga menyatakan bahwa kewenangan merupakan suatu fungsi kemauan untuk bekerja
sama. Ia menyebutkan empat syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang
menerima suatu pesan yang bersifat otoritatif:
1. Orang
tersebut memahami pesan yang dimaksud
2. Orang
tersebut percaya bahwa pesan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan
organisasi.
3. Orang
tersebut percaya, pada saat ia memutuskan kerja sama, bahwa pesan tersebut
sesuai dengan minatnya.
4. Orang
tersebut memiliki kemampuan fisik dan mental untuk melaksanakan pesan.
Seperangkat
premis ini menjadi terkenal sebagai Teori Penerimaan Kewenangan, yakni
kewenangan yang berasal dari tingkat atas organisasi sebenarnya merupakan
kewenangan nominal. Namun, Barnard menunjukan bahwa banyak pesan yang tidak
dapat dianalisis, dinilai dan diteima, atau ditolak dengan sengaja. Tetapi
kebanyakan arahan, perintah dan pesan persuasive termasuk ke dalam zona
acuh-tak-acuh (zone of indifference) seseorang.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi
dasar dari adanya teori ini yaitu bahwa organisasi adalah sistem orang, bukan
struktur yang direkayasa secara mekanis. Dari definisi organisasi yang diungkapkan
oleh Barnard inilah, suatu sistem kegiatan dua orang atau lebih yang dilakukan
secara sadar dan terkoordinasi menitikberatkan pada konsep sistem dan konsep
orang. Barnard juga menyatakan bahwa eksistensi yang dimiliki suatu organisasi
tergantung pada kemampuan anggota-anggota yang terlibat untuk berkomunikasi dan
berkemauan untuk bekerja samauntuk mencapai suatu tujuan bersama. Adapula
kewenangan sebagai suatu fungsi kemauan untuk bekerja sama. Ada empat syarat
yang harus dipenuhi sebelum seseorang menerima pesan yang otoritatif, yaitu :
1. Harus
memahami pesan yang dimaksud.
2. Memastikan
dan percaya bahwa pesan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan organisasi.
3. Memastikan
bahwa ketika ia memutuskan untuk bekerja sama, pesan tersebut telah sesuai
dengan minatnya.
4. Memiliki
kemampuan fisik dan mental untuk menjalankan pesan.
Barnard
membagi teori komunikasi kewenangan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Penerimaan
suatu kewenangan dan penolakan suatu kewenangan, dengan menerima suatu
kewenangan berupa pesan maka ia menduduki posisi bawahan.
2. Penolakan
suatu kewenangan dengan penolakan suatu kewenangan berupa pesan diartikan bahwa
orang tersebut khawatir akan resiko yang akan diterimanya.
Barnard
juga menyatakan bahwa teknik-teknik komunikasi baik berupa lisan ataupun tulisan
sangat penting untuk pencapaian tujuan namun juga dapat menjadi sumber masalah
dalam suatu organisasi.
b)
Teori
Fusi
Teori
Fusi dikemukakan oleh Bakke dan Argyris (1950). Adanya teori ini di dasarkan
atas suatu ketidakpuasan terhadap teori-teori sebelumnya, seperti teori
birokrasi. Teori ini ingin menunjukkan bahwa jika seseorang ada dalam suatu
organisasi belum tentu orang tersebut nyaman dan sesuai dengan falsafah yang
ada di organisasi tersebut. Maka dari itu teori mengungkapkan bahwa tidak selamanya
orang yang ada dalam organisasi akan memiliki suatu kesamaan tujuan.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi
dasar adanya teori ini adalah kesadaran akan adanya banyak masalah pada proses
memuaskan minat manusia yang berlainan di mana akan ada tuntutan penting
struktur birokrasi. Saat inilah Bakke menyarankan adanya suatu preses fusi.
Hal
ini berkaitan bahwa organisasi pada suatu posisi tertentu akan memiliki
pengaruh terhadap individu, dan pada saat yang sama pula individu dapat
mempengaruhi suatu organisasi.
Argyris
menambahkan pernyataan Bakke tersebut, ia menyatakan bahwa ketidaksesuaian yang
mendasar antara kebutuhan pegawai yang matang dengan persyaratan formal
organisasi, maksudnya yaitu adanya kemungkinan seorang pegawai memiliki tujua
yang berbeda dengan tujuan yang diinginkan organisasi.
c)
Teori
Lapangan Tentang Kekuasaan
Teori
ini dikembangkan oleh Cartwright dari pernyataan Kurt Lewin (1951) yang
mendefinisikan kekuasaan sebagai bentuk kekuasaan A atas B yang artinya X
berubah menjadi Y yang dalam prosesnya akan ada paksaan untuk mengikuti A.
Cartwright kemudian mereformulasikan definisi kekuasaan sebagai kekuasaan A
atas B dalam rangka mengubah X menjadi Y pada waktu tertentu sama dengan
kekuatan maksimum.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi
dasar dari teori lapangan tentang kekuasaan ini, yaitu bahwa dalam suatu
organisasi akan ada yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam perjalanan
komunikasi organisasinya antara yang berkuasa dan yang dikuasai bisa jadi dapat
bekerja sama untuk pencapaian suatu tujuan namun bisa juga terjadi perpecahan
yang akan menyebabkan suatu organisasi tidak dapat mencapai suatu tujuan yang
diharapkan. Dalam teori ini, Cartwright juga membedakan antara kekuasaan dan
kontrol. Dalam teori ini juga, Cartwright memberikan tujuh istilah primitif
untuk penjabaran dari definisinya mengenai kekuasaan, yaitu :
1. Pelaku
(agent) : Suatu satuan yang dapat menghasilkan pengaruh atau menderita akibat
apa yang sedang dikerjakannya.
2. Tindakan
pelaku (act of agent) : Peristiwa yang menimbulkan suatu pengaruh (efek).
3. Lokus
(locus) : Suatu tempat dalam tata ruang.
4. Hubungan
langsung (direct joining) : Merupakan suatu kemungkinan perpindahan langsung
dari satu lokus ke lokus lain.
5. Dasar
motif (motive base) : Energi bawaan yang menggerakkan tingkah laku untuk
kebutuhan, dorongan, dan motif.
6. Besaran
(magnitude) : Merupakan ukuran dari konsep-konsep yang berupa tanda plus (+)
atau minus (-).
7. Waktu
(time) : Menunjukkan berapa lama berlangsungnya suatu peristiwa.
d)
Teori
Kekuasaan Sosial
Teori
Kekuasaan Sosial dikemukakan oleh French sebagai bentuk representatif dari
pejelasan yang diemukakan Cartwright.French menganggap bahwa teori yang
dikemukakan Cartwright belum jelas karena kekuasaan dalam sistem sosial, belum
diungkapkan oleh Cartwright. Dalam teori kekuasaan sosial akan dibahas mengenai
proses pengaruh mempengaruhi dalam suatu organisasi, khususnya yang berkaitan
dengan pendapat dan perubahan pendapat organisasi terhadap sesuatu hal.
Asumsi
Dasar dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari teori ini bahwa French membagi proses pengaruh memmpengaruhi
dalam tiga pola relasi dalam organisasi, antara lain :
· Hubungan kekuasaan (power relation) antara anggota organisasi.
· Hubungan kekuasaan (power relation) antara anggota organisasi.
·
Pola komunikasi dalam kelompok.
·
Hubungan antara pendapat dalam kelompok
Dalam teori ini digambarkan suatu garis pendapat (opinion
continuum) yang memiliki dua dimensional dan pada garis tersebut terjadi
pergeseran daya (forces). Daya yang dipaksakan dari A (merupakan ketua dari
organisasi) kepada B (anggota lebih dari satu) disebut pengaruh sosial (social
influence), sedangkan jumlah kekuatan dari daya-daya disebut kekuasaan (power).
Jadi, kekuasaan A terhadap B sebanding dengan kekuatan-kekuatan daya yang ada
dan yang dapat dipaksakan A terhadap B. Garis A akan bertemu garis B, hal ini
dinamakan titik keseimbangan.
Dalam suatu organisasi, semua daya yang dihasilkan oleh masing-masing anggota organisasi bersatu pada satu titik keseimbangan tertentu. Titik inilah yang menunjukkan posisi dari pendapat organisasi. Menurut French, adanya proses saling mempengaruhi dapat menyebabkan perubahan titik keseimbangan yang dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. French mengemukakan lima macam kekuasaan dasar yang berpengaruh dalam suatu sistem sosial, yaitu :
Dalam suatu organisasi, semua daya yang dihasilkan oleh masing-masing anggota organisasi bersatu pada satu titik keseimbangan tertentu. Titik inilah yang menunjukkan posisi dari pendapat organisasi. Menurut French, adanya proses saling mempengaruhi dapat menyebabkan perubahan titik keseimbangan yang dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. French mengemukakan lima macam kekuasaan dasar yang berpengaruh dalam suatu sistem sosial, yaitu :
1.
Kekuasaan
Rujukan (referent power atau attraction power) yang didasarioleh perasaan
saling menyukai dan saling beridentifikasi antara A dan B.
2.
Kekuasaan
Ganjaran (reward power) yang didasari oleh kemampuan A untuk memberi ganjaran
terhadap B.
3.
Kekuasaan
Hukuman (coercive power) yang didasari oleh kemampuan A untuk memberi hukuman
terhadap B.
4.
Kekuasaan
Pengabsahan (legitimate power) didasari oleh hak yang ada pada A untuk
membenarkan atau menyalahkan tingkah laku B.Kekuasaan Keahlian (expert power)
yang didasari pada persepsi B bahwa A lebih tahu mengenai hal-hal tertentu.
French mengatakan bahwa hubungan kekuasaan antara anggota-anggota organisasi
dapat digambarkan sebagai sejumlah titik-titik yang dihubungkan dengan
garis-garis yang disebut dengan di rected graph .
E.
KOMUNIKASI
MASSA
1.
Definisi
Komuniksai Massa
Komunikasi
massa berasal dari istilah bahasa Inggris, mass communication,
sebagaikependekan dari mass media communication, artinya, komunikasi yang
menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass
communication atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu media
massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass communication. Massa
mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi
tertentu yang sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi,
yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan
komunikasi yang sama. Menurut Michael W Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986)
sesuatu bisa didefinisikan komunikasi massa jika mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Komunikator
dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan dan
mentransmisikan pesan kepada khalayak yang luas dan tersebar.
2. Komunikator
dalam komunikasi massa mencoba untuk berbagi pengetahuan dengan jutaan orang
yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain.
3. Pesan
yang disampaikan bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang, dengan jutaan
orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain.
4. Komunikator
dalam komunikasi massa biasanya berupa organisasi formal atau berbentuk suatu
lembaga.
5. Komunikasi
massa dikontrol oleh gatekeeper, artinya pesan yang disampaikan atau disebarkan
dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat
media massa.
6. Umpan
balik yamg diterima dalam komunikasi massa sifatnya tertunda
Bittner:
Mass communication is messages communicated throught a massa medium to a large
number of people.
Komunikasi
massa adalah pesan yang dikomunikasikan dengan mengunakan media massapada
sejumlah besar orang.
Joseph
R. Dominick: Komunikasi massa adalah suatu proses dimana suatu organisasi yang
kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin memproduksi dan mengirimkan pesan
kepada khalayak yang besar, heterogen, dan tersebar.
Jalaluddin
Rakhmat merangkum: Komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan
kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media
cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak
dan sesaat.
Joseph
A. Devito dalam bukunya, Communicology : An Introduction to the study of
communication,
Pengertian
pertama: komunikasi massa adalah komunikasi yang dijtujukan kepada massa,
kepada khlayak yang luar biasa banyaknya. Ini bukan berarti khlayak meliputi
seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang ang menonton
televisi, setidaknya cakupan khlayak itu besar dan pada umumnya sukar untuk
didefinisikan.
Pengertian
kedua :Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh
pemancar-pemancar audio dan visual. Komunikasi barangkali akan lebih mudah dan
lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya, seperti : (televisi, radio,
surat kabar, majalah, film, buku dan pita.)
William
R. Rivers dkk komunikasi massa dapat diartikan dalam dua cara:
1. Komunikasi
oleh media.
2. Komunikasi
untuk massa.
Namun,
Komunikasi Massa tidak berarti komunikasi untuk setiap orang. Pasalnya, media
cenderung memilih khalayak; demikian pula, khalayak pun memilih-milih media.
Karakteristik
Komunikasi Massa menurut William R. Rivers dkk.:
1. Satu
arah.
2. Selalu
ada proses seleksi –media memilih khalayak.
3. Menjangkau
khalayak luas.
4. Membidik
sasaran tertentu, segmentasi.
5. Dilakukan
oleh institusi sosial (lembaga media/pers); media dan masyarakat saling memberi
pengaruh/interaksi.
McQuail
menyebut ciri utama komunikasi massa dari segi:
1. Sumber
: bukan satu orang, tapi organisasi formal, “sender”-nya seringkali merupakan
komunikator profesional.
2. Pesan
: beragam, dapat diperkirakan, dan diproses, distandarisasi, dan selalu
diperbanyak; merupakan produk dan komoditi yang bernilai tukar.
3. Hubungan
pengirim-penerima bersifat satu arah, impersonal, bahkan mungkin selali sering
bersifat non-moral dan kalkulatif.
4. Penerima
merupakan bagian dari khalayak luas.
5. Mencakup
kontak secara serentak antara satu pengirim dengan banyak penerima.
Lengkapnya,
Karakteristik Komunikasi Massa menurut para pakar komunikasi :
1. Komunikator
Melembaga (Institutionalized Communicator) atau Komunikator Kolektif
(Collective Communicator) karena media massa adalah lembaga sosial, bukan orang
per orang.
2. Pesan
bersifat umum, universal, dan ditujukan kepada orang banyak.
3. Menimbulkan
keserempakan (simultaneous) dan keserentakan (instantaneos) penerimaan oleh
massa.
4. Komunikan
bersifat anonim dan heterogen, tidak saling kenal dan terdiri dari pribadi-pribadi
dengan berbagai karakter, beragam latar belakang sosial, budaya, agama, usia,
dan pendidikan.
5. Berlangsung
satu arah (one way traffic communication).
6. Umpan
Balik Tertunda (Delayed Feedback) atau Tidak Langsung (Indirect Feedback);
respon audience atau pembaca tidak langsung diketahui seperti pada komunikasi
antarpribadi.
Ada
lima tahap yang berbeda yang membentuk proses komunikasi massa:
1. Sebuah
pesan diformulasikan oleh komunikator profesional.
2. Pesan
akan dikirim dengan cara yang relatif cepat dan berkelanjutan melalui
penggunaan media (biasa dipergunakan cetak, film, atau siaran).
3. Pesan
mencapai relatif besar dan beragam (yaitu, massa) penonton, yang hadir ke media
dengan cara selektif.
4. Setiap
anggota dari penonton menafsirkan pesan sedemikian rupa sehingga mereka
mengalami makna yang kurang lebih paralel dengan yang dimaksudkan oleh
komunikator professional.
5. Sebagai
hasil dari ini mengalami makna, anggota audiens dipengaruhi dalam beberapa
cara: yaitu, komunikasi memiliki beberapa efek.
2.
Asumsi
Dasar Komunikasi Massa
Asumsi
dasar adanya teori ini karena zaman terus berkembang dimana manusia semakin
kritis dan perkembangan teknologi tidak bisa dan tidak bolehdihentikan.
Informasi semakin mudah diciptakan dan didapatkan karenaperkembangan media massa
yang sedemikian pesat. Pesatnya perkembangan teknologi di bidang komunikasi
massa mau tak mau akan memberikan banyak efek yang beragam bagi setiap individu
yang menerimanya, efek ini dapatmembuat pintar publik namun dapat juga
menyebabkan pembodohan terhadap publik. Namun demikian, komunikasi massa tetap
menjadi sebuah perwujudan dari perkembangan zaman yang seharusnya dilihat dan
dijaga agar tetap selalu berefek positif sesuai dengan fungsi dari komunikasi
massa itu sendiri. Berikut ini adalah fungsi-fungsi dari komunikasi massa,
antara lain :
1. Fungsi
pengawasan
·
Pengawasan peringatan
·
Pengawasan instrumental
2. Fungsi
interpretasi
3. Fungsi
hubungan (linkage)
4. Fungsi
sosialisasi
5. Fungsi
hiburan
Disamping
itu dalil yang mendasari munculnya komunikasi massa, diantaranya :
·
Media merupakan industri yang berubah
dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang, dan jasa, serta
menghidupkan industri lain yang terkait; media juga merupakan industri
tersendiri yang memiliki aturan dan norma-norma yang menghubungkan institusi
tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya. Di lain pihak,
institusi media diatur oleh masyarakat.
·
Media massa merupakan sumber kekuatan
atau alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat
didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
·
Media merupakan lokasi (atau forum) yang
semakin berperan, untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat,
baik yang bertaraf nasional atau internasional.
·
Media sering sekali berperan sebgai
wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembanagan
tata-cara, mode , gaya hidup dan norma-norma.
·
Media telah menjadi sumber dominan bukan
saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas, tetapi juga
bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif; media menyuguhkan nilai-nilai dan
penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.
3.
Para
Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Massa
a)
Teori
Kegunaan dan Kepuasan(Uses and Gratifications Theory)
Teori
kegunaan dan kepuasan diperkenalkan pertama kali pada tahun 1974 oleh Elihu
Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch. Teori ini mengatakan bahwa pengguna
media memainkan peran aktif dalam memilih dan menggunakan media massa. Audience
atau khalayak memiliki peran yang aktif dalam memilih media dalam rangka
memenuhi kebutuhannya dan khalayak juga selektif dalam memilih media yang tepat
dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Teori ini merupakan kebalikan dari teori
jarum hipodermik atau teori peluru dimana pada teori tersebut audience atau
khalayak dianggap pasif dan media sangat powerful dalam menyuntikkan
pesan-pesannya kepada khalayak. Sementara dalam teori ini khalayak yang justru
powerful dalam memilih media dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Hal ini
memiliki arti bahwa terjadi proses seleksi media yang dilakukan oleh khalayak.
Formula yang dirumuskan untuk menjelasakan teori ini adalah probabilitas
seleksi akan sama dengan janji imbalan dibagi dengan upaya yang diperlukan.
Formula ini menjelaskan bahwa imbalan atau hal yang didapat oleh khalayak dalam
memenuhi kebutuhannya dibandingkan dengan upaya yang diperlukan dalam mengakses
media tersebut atau manfaat yang akan diperoleh akan menghasilkan kemungkinan
dipilihnya media massa tersebut oleh khalayak dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Gratifikasi atau kepuasan yang bersifat umum antara lain pelarian dari rasa
khawatir, peredaan rasa kesepian, dukungan emosional, perolehan informasi dan
kontak sosial.
Bahkan
sebelumnya karya klasik oleh Herta Herzog (1944) memulai tahap awal penelitian
Kegunaan dan Gratifikasi. Dia berusaha membagi alsan-alasan orang melakukan
bentuk-bentuk alsan yang berbeda mengenai perilaku media, seperti membaca surat
kabar dan membaca radio. Herxog mempelajari mengenai peran dari keinginan dan
kebutuhan khalayak, dan ia sering kali diasosiakan sebagai pelopor asli teori
Kegunaan dan Gratifikasi (meskipun label ini baru muncul di kemudian hari)
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Menurut
Katz, Blumler, Gurevitch, (1974:20) mereka juga merumuskan asumsi-asumsi dasar
teori ini, diantaranya :
1. Khalayak
dianggap aktif; artinya,sebagian penting dari penggunaan meida massa dirumuskan
mempunyai tujuan.
2. Dalam
proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan
dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3. Media
massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya.
4. Banyak
tujuan pemilih media massa disimpulkan dari dat yang diberikan anggota
khalayak; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan
dan motif pada situasi-situasi tertentu.
5. Penilaian
tentang aarti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti
lebih dahulu oleh khlayak. (Blummler, dan Katz 1974:22).
Studi
pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media,
bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam
kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya
dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai
bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya
secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di
sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota
khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan
terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan
bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah
satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan
mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain.
Riset
yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an
oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa
opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar
(McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di
radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh
gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera
sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan
para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka
selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman,
saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Teori
kegunaan dan kepuasan juga adalah salah satu dari teori komunikasi massa yang
populer dan sering digunakan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas
komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and
gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau
komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang
dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan
: “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?”
Riset
yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka
menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media persons
interactions sebagai berikut :
1. Diversion,
yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
2. Personal
relationships, yaitu persahabatan; kegunaan social
3. Personal
identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
4. Surveillance
(bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Teori
ini juga membahas mengenai kebutuhan dan biasanya sangat erat kaitannya dengan
teori Maslow, yang terdiri atas :
·
Physiological Needs
·
Safety Needs
·
Belonging Needs
·
Esteem Needs
·
Self-actualization Needs
Uses
and Gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak
mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam.
b)
Teori
Agenda Setting (Agenda Setting Theory)
Teori
Penentuan Agenda (Agenda Setting Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa
media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media
massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam
agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada
isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Dua asumsi dasar yang paling
mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah:
1. Masyarakat
pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan
membentuk isu;
2. Konsentrasi
media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai
isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain;
Salah
satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda adalah peran
fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang
potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal
“Pers
mungkin tidak berhasil banyak waktu dalam menceritakan orang-orang yang
berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa”
Bernard C. Cohen, 1963.
Teori
Agenda Setting pertama dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The
World Outside and the Picture in our head”, penelitian empiris teori ini
dilakukan Mc Combs dan Shaw ketika mereka meniliti pemilihan presiden tahun
1972.
Mereka
mengatakan antara lain walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia
belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan
masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa
para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk
realitas social kita, ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam
menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan
hal-hal lain melalui media, meraka juga belajar sejauhmana pentingnya suatu isu
atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Media
massa berfungsi menyusun agenda untuk diskusi, kebutuhan-kebutuhan dan
kehidupan orang-orang. penting atau tidaknya diskusi tersebut ditentukan dan diperluas
oleh media massa. Menurut teori ini media massa mempunyai fungsi yang berbeda
sesuai dengan jenis mediannya.
Misalnya,
televisi mempunyai agenda settingnya berlaku dalam waktu pendek yang
memprioritaskaan pada agenda setting sebagai lampu sorot. Adapun pada surat
kabar sangat memperhatikan agenda setting tentang masalah publik, politik, atau
masalah-masalah yang sedang aktual di masyarakat.
Mengikuti
pendapat Chaffed dan Berger (1997) ada beberapa catatan penting yang perlu
dikemukakan untuk memperjelas teori ini:
1. Teori
ini mempunyai kekuatan penjelas untuk menerangkan mengapa orang sama-sama
menganggap penting suatu isu.
2. Teori
ini mempunyai kekuatan memprediksikan sebab memprediksi bahwa jika orang-orang
mengekspos pada satu media yang sama, mereka akan merasa isu yang sama tersebut
penting.
3. Teori
ini dapat dibuktikan salah jika orang-orang tidak mengekspos media yang sama
maka mereka tidak akan mempunyai kesamaan bahwa isu media itu penting.
Sementara
itu, Stephen W. Littlejhon (1992) pernah mengatakan, agenda setting ini
beroperasi dalam tiga bagian sebagai berikut:
·
Agenda media itu sendiri harus diformat.
Proses ini akan memunculkan masalah bagaimana agenda setting media itu terjadi
pada waktu pertama kali.
·
Agenda media dalam banyak hal mempengaruhi
atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi
publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan, seberapa besar kekuatan media
mampu mempengaruhi agenda publik dan bagaimana publik itu melakukannya.
·
Agenda pubik mempengaruhi atau
berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan adalah pembuatan
kebijakan publik yang dinggap penting bagi individu.
Dengan
demikian, agenda setting ini memprediksikan bahwa agenda media mempengaruhi
agenda publik, semantara agenda publik sendiri akhirnya mempengaruhi agenda
kebijakan.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Teori
Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita,
artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers”
seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang
pantas diberitkan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu
diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu
pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada
suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam
tayang). Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi
melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat
(public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada
anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan
dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah
menarik perhatian masyarakat (Community Salience).
Model
agenda setting menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi fokus
penelitian telah bergeser dari efek pada sikap dan pendapat kepada efek
kesadaran dan efek pengetahuan. Asumsi dasar teori ini, menurut Cohen (1963)
adalah : The press is significantly more than a surveyor of information and
opinion. It may not be successful much of the time in telling the people what
to think, but it stunningly successful in telling leaders what to think about.
To tell what to think about. artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa
yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan yang menonjol, media memberikan
test case tentang isu apa yang lebih penting. Asumsi agenda setting model ini
mempunyai kelebihan karena mudah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah di
antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang lebih banyak mendapat
perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya, akan
dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi
sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media massa. oleh karena
itu agenda setting model menekankan adanya hubungan positif antara penilaian
yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan
khalayak pada persoalan tersebut. Dengan kata lain, apa yang dianggap penting
oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan
media, akan luput juga dari perhatian masyarakat (Elvinaro, dkk, 2007: 76-77).
Dampak
media massa, kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu,
telah dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa. Disinilah
terletak efek komunikasi massa yang terpenting, kemampuan media untuk
menstruktur dunia buat kita. Tapi yang jelas Agenda Setting telah membangkitkan
kembali minat peneliti pada efek komunikasi massa.
c)
Teori
Norma Budaya (Cultural Norms Theory)
Cultural
Norms Theory dikemukakan oleh Melvin DeFleur. Dalam teori inimedia massa
melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya padatema-tema tertentu,
menciptakan kesan-kesan pada khalayak di mana norma-norma budaya umum mengenai
topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengancara-cara tertentu.Perilaku
individual biasanya dipandu oleh norma-norma budayamengenai suatu hal tertentu,
maka media komunikasi secara tidak langsungakan mempengaruhi perilaku.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Cultural
norms theory bahwa norma budaya yang ada di masyarakat berkaitan dengan media
komunikasi dan komunikasi massa.
Ada
tiga cara di mana media secara potensial mempengaruhi situasi dannorma bagi
individu-individu, terdiri atas:
·
Pesan komunikasi massa akan memperkuat
pola-pola yang sedang berlakudan memadu khalayak untuk percaya bahwa suatu
bentuk sosial tertentutengah dibina oleh masyarakat.
·
Media komunikasi dapat menciptakan
keyakinan baru mengenai hal-hal dimana khalayak sedikit banyak telah memiliki
pengalaman.
·
Komunikasi massa dapat mengubah
norma-norma yang tengah berlaku dankarenanya mengubah khalayak dari suatu
bentuk perilaku mejadi bentuk perilaku yang lain.
Media
massa melalui informasi yang disampaikannya dengan cara-cara tertentu dapat
menimbulkan kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma dan
nilai-nilai budayanya.Media massa mempengaruhi budaya-budaya masyarakatnya
dengan cara :
·
Pesan-pesan yang disampaikan media massa
memperkuat budaya yang ada. Ketika suatu budaya telah kehilangan tempat
apresiasinya, kemudian media massa memberi lahan atau tempat maka budaya yang
pada awalnya sudah mulai luntur menjadi hidup kembali.
·
Media massa telah menciptakan pola baru
tetapi tidak bertentangan bahkan menyempurnakan budaya lama.
·
Media massa mengubah budaya lama dengan
budaya baru yang berbeda dengan budaya lama.
Menurut
Paul Lazarfeld dan Robert K Merton terdapat empat sumber utama kekhawatiran
masyarakat terhadap media massa, yaitu :
Sifat
Media Massa yang mampu hadir dimana-mana (Ubiquity) serta kekuatannnya yang
potensial untuk memanipulasi dengan tujuan-tujuan tertentu
Dominasi
kepentingan ekonomi dari pemilik modal untuk menguasai media massa dengan
demikian media massa dapat dipergunakan untuk menjamin ketundukan masyarakat
terhadap status quo sehingga memperkecil kritik sosial dan memperlemah
kemampuan khalayak untuk berpikir kritis.
·
Media massa dengan jangkauan yang besar
dan luas dapat membawa khalayaknya pada cita rasa estetis dan standar budaya
populer yang rendah.
·
Media massa dapat menghilangkan sukses
sosial yang merupakan jerih payah para pembaharu selama beberapa puluh tahun
yang lalu.
d) Teori Ketergantungan (Dependency
Theory)
Teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung
kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan
khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media
massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan
yang sama terhadap semua media.
Ada dua
jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung
terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan
dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. contoh,
orang yang suka liga inggris, akan tergantung sama tnyangan itu. orng yg suka
liga spanyol, tdak tergantung dgn tyangan itu.
Sumber
ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Hal ini akan mempengaruhi
khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang
menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial. Untuk mengukur efek yang
ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat
digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi
F.
Komunikasi
Budaya
1. Definisi Komunikasi Budaya
Komunikasi budaya adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah
kebudayaan yang sama. Fungsi Sosial Komunikasi Budaya: Fungsi pribadi, ialah fungsi
komunikasi yang ditunjukkan melalui komunikasi yang bersumber dari seorang
individu, untuk menyatakan identitas sosial, menyatakan integrasi sosial, menambah
pengetahuan. Fungsi
sosial, ialah fungsi komunikasi yang bersumber dari faktor budaya yang
ditunjukkan melalui prilaku komunikasi yang bersumber dari interaksi
sosial, diantaranya berfungsi sebagai berikut: pengawasan, menjembatani, sosialisasi nilai, dan menghibur.
2. Asumsi dasar Teori Komunikasi
Budaya
Kajian budaya adalah
perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya
yang kuat dan dominan. Kajian budaya jauh melampaui media, sering juga disebut
kajian khalayak. Kajian budaya berkaitan dengan sikap, pendekatan, dan kritik
mengenai sebuah budaya (West & Turner 2008, II:63). Kajian
budaya berkembang di Inggris. Stuart Hall adalah seorang teoritikus budaya
dan mantan direktur Center for Contemporary Cultural Studies. Ia
menyatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi kaum elit. Media berfungsi
mengomunikasikan cara-cara berpikir yang dominan, tanpa memperdulikan
efektivitas pemikiran tersebut. Kajian budaya menekankan bahwa media
menjaga agar orang-orang yang berkuasa tetap memiliki kekuasan, sementara yang
kurang berkuasa menerima mentah-mentah apa yang diberikan kepada mereka. Kajian
budaya mempelajari kegiatan rekreasi, hobi dan olahraga untuk berusaha memahami
bagaimana individu berfungsi di dalam masyarakat. Intinya kajian budaya
bergerak melampaui interpretasi mengenai masyarakat yang kaku dan terbatas
menuju konsepsi budaya yang lebih luas. Teori ini berakar pada beberapa klaim
penting mengenai budaya dan kekuasaan: budaya tersebar dalam dan menginvasi
semua sisi perilaku manusia dan orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan
yang bersifat hirarkis. Asumsi pertama berkaitan dengan pemikiran mengenai
budaya. Budaya didefinisikan sebagai sebuah komunitas makna. Berbagai norma,
ide dan nilai serta bentuk-bentuk pemahaman di masyarakat yang membantu orang
untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari
ideologi sebuah budaya. Dalam artian luas, praktik-praktik budaya dan
institusi memengaruhi ideologi kita. Kita tidak dapat melarikan diri dari
kenyataan budaya bahwa sebagai komunitas global, tindakan tidak dilakukan dalam
ruang hampa. Graham Murdock (1989) menekankan ketersebaran budaya dengan
menyatakan bahwa semua kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan
dan menciptakan ulang sistem makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam
bentuk-bentuk ekspresif, praktik-praktik sosial dan institusi-institusi. Makna
di dalam budaya kita dibentuk oleh media. Media dapat dianggap sebagai
pembawa pesan berbasis teknologi dari budaya, bahkan media lebih daripada itu.
Media menginvasi seluruh ruang kehidupan kita, membentuk selera makan,
berpakaian, dan tindakan-tindakan lainnya. Asumsi kedua dari kajian
budaya berkaitan dengan manusia sebagai bagian penting dari sebuah hirarki
sosial yang kuat. Kekuasaan bekerja di semua level kehidupan manusia. Hall
tertarik dengan kekuasaan yang dipegang oleh kelompok sosial atau
kekuasaan di antara kelompok-kelompok. Makna dan kekuasaan berkaitan erat.
Makna tidak dapat dikonseptualisasikan di luar bidang permainan dari hubungan
kekuasaan. Sumber kekuatan yang paling mendasar di dalam membentuk cara pandang
itu semua dalam masyarakat kita adalah media. Media telah menjadi terlalu kuat
dan berkuasa. Tidak ada institusi yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa
yang didengar oleh publik kecuali media. Jika media menganggap suatu peristiwa
memiliki nilai penting, maka peristiwa tersebut menjadi penting. Suatu
peristiwa yang sebenarnya tidak penting, maka ia menjadi tidak penting.
Hegemoni merupakan konsep penting dalam kajian budaya. Secara umum
hegemoni didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah
kelompok sosial terhadap yang lain. Gramsci berpendapat bahwa khalayak
dapat dieksploitasi oleh sistem sosial yang juga mereka dukung. Mulai dari
budaya popular, lagu-lagu pop, tarian atau dance, makanan, hingga agama.
3. Pencetus dan Teori-teori
Komunikasi Budaya
a)
Teori
Akomodasi Komunikasi
Teori
ini dikemukakan oleh Howard Giles dan koleganya, teori ini berkaitan dengan
penyesuaian interpersonal dalam interaksi komunikasi. Hal ini didasarkan pada
observasi bahwa komunikator sering kelihatan menirukan perilaku satu sama lain.
Teori akomodasi komunikasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali
memperkenalkan pemikiran mengenai model ”mobilitas aksen” Yang didasarkan pada
berbagai aksen yang dapat didengar dalam situaisi wawancara. Teori akomodasi
didapatkan dari sebuah penelitian yang awalnya dilakukan dalam
bidang
ilmu lain, dalam hal ini psikologi sosial. (West dan Lynn Turner, 2007: 217). Akomodasi
didefinisikan sebagai kemampuan menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur
perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya
dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah kognitif internal
yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan orang lain. (West dan Lynn
Turner, 2007: 217)
Asumsi-Asumsi
Teori Akomodasi Komunikasi
Mengingat
bahwa akomodasi dipengaruhi oleh beberapa keadan personal, situasional dan
budaya maka dapat diidentifikasikan empat asumsi berikut ini:
· Persamaan
dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat didalam semua percakapan.
Pengalaman-pengalaman
dan latar belakang yang bervariasi akan menentukan sejauh mana orang akan
mengakomodasi orang lain.semakin mirip sikapdan keyakinan kita dengan orang
lain,makin kita tertarik kepada dan mengakomodasi orang lain tersebut.
· Cara
dimana kita mempersepsikan tuturan dan perilaku orang lainakan menentukan
bagaiman kita mengevaluasi sebuah percakapan.
Akomodassi
komunikasi adalah teori yang mementingkan bagaimana orang mempersepsikan dan
mengevaluasi apa yang terjadi dalam sebuah percakapan. Persepsi adalah proses
memerhatikan dan menginterpretasikan pesan, dan evaluasi merupakan proses
menilai percakapan. Orang pertamakali mempersepsikan apa yang terjadi dalam
percakapan sebelum mereka memutuskan bagaiman mereka akan berperilaku dalam
percakapan.
· Bahasa
dan perilaku memberikan informasi mengenai status sosial dan keanggotaan
kelompok.
Asumsi
ketiga ini berkaitan dengan dampak yang dimiliki bahasa terhadap orang
lain.secara khusus,bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan status dan
keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah percakapan.
· Akomodasi
bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian dan norma mengarahkan proses akomodasi.
Norma
telah terbukti memainkan peranan dalam teori giles, norma adalah harapan
mengenai perilaku yang dirasa seseorang harus atau tidak harus terjadi didalam
percakapan. Norma pada umumnya orang yang lebih muda harus meurut pada orang
yang lebih muda mengidindikasikan bahwa orang yang lebih bawah akan lebih
mengakomodasi percakapan.
Cara Beradaptasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan.
Mereka mungkin menciptakan komunitas percakapan yang melibatkan penggunaan
bahasa atau sistem nonverbal yang sama, mereka mungkin akan membedakan diri
mereka dari orang lain, dan mereka akan berusaha terlalu keras untuk
beradaptasi. Pilihan-pilihan ini akan diberi label konvergensi, divergensi, dan
akomodasi berlebihan.
Proses
pertama yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah konvergensi. Jesse
Delia, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland dalam West dan Lynn Turner
(2007:222) mendefinisikan konvergensi sebagai ”strategi dimana individu
beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan
beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku
verbal dan nonverbal lainnya. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka
bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya.
Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan
pada ketertarikan. Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka
akan melakukan konvergensi dalam percakapan.
Proses
kedua yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah divergensi yaitu strategi
yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara para
komunikator. Divergensi terjadi ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan
persamaan antara para pembicara.
Terdapat
beberapa alasan mengapa orang melakukan divergensi, pertama untuk
mempertahankan identitas sosial. Contoh, individu mungkin tidak ingin melakukan
konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan budaya mereka. Contoh, ketika
kita sedang bepergian ke Paris, kita tidak mungkin mengharapkan orang Prancis
agar melakukan konvergensi terhadap bahasa kita. Alasan kedua mengapa orang
lain melakukan divergensi adalah berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan
peranan dalam percakapan. Divergensi seringkali terjadi dalam percakapan ketika
terdapat perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan (dokter-pasien,
orangtua-anak, pewawancara-terwawancara, dan seterusnya. Terakhir, divergensi
cenderung terjadi karena lawan bicara dalam percakapan dipandang sebagai
anggota dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggap memiliki sikap-sikap yang
tidak menyenangkan, atau menunjukkan penampilan yang jelek.
Proses
ketiga yang dapat dihubungkan dengan teori akomodasi adalah Akomodasi
Berlebihan : Miskomunikasi dengan tujuan. Jane Zuengler (1991) dan West dan
Lynn Turner (2007: 227) mengamati bahwa akomodasi berlebihan adalah ”label yang
diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu berlebihan.” istilah
ini diberikan kepada orang yang walaupun bertindak berdasarkan pada niat baik,
malah dianggap merendahkan.
b)
Standpoint Theory (Sandra Harding
dan Julia T. Wood)
Disarikan
dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition. Dalam
teori ini, Harding dan Wood menggagas bahwa salah satu cara terbaik untuk
mengetahui bagaimana keadaan dunia kita, yaitu dengan memulai penyelidikan kita
dari standpoint kaum wanita dan kelompok-kelompok marginal lain. A standpoint
adalah sebuah tempat di mana kita memandang dunia di sekitar kita. Apapun
tempat yang menguntungkan itu, lokasinya cenderung memfokuskan perhatian kita
pada beberapa fitur dalam bentangan alam dan sosial dengan mengaburkan
fitur-fitur lainnya. A standpoint bermakna sama dengan istilah viewpoint,
perspective, outlook, atau position. Dengan catatan bahwa istilah-istilah ini
digunakan dalam tempat dan waktu khusus, tetapi semuanya berhubungan dengan
perilaku dan nilai-nilai. Standpoint kita mempengaruhi worldview kita.
Menurut
Harding, ketika orang berbicara dari pihak oposisi dalam hubungan kekuasaan
(power relations), perspektif dari kehidupan orang-orang yang tidak memiliki
power, menyediakan pendangan yang lebih objektif daripada pandangan orang-orang
yang memiliki kekuasaan. Yang menjadi fokus bahasannya adalah standpoint kaum
wanita yang selama ini termarginalisasi.
Standpoint Seorang Feminis Berakar pada Filosofi dan
Literatur
Georg Hegel (filosof Jerman) menganalisis hubungan majikan-budak untuk menunjukkan apa yang orang tahu tentang diri mereka, orang lain, dan masyarakat berdasarkan di mana mereka menjadi bagian dalam kelompok itu. Majikan dan budak memiliki perspektif yang berbeda ketika keduanya menghadapi realitas yang sama. Namun ketika ‘para tuan’ membangun struktur masyarakat, mereka memiliki kekuasaan (power) untuk membuat perspektif yang mereka miliki juga dianut oleh orang-orang dari kelompok yang lain. Referensi berikutnya adalah teori Karl Marx dengan konsep kaum borjuis dan proletarian serta ‘class struggle’. Para feminis mengganti konsep proletarian dengan kaum wanita, dan mengganti perjuangan kelas dengan ‘gender discrimination’. George Herbert Mead menggagas bahwa kebudayaan (culture) dianut oleh manusia lewat komunikasi. Dengan menggunakan gambaran prinsip symbolic interactionism, Wood menyatakan bahwa gender lebih merupakan sebuah konstruksi budaya daripada sebuah karakteristik biologis. Berdasarkan teori postmodernism, para feminis mengkritik kenyataan bahwa rasionalitas dan western science, didominasi oleh pria.
Harding dan Wood menggambarkan semua teori berdasarkan pendekatan konflik di atas, tanpa membiarkan teori-teori itu membentuk atau mempengaruhi substansi pendekatan standpoint mereka.
Georg Hegel (filosof Jerman) menganalisis hubungan majikan-budak untuk menunjukkan apa yang orang tahu tentang diri mereka, orang lain, dan masyarakat berdasarkan di mana mereka menjadi bagian dalam kelompok itu. Majikan dan budak memiliki perspektif yang berbeda ketika keduanya menghadapi realitas yang sama. Namun ketika ‘para tuan’ membangun struktur masyarakat, mereka memiliki kekuasaan (power) untuk membuat perspektif yang mereka miliki juga dianut oleh orang-orang dari kelompok yang lain. Referensi berikutnya adalah teori Karl Marx dengan konsep kaum borjuis dan proletarian serta ‘class struggle’. Para feminis mengganti konsep proletarian dengan kaum wanita, dan mengganti perjuangan kelas dengan ‘gender discrimination’. George Herbert Mead menggagas bahwa kebudayaan (culture) dianut oleh manusia lewat komunikasi. Dengan menggunakan gambaran prinsip symbolic interactionism, Wood menyatakan bahwa gender lebih merupakan sebuah konstruksi budaya daripada sebuah karakteristik biologis. Berdasarkan teori postmodernism, para feminis mengkritik kenyataan bahwa rasionalitas dan western science, didominasi oleh pria.
Harding dan Wood menggambarkan semua teori berdasarkan pendekatan konflik di atas, tanpa membiarkan teori-teori itu membentuk atau mempengaruhi substansi pendekatan standpoint mereka.
Wanita sebagai Kelompok yang Termarginalisasi
Para
ahli teori ini melihat perbedaan-perbedaan penting antara pria dan wanita.
Untuk menggambarkan ini, Wood menggunakan teori relational dialectic tentang
autonomy-connectedness. Pria dianggap lebih otonom, sedangkan wanita dianggap
lebih suka berhubungan dengan orang lain. Namun Wood melihat perbedaan seperti
ini, serta perbedaan lain yang begitu luas antara pria dengan wanita, merupakan
hasil dari cultural expectation serta perlakuan yang diterima pria dan wanita
dari orang lain.
Selain
isu gender, Harding juga menekankan kondisi ekonomi, ras, orientasi seksual
sebagai identitas kultural tambahan yang dapat membuat orang berada di tengah
masyarakat atau menjadi orang yang terpinggirkan. Standpoint theory menekankan
pentingnya social location karena mereka yakin bahwa orang yang berada di
puncak societal hierarchy adalah orang-orang yang memiliki previlise untuk
mendefinisikan apa dan bagaimana artinya ‘menjadi wanita’, atau ‘menjadi pria’,
atau hal-hal lain, bagian dari budaya, yang dianut masyarakat.
Knowledge from Nowhere versus Local Knowledge
Mengapa
standpoint begitu penting? Karena, menurut Harding, kelompok sosial yang
memiliki kesempatan untuk mendefinisikan problematika, konsep, asumsi, dan
hipotesis yang penting dalam sebuah bidang ilmu, akan meninggalkan bekas
sosialnya pada gambaran dunia yang berasal dari hasil penelitian dalam bidang
itu.
Penekanan Harding terletak pada local knowledge untuk menentang pernyataan bahwa traditional western science yang mengungkapkan ‘truth’, bebas nilai dan objektif. Harding dan para ahli standpoint theory lainnya bersikukuh bahwa tidak ada kemungkinan bagi teciptanya perspektif yang tanpa bias, yang tanpa ditunggangi kepentingan-kepentingan, impartial, bebas nilai, atau terlepas dari situasi sejarah tertentu.
Penekanan Harding terletak pada local knowledge untuk menentang pernyataan bahwa traditional western science yang mengungkapkan ‘truth’, bebas nilai dan objektif. Harding dan para ahli standpoint theory lainnya bersikukuh bahwa tidak ada kemungkinan bagi teciptanya perspektif yang tanpa bias, yang tanpa ditunggangi kepentingan-kepentingan, impartial, bebas nilai, atau terlepas dari situasi sejarah tertentu.
Namun
Harding dan Wood tidak menyatakan bahwa standpoint wanita atau kelompok
minoritas lainnya, memberikan pandangan yang jelas akan sesuatu. Situated
knowledge akan selalu parsial. Para ahli standpoint theory memelihara
perspektif bahwa kelompok subordinat memberikan gambaran dunia yang lebih
lengkap dan karenanya, lebih baik daripada gambaran yang diberikan oleh
kelompok masyarakat yang terhormat.
Objektifitas yang Kuat: Tinjauan yang Lebih Parsial dari Standpoint Wanita
Harding menggunakan istilah strong objectivity untuk menyebut strategi memulai penelitian ini dari kehidupan wanita dan kelompok termarginalisasi lainnya yang kepentingan dan pengalamannya, biasanya diabaikan. Mengapa standpoint wanita dan kelompok lain yang termarginalisasi dapat menampilkan perspektif yang lebih menyeluruh, lebih tepat, atau lebih benar dibandingkan perspektif pria yang berada pada posisi dominan? Wood menawarkan dua penejalasan. Pertama, orang-orang dengan status subordinat memiliki motivasi yang lebih besar untuk mengerti perepektif dari orang-orang dengan kekuasaan lebih. Alasan yang kedua, yaitu karena kelompok-kelompok ini biasanya dipinggirkan, maka mereka punya sedikit alasan untuk mempertahankan status quo.
Harding menggunakan istilah strong objectivity untuk menyebut strategi memulai penelitian ini dari kehidupan wanita dan kelompok termarginalisasi lainnya yang kepentingan dan pengalamannya, biasanya diabaikan. Mengapa standpoint wanita dan kelompok lain yang termarginalisasi dapat menampilkan perspektif yang lebih menyeluruh, lebih tepat, atau lebih benar dibandingkan perspektif pria yang berada pada posisi dominan? Wood menawarkan dua penejalasan. Pertama, orang-orang dengan status subordinat memiliki motivasi yang lebih besar untuk mengerti perepektif dari orang-orang dengan kekuasaan lebih. Alasan yang kedua, yaitu karena kelompok-kelompok ini biasanya dipinggirkan, maka mereka punya sedikit alasan untuk mempertahankan status quo.
Menurut
Harding, perspektif objektif dari kehidupan wanitalah yang memberikan
standpoint yang lebih disukai dalam melakukan proyek-proyek penelitian,
hipotesis dan interpretasi.
Teori ke Praktik: Penelitian Komunikasi Berdasarkan Kehidupan Wanita
Ada contoh di bawah ini yang mampu menggambarkan sebuah model penelitian komunikasi yang berawal dari kehidupan wanita. Julia Wood mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai seorang wanita kulit putih, heteroseksual, wanita profesional, yang memikul tanggung jawab untuk mengurus kedua orangtuanya hingga keduanya meninggal. Wood lantas melihat bahwa praktik-praktik gendered communication merefleksikan sekaligus memaksakan societal expectation kita bahwa caregiving adalah pekerjaan wanita. Ia mendengar kata-kata bahwa dirinya memang sudah seharusnya mampu mengurus orangtua dan keluarga, dari ayah dan koleganya.
Ada contoh di bawah ini yang mampu menggambarkan sebuah model penelitian komunikasi yang berawal dari kehidupan wanita. Julia Wood mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai seorang wanita kulit putih, heteroseksual, wanita profesional, yang memikul tanggung jawab untuk mengurus kedua orangtuanya hingga keduanya meninggal. Wood lantas melihat bahwa praktik-praktik gendered communication merefleksikan sekaligus memaksakan societal expectation kita bahwa caregiving adalah pekerjaan wanita. Ia mendengar kata-kata bahwa dirinya memang sudah seharusnya mampu mengurus orangtua dan keluarga, dari ayah dan koleganya.
Wood
percaya bahwa kebudayaan itu sendiri harus direformasi dengan cara menjauhkan
istilah caring terhadap afiliasi historisnya dengan wanita dan hubungan pribadi
dan mendefinisikannya kembali sebagai hal yang penting dan merupakan bagian
integral dari kehidupan publik kolektif kita.
Contoh lain tentang studi komunikasi yang berawal dari standpoint wanita adalah konsep invitational rhetoric yang diajukan oleh Sonja Foss dan Cindy Griffin. Foss dan Griffin mengajukan konsep offering sebagai pendekatan alternatif terhadap rhetoric yang merefleksikan kehidupan wanita. Invitational rhetoric adalah sebuah undangan untuk mengerti sebagai cara untuk menciptakan suatu hubungan yagn berakar pada persamaan, nilai yang tetap ada, dan self-determinism. Dalam offering, orator mengatakan apa yang mereka ketahui dan mengerti. Mereka menghadirkan penglihatan mereka akan dunia dan menunjukkan bagaimana dunia terlihat dan bagaimana dunia mempengaruhi mereka.
Contoh lain tentang studi komunikasi yang berawal dari standpoint wanita adalah konsep invitational rhetoric yang diajukan oleh Sonja Foss dan Cindy Griffin. Foss dan Griffin mengajukan konsep offering sebagai pendekatan alternatif terhadap rhetoric yang merefleksikan kehidupan wanita. Invitational rhetoric adalah sebuah undangan untuk mengerti sebagai cara untuk menciptakan suatu hubungan yagn berakar pada persamaan, nilai yang tetap ada, dan self-determinism. Dalam offering, orator mengatakan apa yang mereka ketahui dan mengerti. Mereka menghadirkan penglihatan mereka akan dunia dan menunjukkan bagaimana dunia terlihat dan bagaimana dunia mempengaruhi mereka.
Beberapa
kritik bagi teori ini adalah sebagai berikut:
Meskipun
standpoint theory pada awalnya dibangun untuk mengapresiasi nilai dari
pespektif wanita, teori ini kemudian diaplikasikan pula pada kelompok-kelompok
marginal lainnya. Karena pembahasannya menjadi semakin spesifik, maka konsep
solidaritas kelompok yang menjadi inti teori ini patut dipertanyakan. Hekman
dan Hirschmann menyatakan bahwa tidak ada sebuah ekspresi lewat kata-katapun
yang bebas dari nilai, termasuk wanita dan kelompok-kelompok marginal lainnya,
Konsep
strong objectivity sebenarnya kontradiktoris. Jika ditinjau dari postmodern,
standpoint theory menyatakan bahwa standpoint itu sifatnya relatif dan tidak
dapat dievaluasi dengan kriteria mutlak. Di sisi lain, Sandra dan Wood
menekankan bahwa perspektif wanita ini lebih bebas bias dan lebih netral
daripada perspektif kelompok yang lebih terhormat.
c)
Muted Group Theory (Cheris Kramarae)
Disarikan
dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition Kramarae
menyatakan bahwa bahasa (language) secara harfiah, adalah sebuah man-made
construction. Ia menegaskan bahwa bahasa dari sebuah budaya khusus tidak
melayani semua orang yang mengucapkannya secara sama, karena memang tidak semua
speaker memberikan kontribusi yang sama dalam formulasinya. Wanita, dan anggota
dari kelompok subordinat lain, tidaklah bebas atau bisa mengatakan apa, yang
ingin mereka katakana, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma-norma
yang mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, yaitu pria.
Menurut
Kramarae, kata-kata wanita tidak dihargai dalam masyarakat kita. Pemikiran
wanita mengalami hal yang sama. Ketika wanita mencoba meniadakan ketidakadilan
ini, kontrol pria terhadap komunikasi menempatkan wanita dalam
ketidakberdayaan. Man-made language membantu mendefinisikan, menjatuhkan, dan
meniadakan wanita. Wanita adalah the muted group (kelompok yang dibungkam).
Tipe dominansi pria pada bahasa hanyalah satu aspek saja dari berbagai cara
untuk membungkam kepentingan wanita dalam masyarakat.
Muted Groups: Black Holes in Someone Else’s Universe
Ardener
berasumsi bahwa ketidakpedulian terhadap pengalaman wanita merupakan masalah
unik gender bagi social-anthropology. Ia kemudian sadar bahwa mutedness
(kebisuan) disebabkan karena kekurangan kekuasaan (power). Orang-orang yang
memiliki sedikit kekuatan tidak menyadari masalah bahasa yang mereka gunakan
untuk mengungkapkan persepsi mereka.
Menurut
Ardener, muted structures ada di dalamnya, tetapi tidak sadar dalam penggunaan
bahasa yang diciptakan kelompok dominan. Sebagai hasilnya, mereka diabaikan,
disia-siakan, dan tidak terlihat. Seperti black holes in someone else’s
universe.
Namun
Ardener mengingatkan bahwa muted group tidak selalu diam. Isunya adalah apakah
orang dapat mengatakan hal yang ingin mereka katakan saat dan di tempat mereka
ingin mengatakannya. Atau haruskah mereka me-re-encode pemikiran mereka untuk
membuat mereka dimengerti oleh public dominan? Kramarae merasa yakin bahwa
posisi kekuasaan dominan pria dalam masyarakat menjamin bahwa cara ekspresi
publi tidaklah secara langsung tersedia bagi wanita.
Pada
hakikatnya, Kramarae hanyalah salah seorang feminis yang ingin megungkapkan
kebungkaman yang sistematik atas suara wanita (women voice). Para feminis
memiliki agenda penelitian yang menganggap penting pengalaman wanita.
Kekuatan Maskulin untuk Menamai Pengalaman
Karamarae
memulai bahasannya dengan asumsi bahwa wanita melihat kenyataan di sekitarnya
dengan cara yang berbeda dengan pria karena keduanya mengalami pengalaman dan
aktivitas yang berbeda berdasarkan pembagian kerja (division of labor). Ia
yakin bahwa ketidaksesuaian kekuasaan antar jenis kelamin memastikan bahwa
wanita memandang dunia dengan cara yang berbeda dengan pria. Seringkali
pengalaman wanita ini harus diungkapkan kemudian disensor terlebih dahulu oleh pria.
Padahal saling pengertian sebenarnya mampu terbentuk jika ada diskusi lebih
lanjut mengenai hal itu. Namun, masalah yang dihadapi wanita adalah diskusi itu
tidak pernah benar-benar terjadi di lapangan. Persepsi pria dominan karena
dominansi politik mereka, yang kemudian mengekang kebebasan berekspresi wanita
sebagai mode alternatif di dunia. Pemilik mode ekspresi di dunia adalah pria
dan pria pula yang membingkai diskusi.
Menurut teori symbolic interactionism dari Mead, perluasan pengetahuaan adalah perluasaan penamaan (naming). Jika ini benar, maka siapapun yang punya kemampuan naming, ia akan memiliki kekuasaan yang luar biasa. Selanjutnya, menurut pendekatan socio-cultural, bahasa membentuk persepsi kita akan realitas. Maka, menurut Kramarae, pengabaian terus-menerus terhadap kata-kata, dapat membuat pengalaman itu menjadi unspoken, bahkan unthought. Akibatnya, lama-kelamaan, muted women akan meragukan validitas pengalaman dan legitimasi perasaan mereka.
Menurut teori symbolic interactionism dari Mead, perluasan pengetahuaan adalah perluasaan penamaan (naming). Jika ini benar, maka siapapun yang punya kemampuan naming, ia akan memiliki kekuasaan yang luar biasa. Selanjutnya, menurut pendekatan socio-cultural, bahasa membentuk persepsi kita akan realitas. Maka, menurut Kramarae, pengabaian terus-menerus terhadap kata-kata, dapat membuat pengalaman itu menjadi unspoken, bahkan unthought. Akibatnya, lama-kelamaan, muted women akan meragukan validitas pengalaman dan legitimasi perasaan mereka.
Pria sebagai Gatekeepers Komunikasi
Meskipun
public mode of expression memiliki begitu banyak kosakata untuk mendeskripsikan
pengalaman feminin, wanita akan tetap di-muted ketika mode of expression mereka
diabaikan. Dalam masyarakat terjadi pembangunan kultural tentang peran luar
biasa pria dengan tidak mengakui atau mempublikasikan seni, puisi, skenario,
public address, dan esay akademik wanita. Selama 500 tahun wanita dilarang
membuka bisnis. Bahkan pengaruhnya dalam media cetak dibatasi hingga tahun
70-an. Kramarae menyebutnya malestream expression. Menurut Dorothy Smith, pria
menganggap penting hanya pembicaraan yang diucapkan pria. Lingkaran pria yang
menulis dan berbicara sangat penting bagi satu sama lain. Apa yang dilakukan
pria hanya relevan bagi pria, ditulis oleh, tentang, dan untuk pria. Pria
didengarkan dan mendengarkan satu sama lain.
Janji yang Tak Terpenuhi tentang Internet
Kita
berasumsi bahwa ketika internet muncul, era gatekeeping yang dilakukan oelh
pria, telah berakhir. Namun tidak demikian menurut Kramarae. Di bawah ini
ada
4 kiasan untuk menggambarkan hal itu:
Information Superhighway, yaitu masih sulit bagi wanita
untuk mengakses pelayanan inernet dengan harga yang relative masih tidak
terjangkau bagi wanita, serta situs tidak dirancang secara khusus untuk
menyambut wanita.
The New Frontier, yaitu pria berpandangan bahwa komputer dan online tidak cocok bagi wanita.
The New Frontier, yaitu pria berpandangan bahwa komputer dan online tidak cocok bagi wanita.
Democracy, yaitu karena kaum wanita belum menjadi kelompok yang
‘membuat pengetahuan (knowledge), maka wanita justru harus lebih berhati-hati
ketika menelusuri dunia maya.
A Global Community, lewat internet, wanita bisa saling berbagi pengalaman
dengan orang lain di seluruh dunia. Namun internet menghadirkan komunitas yang
telah eksis tanpa mendorong pihak-pihak yang tidak hadir untuk berpartisipasi.
Untuk mendapt kepercayaan, para pria membuat site ‘women only’ untuk menipu
wanita dan mendapatkan kepercayaan mereka.
Women’s Truth into Men’s Talk: The Problem of Translation
Women’s Truth into Men’s Talk: The Problem of Translation
Mengasumsikan
bahwa dominansi maskulin dalam komuniksi publik adalah sebuah realitas yang
tengah terjadi, Kramarae menyatakan, untuk berpartisipasi dalam masyarakat,
wanita harus mentranslasikan model mereka ke dalam sistem ekspresi pria yang
dipakai masyarakat selama ini. Seperti bicara dengan bahasa kedua, translasi
ini butuh proses yang terus-menerus. Apa yang ingin dikatakan wanita tidak
dapat diungkapkan secra benar-benar tepat karena bahasa yang ada bukanlah
buatan mereka. Dan, layaknya seperti bahasa kedua, ketika translasi selesai
dilakukan, kata-kata yang telah ditranslasikan itu tidak benar-benar
mengungkapkan maksud wanita.
Speaking Out in Private: Networking with Women
Menurut
Kramarae, wanita cenderung mencari cara yang berbeda dalam mengekspresikan
pengalamannya kepada public. Wanita menggunakan diary, jurnal, surat, cerita,
dongeng, gossip, seni, puisi, nyanyian, maupun parodi nonverbal. Pria biasanya
lupa akan sekitarnya jika telah berkomuniksi dengan wanita lewat channels
tersebut. Karamarae yakin bahwa pria memiliki kemampuan yang lebih rendah dari
wanita dalam mengerti maksud dari lawan jenis. Namun pria tetap melakukan itu
karena mereka sadar bahwa mendengarkan wanita itu perlu untuk membangun
kehormatan yang lebih besar lagi untuk dirinya.
Speaking Out in Public: A Feminist Dictionary
Tujuan
utama dari muted theory adalah untuk mengubah man-made linguistic system yang
membuat wanita tidak bisa maju dan berkembang. Menurut Kramarae, salah satunya
dibakukan oleh kamus-kamus yang beredar. Kemudian ia dan Paula Treichler
membuat kompilasi kamus feminis yang menawarkan definisi untuk kata-kata
wanita.
Sexual Harassment: Coining A Term to Label
Experience
Pelecehan
seksual (sexual harassment) tidaklah terjadi secara acak menurut Kramarae.
Wanita telah menjadi objek tetap pelecehan seksual. Ini terjadi karena wanita
tidak memiliki kekuasaan (power) yang besar dalam masyarakat sehingga ia
senantiasa dilecehakn dan direndahkan. Masih menurut Kramarae, istilah sexual
harassment sendiri digunakan pertama kali pada sebuah kasus di pengadialn pada
akhir tahun 1970. itu adalah kata legal petama yang didefinisikan oleh wanita.
Dan bagi muted group, perjuangan untuk mengimbangi man-made language, terus
berlangsung.
Kritik: Is A Good Man Hard to Find (And Change)?
Mengapa
budaya patriarki dianut oleh kita? Mengapa pria begitu ingin mendominasi
msyarakat? Pertanyaan tentang motif pria ini adalah sesuatu yang problematis.
Menurut Kramarae, pria berusaha mengontrol wanita. Namun anggapan ini dibantah
oleh Tannen. Tannen setuju bahwa perbedaan gaya komunikasi antara pria dan
wanita menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan. Namun Tannen menolak alasan
yang diajukan Kramarae. Menurut Tannen, penyebabnya adalah gaya yang berbeda
(different style) antara pria dan wanita. Kramarae membantahnya kembali dengan
menyatakan bahwa alasan itu terlalu naïve. Kramarae menyalahkan hirarki
politik, pendidikan, agama, legal, ras, system support gender, dan kelas.
Respons kita pada muted theory bergantung pada apakah kita mendapat manfaat
atau malah menjadi korban atas sistem ini.
d)
Genderlect Styles (dari
Deborah Tannen)
Deborah Tannent mendiskripsikan
ketidakmengertian (misunderstanding)
antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan
perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada pelayanan status dan
kemandiriannya.
Genderlect Styles membicarakan gaya
bercakap-cakap- bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana
menyatakannya. Tanent meyakini bahwa terdapat gap antara laki-laki dan
perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross culture), untuk itu perlu
mengantisipasi berkenaan dengan gap itu. Kegagalan mengamati perbedaan gaya
bercakap dapat membawa masalah yang besar.
Perbedaan-perbedaan itu terletak pada:
·
Kecenderungan feminis versus maskulin,
hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda: antara superior dan
inverior dalam pembicaraan. Komunitas feminis – untuk membangun relationship;
menunjukkan responsif. Komunitas maskulin – menyelesaikan tugas; menyatakan
diri; mendapatkan kekuasaan.
·
Perempuan berhasrat pada koneksi versus
laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan
kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power).
·
Raport talk versus report talk. Perbedaan
budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan
perempuan. Raport talk adalah
istilah yang digunakan untuk menilai obrolan perempuan yang cenderung terkesan
simpatik.Report talk adalah
istilah yang digunakan menilai obrolan laki-laki yang cenderung apa adanya,
pokoknya sampai. Berkenaan dengan kedua nilai ini, Tanent menemukan temuan-temuan
yang terkategorikan sebagai berikut:
a. Publik speaking versus private speaking, dalam
kategori ini diketemukan bahwa perempuan lebih banyak bicara pada pembicaraan
pribadi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat pembicaraan publik,
laki-laki menggunakan pembicaraan sebagai pernyataan fungsi perintah;
menyampaikan informasi; meminta persetujuan.
b. Telling story, cerita-cerita menggambarkan harapan-harapan,
kebutuhan-kebutuhan, dan nilai-nilai si pencerita. Pada kategori ini laki-laki
lebih banyak bercerita dibanding perempuan-khususnya tentang guyonan. Cerita guyonan
merupakan suatu cara maskulin menegoisasikan status.
c. Listening, perempuan cenderung
menjaga pandangan, sering manggut, berguman sebagai penanda ia mendengarkan dan
menyatakan kebersamaannya. Laki-laki dalam hal mendengarkan berusaha
mengaburkan kesan itu- sebagai upaya menjaga statusnya.
d. Asking questions, ketika ingin bicara
untuk menyela pembicara, perempuan terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan.
Tanent menyebutnya sebagai kooperatif-sebuah tanda raport simpatik daripada
kompetitif. Pada laki-laki, interupsi dipandang oleh Tanent sebagai
power-kekuasaan untuk mengendalikan pembicaraan. Dengan kata lain, pertanyaan
dipakai oleh perempuan untuk memantapkan hubungan, juga untuk memperhalus
ketidaksetujuan dengan pembicara, sedangkan laki-laki memakai kesempatan
bertanya sebagai upaya untuk menjadikan pembicara jadi lemah.
e. Conflict, perempuan memandang konflik
sebagai ancaman dan perlu dihindari. Laki-laki biasanya memulai konflik namun
kurang suka memeliharanya.
G.
Komunikasi
Antar Budaya
1.
Definisi
Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki
kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan
dari semua perbedaan ini. Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi antarbudaya
adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras,
etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi). Kebudayaan adalah cara hidup
yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari
generasi ke generasi.
Kemampuan
lintas budaya terdiri atas tiga komponen, diantaranya :
a. Komponen
pengetahuan (knowledge)
Definisi
dari pengetahuan adalah pemahaman akan pentingnya identitas etnik/kebudayaan
dan kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Artinya, mengetahui
tentang suatu identitas kebudayaan dan mampu melihat segala perbedaan,
misalnya, antara ah;li identitas kolektif dan ahli identitas individu.
b. Komponen
kesadaran (mindfulness)
Kesadaran
secara sederhana berarti secara biasa dan teliti untuk menyadari. Hal ini
berarti kesiapan berganti ke perspektif baru.
c. Komponen
kemampuan (skill)
Kemampuan
mengacu kepada kemampuan untuk menegosiasi identitas melalui observasi yang
teliti, menyimak, empati, kepekaan non-verbal, kesopanan, penyusunan ulang, dan
kolaborasi. Anda tahu jika anda memperoleh negosiasi identitas yang efektif
jika kedua pihak merasa dipahami, dihormati, dan dihargai.
Hamid
Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national
boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana
bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain.
Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi
tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya.
Intercultural
communication generally refers to face-to-face interaction among people of
diverse culture.
Guo-Ming
Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah
proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku
manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.
Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1. Dengan
negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas
satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol
tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks
dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.
2. Melalui
pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang
terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam
proses pemberian makna yang sama.
3. Sebagai
pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena
mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.
4. Menunjukkan
fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain
dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara.
2.
Asumsi
Dasar Komunikasi Antar Budaya
Didalam
buku “Intercultural Communication: A Reader” dimana dinyatakan bahwa komunikasi
antar budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan
(message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu
untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994:19).
Definisi
lain diberikan oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan
interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa
orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003:13). Apapun
definisi yang ada mengenai komunikasi antar budaya (intercultural
communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila
terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang
melaksanakan proses komunikasi.
Philipsen
(dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial
dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan
secara mensejarah. Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode.
Terdapat
empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:
a. Jarak
kekuasaan (power distance)
b. Maskulinitas.
c. Penghindaran
ketidakpastian (uncertainty avoidance).
d. Individualisme.
3.
Para
Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Budaya
Berkenaan
dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori pengelolaan
kecemasan/ketidakpastian (AnXiety/Uncertainty Management), teori negoisasi rupa
(Face-Negotiation), dan teori kode berbicara (Speech Codes).
a)
Teori
Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian
Teori
yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya
pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada
segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan.
Perbedaannya dapat dijelaskan dengan apakah seseorang merupakan anggota dari
sebuah kebudayaan dengan konteks yang tinggi atau kebudayaan dengan konteks
yang rendah[6]. Kebudayaan dengan konteks yang tinggi sangat mengandalkan
keseluruhan situasi untuk menafsirkan kejadian-kejadian dan kebudayaan dengan
konteks rendah lebih mengandalkan pada isi verbal yang jelas dari pesan-pesan.
Para anggota kebudayaan dengan konteks yang tinggi, seperti orang-orang Jepang,
mengandalkan isyarat non-verbal dan informasi tentang latar belakang seseorang
untuk mengurangi ketidakpastian, tetapi para anggota dari kebudayaan dengan
konteks rendah seperti orang-orang inggris menanyakan pertanyaan langsung
berhubungan dengan pengalaman, sikap dan keyakinan.
William
Gudykunst menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses
meminimalisir
ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity,
understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst
menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari
kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari
mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan
pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi-
suatu emosi.
Di
tahun-tahun terakhir, Gudykunst telah memperluas teori ini secara mendalam,
bahwa teori tersebut sekarang telah mencakup sekitar 50 dalil yang berhubungan
dengan konsep diri, motivasi, reaksi, terhadap orang yang baru, penggolongan
sosial, proses-proses situasional, hubungan dengan orang-orang baru, dan
beberapa hal lain yang berhubungan dengan kecemasan dan keefektifan.[7]
Jelasnya, kecemasan dan ketidakpastian berhubungan dengan seluruh sifat-sifat
komunikasi, prilaku, dan pola-pola, serta kombinasi ini mempengaruhi apa yang
kita lakukan dalam percakapan dengan orang-orang yang tidak kita kenal.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Konsep-konsep
dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
a. Konsep
diri dan diri.
Meningkatnya
harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan
kemampuan mengelola kecemasan.
b. Motivasi
untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya
kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan
orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
c. Reaksi
terhadap orang asing.
Sebuah
peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks
tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk
memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah
peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing
menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan
sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang
asing.Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu
peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
d. Kategori
sosial dari orang asing.
Sebuah
peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang
asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan
kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi:
pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing
mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.
Sebuah
peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif
kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan
akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan
perilaku mereka.
e. Proses
situasional.
Sebuah
peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan
orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah
peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.
f. Koneksi
dengan orang asing.
Sebuah
peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan
penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan
perilaku mereka.
Sebuah
peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya
diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.
b)
Teori
Negosiasi Rupa (Face Negotiation Theory)
Dikembangkan
oleh Stella Ting-Toomey dan koleganya, teori negoisasi rupa memberikan sebuah
dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya rupa dalam
kebudayaan yang berbeda.Jadi, ini adalah perluasan alami dari teori-teori
tentang argumentasi. Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu
menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey
berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face.
Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan
orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan
verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face
loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu
dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik
yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face
work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis.
Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Budaya
memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana orang berkomunikasi dan mengelola
konflik satu sama lain secara individu, dan antar kelompok. Budaya memberikan
kerangka acuan untuk interaksi individu dan kelompok karena terdiri dari nilai,
norma, kepercayaan, dan tradisi yang memainkan peranan besar dalam bagaimana
seseorang atau kelompok mengidentifikasi diri. Dr Ting-Toomey menyatakan bahwa
konflik dapat berasal baik dari benturan langsung dari kepercayaan budaya dan
nilai-nilai, atau sebagai akibat dari misapplying harapan tertentu dan standar
perilaku untuk suatu situasi tertentu. Face-Negosiasi Teori mengidentifikasi
tiga masalah tujuan bahwa konflik akan berkisar:. Konten, relasional, dan
identitas.
Konten
tujuan konflik adalah isu-isu eksternal yang individu memegang dalam hal
tinggi. Tujuan konflik relasional, seperti namanya, lihat bagaimana individu
mendefinisikan, atau idealnya akan mendefinisikan hubungan mereka dengan
anggota lain dalam situasi konflik. Akhirnya, identitas gol berbasis melibatkan
masalah konfirmasi identitas, rasa hormat, dan persetujuan dari anggota
konflik. Tujuan ini memiliki koneksi terdalam dengan budaya dan mereka yang
paling langsung berhubungan dengan menyelamatkan muka isu.
Teori
ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a. Avoiding
(penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan
anggota kelompok.
b. Obliging
(keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.
c. Compromising
– saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi
bisa dibuat.
d. Dominating
– saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e. Integrating
– saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan
masalah bersama-sama.
Face-negotiation
teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan
integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face
dan other -face.
c)
Teori
kode berbicara (Speech Codes Theory)
Teori
yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan
speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam
sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:
a. Dimanapun
ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.
b. Sebuah
speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c. Pembicaraan
yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar
untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d. Istilah,
aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e. Kegunaan
suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi,
menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens
(bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Teori
kode berbicara mengacu pada kerangka kerja untuk komunikasi dalam masyarakat
tutur tertentu. Sebagai disiplin akademis, ini mengeksplorasi cara di mana
kelompok berkomunikasi berdasarkan sosial, jenis kelamin budaya, pekerjaan atau
faktor lainnya. Sebuah kode berbicara juga dapat didefinisikan sebagai
"sistem konstruksi sosial historis berlaku istilah, makna, tempat, dan
aturan, tentang perilaku komunikatif."
Definisi
dasar dari kode berbicara sosiolog Basil Bernstein adalah, "sebuah prinsip
coding adalah aturan yang mengatur apa yang harus dikatakan dan bagaimana
mengatakannya dalam konteks tertentu" (Miller, 2005).
Menurut
profesor komunikasi dan penulis Katherine Miller (2005), teori kode berbicara
memiliki latar belakang dalam antropologi, linguistik dan komunikasi. Pengaruh
penting lainnyaadalah karyaantropolog danahli bahasa DelHymes (Miller, 2005).
Fokusnya adalah pada praktek pidato lokal dalam situasi budaya dansosial.
Dell
Hymes menemukan model berbicara yang akan membantu dalam kode berbicara di
komunitas tertentu (sebagaimana dilaporkan oleh Miller), diantaranya:
·
Situasi (pengaturan atau adegan)
·
Peserta (analisis kepribadian dan posisi
sosial atau hubungan)
·
Ends (tujuan dan hasil)
·
Kisah Para Rasul(pesan, bentuk, isi,
dll)
·
Kunci (nada atau mode)
·
Sarana (saluran atau modalitas digunakan)
·
Norma (kerangka kerja untuk memproduksi
dan pengolahan pesan)
·
Genre (jenis interaksi)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Memahami
konteks komunikasi di dalam kehidupan sehari-hari adalah salah satu cara untuk
mengetahui komunikasi lebih jauh. Dengan memahami konteks komunikasi, berarati
kita telah paham membedakan macam-macam bentuk komunikasi, mulai dari
komunikasi diri sendiri (intrapersonal) sampai dengan komunikasi yang secara
luas. Lahirnya konteks komunikasi tentunya ada teori yang mendasari adanya
konteks komunikasi, tidak ada satu konteks komunikasi-pun yang tidak mempunyai
teori yang mendasarinya. Tentunya para ahli atau para pencetus menemukan teori
tersebut bukanlah mudah seperti yang kita bayangkan, banyak proses yang
tentunya terjadi. Para peneliti menemukan teori biasanya mengikuti teori yang
sudah ada, jadi antara konteks komunikasi dan teori-teori yang mendasari adalah
satu kesatuan utuh dan tentunya tidak dapat terpisahkan antara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Baran,
Stanley J. & Dennis K. Davis. 2003. Mass
Communication Theory:
Foundation Ferment, and Future.
USA: Wadsworth.
Denis,
Mcquaild. 1996. Teori komunikasi Massa.
Jakarta: Erlangga.
Graeme Bruton
.1990. More Than Meets The eye: An Introduction to Media Studies. Newyork.
http://books.google.co.id/books
/audience+dalam+media+massa&source/
Jalaluddin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
McQuail.
1987. Teori Komunikasi Massa edisi 2.
Jakarta: Erlangga.
Mcquail.
2000. Mass Communication Theory.
London: SAGE Publication.
Nurudin.
2003. Komunikasi Massa. Malang: CESPUR.
Nurudin. 2007. Pengantar
Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo.
Riverd William L. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern.
Jakarta: PT
Kencana.
Sari, Endang S. 1993. Audience Research. Yogyakarta: Andi Offset
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking