Woensdag 08 Mei 2013

makalah cabang-cabang ilmu komunikasi


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Penulisan makalah ini dilatar belakangi oleh penyelesaian tugas mata kuliah Sosiologi Komunikasi dan Informasi serta sebagai tambahan pengetahuan bagi saya sebagai penulis dan pembaca.
Cabang-cabang ilmu komunikasi merupakan ilmu yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami teori-teorinya.
Agar teori tersebut lebih jelas maka saya akan menjelaskan masing-masing teori tersebut beserta tokoh pencetusnya. Pemikiran, konsep dan teori ini dijabarkan sehingga dapat dengan jelas di pahami.


B.     Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk :
1.        Mengetahui dan memahami cabang-cabang ilmu komunikasi
2.        Mengetahui dan memahami teori-teori dan pencetus teori dalam cabang-cabang ilmu komunikasi.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Komunikasi Intrapersonal
1.      Definisi Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapersonal adalah penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri. Komunikasi intrapersonal merupakan keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari pesan-pesan. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan. Komunikasi intrapersonal dapat menjadi pemicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pengetahuan mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan kesadaran (awareness) terjadi saat berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh komunikator. Untuk memahami apa yang terjadi ketika orang saling berkomunikasi, maka seseorang perlu untuk mengenal diri mereka sendiri dan orang lain. Karena pemahaman ini diperoleh melalui proses persepsi. Maka pada dasarnya letak persepsi adalah pada orang yang mempersepsikan, bukan pada suatu ungkapan ataupun obyek.
Menurut Lance Morrow dalam majalah Time (1998) mengatakan bahwa “berbicara dengan diri sendiri sering kali merupakan hal yang yang tidak bermartabat-pikiran jahat, pembenaran terhadap diri sendiri, serta maki-makian”. Sedangkan menurut Joan Aitken dan Leonard Shedletsky (1997) menyatakan bahwa komunikasi intrapersonal sebnarnya lebih dari itu. Komunikasi macam ini melibatkan banyak penilaian akan perilaku orang lain.
Aktivitas dari komunikasi intrapribadi yang kita lakukan sehari-hari dalam upaya memahami diri pribadi diantaranya adalah; berdo’a, bersyukur, instrospeksi diri dengan meninjau perbuatan kita dan reaksi hati nurani kita, mendayagunakan kehendak bebas, dan berimajinasi secara kreatif. Pemahaman diri pribadi ini berkembang sejalan dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam hidup kita. Kita tidak terlahir dengan pemahaman akan siapa diri kita, tetapi prilaku kita selama ini memainkan peranan penting bagaimana kita membangun pemahaman diri pribadi ini.
Kesadaran pribadi (self awareness) memiliki beberapa elemen yang mengacu pada identitas spesifik dari individu (Fisher 1987:134). Elemen dari kesadaran diri adalah konsep diri, proses menghargai diri sendiri (self esteem), dan identitas diri kita yang berbeda beda (multiple selves).
Namun, pada tahun 1992, Pengertian tentang ‘communication intrapersonal’ itu sendiri adalah ambigu: banyak definisi tampak melingkar karena mereka meminjam, menerapkan dan dengan demikian mendistorsi fitur konseptual (misalnya, pengirim, penerima, pesan, dialog) ditarik dari komunikasi antar-orang normal, tidak diketahui entitas atau orang -bagian yang diduga melakukan ‘intrapersonal’ tukar, dalam banyak kasus, sebuah bahasa yang sangat pribadi yang mengemukakan, setelah analisis, ternyata benar-benar dapat diakses dan akhirnya tidak dapat dipertahankan. Secara umum, komunikasi intrapersonal tampaknya timbul dari kecenderungan untuk menafsirkan proses mental batin yang mendahului dan menyertai perilaku komunikatif kita seolah-olah mereka juga jenis lain proses komunikasi. Titik keseluruhan adalah bahwa rekonstruksi proses mental batin kita dalam bahasa dan idiom percakapan sehari-hari masyarakat sangat dipertanyakan, lemah di terbaik.
Elemen-elemen konsep diri di dalam komunikasi intrapersonal:
1.      Konsep diri
Konsep diri adalah bagaimana kita memandang diri kita sendiri, biasanya hal ini kita lakukan dengan penggolongan karakteristik sifat pribadi, karakteristik sifat sosial, dan peran sosial.
Karakteristik pribadi adalah sifat-sifat yang kita miliki, paling tidak dalam persepsi kita mengenai diri kita sendiri. Karakteristik ini dapat bersifat fisik (laki-laiki, perempuan, tinggi, rendah, cantik, tampan, gemuk, dsb) atau dapat juga mengacu pada kemampuan tertentu (pandai, pendiam, cakap, dungu, terpelajar, dsb.) konsep diri sangat erat kaitannya dengan pengetahuan. Apabila pengetahuan seseorang itu baik/tinggi maka, konsep diri seseorang itu baik pula. Sebaliknya apabila pengetahuan seseorang itu rendah maka, konsep diri seseorang itu tidak baik pula.
2.      Karakteristik sosial
Karakteristik sosial adalah sifat-sifat yang kita tamplikan dalam hubungan kita dengan orang lain (ramah atau ketus, ekstrovert atau introvert, banyak bicara atau pendiam, penuh perhatian atau tidak pedulian, dsb). Hal hal ini memengaruhi peran sosial kita, yaitu segala sesuatu yang mencakup hubungan dengan orang lain dan dalam masyarakat tertentu.
3.      Peran sosial
Ketika peran sosial merupakan bagian dari konsep diri, maka kita mendefinisikan hubungan sosial kita dengan orang lain, seperti: ayah, istri, atau guru. Peran sosial ini juga dapat terkait dengan budaya, etnik, atau agama. Meskipun pembahasan kita mengenai 'diri' sejauh ini mengacu pada diri sebagai identitas tunggal, namun sebenarnya masing-masing dari kita memiliki berbagai identitas diri yang berbeda (mutiple selves).
4.      Identitas diri yang berbeda
Identitas berbeda atau multiple selves adalah seseorang kala ia melakukan berbagai aktivitas, kepentingan, dan hubungan sosial. Ketika kita terlibat dalam komunikasi antarpribadi, kita memiliki dua diri dalam konsep diri kita.
·         Pertama persepsi mengenai diri kita, dan persepsi kita tentang persepsi orang lain terhadap kita (meta persepsi).
·         Identitas berbeda juga bisa dilihat kala kita memandang 'diri ideal' kita, yaitu saat bagian kala konsep diri memperlihatkan siapa diri kita 'sebenarnya' dan bagian lain memperlihatkan kita ingin 'menjadi apa' (idealisasi diri)
Ada tiga level dalm aktifitas komunikasi Intrapersonal, diantaranya :
1.      Internal discourse, merupakan aktifitas individu yang berkaitan dengan kerja berpikir, berkonsentrasi, dan kerja analisis tentang sesuatu.
2.      Solo vocal communication, merupakan aktifitas komunikasi antarpersonal seperti berbicara diri sendiri demi memperjelas apa yang seseorang pikirkan dan mengubahnya sebagai pesan yang dapat dikirimkan bagi sesama.
3.      Solo written communication, merupakan komunikasi antarpersonal-menulis untuk diri sendiri (catatan harian).
Dalam komunikasi intrapersonal terjadi pengolahan informasi yang meliputi sensasi, persepsi, memori, dan bepikir.
a.       Sensasi berasal dari “sense”, artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya.
Menurut Benyamin B. Wolman (1973:343) sensasi adalah pengalaman elementer bayang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.
b.      Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Menurut (Desiderato, 1976:129) persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagaian persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori.
c.       Memori memegang peranan penting dalam mempengaruhi baik persepsi (dengan menyediakan kerangka rujukan) maupun berpikir.mendalami psikologi kognitif dalam upaya menemukan cara-cara baru dalam menganalisa pesan dan pengolahan pesan.
Robert T. Craig (1979) bahkan meminta ahli komunikasi agar
d.      Berpikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons.

2.      Asumsi Dasar Komunikasi Intrapersonal
Semua jenis komunikasi intrapersonal yang akan dilakukan oleh individu itu sebenarnya didatangkan pada konsep diri yang akarnya ada pada konsep diri, persepsi, dan ekspektasi. Intinya lahirnya komunikasi intrapersonal itu difokuskan pada peranan diri sendiri.

3.      Para Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Intrapersonal
a)      Psikologi Sosial
Psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungan dengan situasi sosial. Latar belakang timbulnya psikologi sosial berasal dari beberapa pandapat, misalnya Gabriel Tarde mengatakan, pokok-pokok teori psikologisosial berpangkal pada proses imitasi sebagai dasar dari pada interaksi social antar manusia.
Gustave Le Bon berpendapat bahwa pada manusia terdapat dua macam jiwa yaitu jiwa individu dan jiwa massa yang masing-masing berlainan sifatnya. Sigmund Freud berbeda dengan Le Bon, ia berpendapat bahwa jiwa massa itu sebenarnya sudah terdapat dan tercakup oleh jiwa individu, hanya saja tidakdisadari oleh manusia itu sendiri karena memang dalam keadaan terpendam.
Pada tahun 1950 dan 1960 psikologi social tumbuh secara aktif dan program gelar dalam psikologi dimulai disebagian besar universitas. Dasar mempelajari psikologi social bedasarkan potensi-potensi manusia dimana potensi ini mengalami proses perkembangan setelah individu itu hidup dalam lingkungan. Potensi-potensi itu antara lain :
1.      Kemampuan menggunakan bahasa
2.      Adanya sikap etik
3.      Hidup dalam 3 dimensi
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Pandangan psikologis ini melihat manusia sebagai kesatuan lahiriah dan nkarakteristik yang mengarahkannya kepada perilaku mandiri. Dan pandangan ini juga melihat pikiran individu sebgai tempat memproses dan memahami informasi serta menghasilkan pesan, tetapi pandangan ini juga mengakui kekuatan yang dimiliki oleh individu melebihi individu lain serta efek informasi pada pikiran manusia. Oleh karena itu, hampir tidak mengejutkan jika penjelasan-penjelasan psikologis telah menarik para ahli komunikasi, terutama dalam kajian perubahan dan efek-efek interaksi.
Kajian individu sebagai makhluk sosial merupakan tujuan dari tradisi (sociopsychological). Berasal dari kajain psikologi sosial, tradisi ini memiliki tradisi yang kuat dalam komuikasi . Teori-teori tradisi ini berfokus pada perilakusosial individu, variabel psikologois, efek individu, kepribadian dan sifat, presepsi, serta kognisi. meskipun teori-teori ini memiliki banyak perbedaan, mereka sama-sama memperhatikan perilaku dan sifat-sifat pribadi serta proses kognitif yang menghasilkan perilaku.
Pendekatan individualis yang memberi citra tradisi sosiopsikologis merupakan hal yang umum dalam pembahasan komunikasi serta lebih luas dalam ilmu pengetahuan sosial dan perilaku.
Yang mendasari teori psikologis sosial ini adalah komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal bisa di tunjukkan berupa ekspresi wajah, sikap badan, dan gerak isyarat. Didalam komunikasi non verbal ini tidak menggunakan bahasa dan tulisan seperti komunikasi verbal. Komunikasi non verbal pengungkapan pesannya yaitu melalui isyarat. Isyarat hanya dapat digambarkan oleh diri pribadi orang itu sendiri, sehingga proses komunikasipun dalam teori psikologis sosial ini pada dsaarnya adalah diri sendiri.


b)     Teori Pengolahan Informasi (Information Processing Theory)
·         Konsep Pemrosesan Informasi
Teori belajar yang oleh Gagne (1988) disebut dengan ‘Information Processing Learning Theory’.  Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di dalam otak manusia di saat memroses suatu informasi. Karenanya teori belajar tadi disebut juga ‘Information-Processing Model’ oleh Lefrancois atau ‘Model Pemrosesan Informasi’. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu :
·         Motivasi
·         Pemahaman
·         Pemerolehan
·         Penyimpanan
·         Ingatan kembali
·         Generalisasi
·         Perlakuan
·         Umpan balik
Dalam suatu kegiatan belajar, seseorang menerima informasi dan kemudian mengolah informasi tersebut di dalam memori. Pemrosesan informasi dalam memori manusia diproses dan disimpan dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu Sensory Memory, Short-term Memory,dan Long-term Memory.
1. Sensory Memory (SM)
Informasi masuk ke dalam sistem pengolah informasi manusia melalui berbagai saluran sesuai dengan inderanya. Sistem persepsi bekerja pada informasi ini untuk menciptakan apa yang kita pahami sebagai persepsi. Karena keterbatasan kemampuan dan banyaknya informasi yang masuk, tidak semua informasi bisa diolah. Informasi yang baru saja diterima ini disimpan dalam suatu ruang sementara (buffer) yang disebut sensory memory. Durasi suatu informasi dapat tersimpan di dalam sensory memory ini sangat singkat, kurang dari 1/2 sekon untuk informasi visual dan sekitar 3 sekon untuk informasi audio. Tahap pemrosesan informasi tahap pertama ini sangat penting karena menjadi syarat untuk dapat melakukan pemrosesan informasi di tahap berikutnya, sehingga perhatian pembelajar terhadap informasi yang baru diterimanya ini menjadi sangat diperlukan. Pembelajar akan memberikan perhatian yang lebih terhadap informasi jika informasi tersebut memiliki fituratau ciri khas yang menarik dan jika informasi tersebut mampu mengaktifkan pola pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (prior knowledge).


2. Short-term Memory (STM) atau “Working Memory”
Short-term memory atau working memory berhubungan dengan apa yang sedang dipikirkan seseorang pada suatu saat ketika menerima stimulus dari lingkungan. Durasi suatu informasi tersimpan di dalam short-term memory adalah 15 – 20 sekon. Durasi penyimpanan di dalamshort-term memory ini akan bertambah lama, bisa menjadi sampai 20 menit, jika terdapat pengulangan informasi. Informasi yang masuk ke dalam short-term memory berangsur-angsur menghilang ketika informasi tersebut tidak lagi diperlukan. Jika informasi dalamshort-term memory ini terus digunakan, maka lama-kelamaan informasi tersebut akan masuk ke dalam tahapan penyimpanan informasi berikutnya, yaitu long-term memory.
3. Long-term Memory (LTM)
Long-term memory merupakan memory penyimpanan yang relatif permanen, yang dapat menyimpan informasi meskipun informasi tersebut mungkin tidak diperlukan lagi. Informasi yang tersimpan di dalam long-term memory diorganisir ke dalam bentuk struktur pengetahuan tertentu, atau yang disebut dengan schemaSchema mengelompokkan elemen-elemen informasi sesuai dengan bagaimana nantinya informasi tersebut akan digunakan, sehingga schema memfasilitasi akses informasi di waktu mendatang ketika akan digunakan (proses memanggil kembali informasi). Dengan demikian, keahlian seseorang berasal dari pengetahuan yang tersimpan dalam bentuk schema di dalam long-term memory, bukan dari kemampuannya untuk melibatkan diri dengan elemen-elemen informasi yang belum terorganisasi di dalam long-term memory.
Penyimpanan informasi dalam long-term memory dapat diumpamakan seperti peristiwa yang terjadi pada penulisan data ke dalam disket atau hardisk komputer atau pun perekaman suara ke dalam kaset. Kapasitas penyimpanan dalam long-term memory ini dapat dikatakan tak terbatas besarnya dengan durasi penyimpanan seumur hidup. Kapasitas penyimpanan disebut tak terbatas dalam arti bahwa tidak ada seseorang pun yang pernah kekurangan “ruang” untuk menyimpan informasi baru, berapa pun umur orang tersebut. Durasi penyimpanan seumur hidup diartikan sebagai informasi yang sudah masuk di dalam long-term memory tidak akan pernah hilang, meskipun bisa saja terjadi informasi tersebut tidak berhasil diambil kembali (retrieval) karena beberapa alasan.
Menurut teori Gagne, hasil pembelajaran merupakan keluaran dari pemrosesan yang berupa kecakapan manusia (Human Capabilities) yang terdiri atas:
1. Informasi Verbal
Informasi verbal adalah hasil pembelajaran yang berupa informasi yang dinyatakan dalam bentuk verbal (kata-kata atau kalimat) baik secara tertulis atau lisan. Informasi verbal adalah berupa pemberian nama atau label terhadap suatu benda atau fakta, pemberian definisi atau pengertian, atau perumusan mengenai berbagai hal dalam bentuk verbal.
2. Kecakapan Intelektual
Kecakapan intelektual adalah kecakapan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungan yang menggunakan simbol-simbol. Misalnya simbol-simbol dalam bentuk matematik, seperti penambahan, pengurangan, pembagian, perkalian dan sebagainya. Kecakapan intelektual ini mencakup kecakapan dalam membedakan (diskriminasi). Konsep intelektual sangat diperlukan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3. Strategi Kognitif
Strategi kognitif ialah kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan mengelola keseluruhan aktifitasnya. Dalam proses pembelajaran, strategi kognitif ini kemampuan mengendalikan ingatan dan cara-cara berfikir agar terjadi aktifitas yang efektif. Kalau kecakapan intelektual lebih banyak terarah kepada proses pemikiran pelajar. Strategi kognitif ini memberikan kemudahan bagi para pelajar untuk memilih informasi verbal dan kecakapan intelektual yang sesuai untuk diterapkan selama proses pembelajaran dan berfikir.
4. Sikap
Sikap ialah hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih berbagai tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain, sikap dapat diartikan sebagai keadaan didalam diri individu yang akan member arah kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu objek atau rangsangan. Dalam sikap terdapat pemikiran, peradaan yang menyertai pemikiran, dan kesiapan untuk bertindak.
5. Kecakapan Motorik
Kecakapan motorik ialah hasil pembelajaran yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Dalam pemrosesan informasi terdapat hambatan-hambatan. Berdasarkan (Cermak & Craik, dalam Craik & Lockhart, 2002), hambatan teori pemrosesan informasi antara lain:
·         Tidak semua individu mampu melatih memori secara maksimal
·         Proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung
·         Tingkat kesulitan mengungkap kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan
·         Kemampuan otak tiap individu tidak sama.

R. Gagne (1988) adalah pencetus teori pemrosesan informasi (information processing theory), dia berpendapat bahwa “ Dalam pembelajaran itu terjadi proses penerimaan informasi untuk kemudian diolah, sehingga akan menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil pembelajraan. Dalam pemrosesan informasi itu terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu.
Ada beberapa macam kondisi internal dalam komunikasi intrapersonal;
1.      Keadaan di dalam individu yang diperlukan untuk mencapai hasil pembelajaran
2.      Proses kognitif yang terjadi dalam individu selama proses pembelajaran berlangsung
Sedangkan kondisi eksternal ialah berbagai rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi menjadi lima kategori yang disebut the domainds of learning, yaitu sebagai berikut :
1.      Keterampilan motoris (motor skill)
Diperlukan koordinasi dari berbagai gerakan badan.
2.      Informasi verbal
Orang dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, dan menggambar.
3.      Kemampuan intelektual
Manusia mengadakan interaksi dengan dunia luar dengan menggunakan simbol¬simbol.
4.      Strategi kognitif
Ini merupakan organisasi keterampilan yang internal (internal organized skill) yang perlu untuk belajar mengingat dan berpikir.
5.      Sikap
Sikap ini penting dalam proses belajar, tanpa kemmapuan ini belajar tak akan berhasil dengan baik.
Selain itu teori ini membahas juga tentang input, pemrosesan, penyimpanan dan pencarian kembali informasi pada diri manusia. (Chaplin, 2008). Pada input, otak bergantung pada penginderaan untuk menemukan informasi yang berasal dari perangsang lingkungan, dan menyalurkannya ke dalam impuls saraf. Saraf sensoris dan jalan penyalurnya lewat urat saraf tulang belakang dan pusat-pusat subkortikal, dapat disamakan dengan saluran di dalam mesin, cuma memiliki satu kapasitas saluran saja (Chaplin, 2008).
Teori ini menyatakan bahwa informasi mula-mula disimpan pada sensory storage (gudang inderawi), kemudian masuk short-term-memory (STM) lalu dilupakan atau dikoding untuk dimasukkan ke dalam long-term-memory (LTM). Otak manusia dianalogikan dengan komputer.
Terdapat dua macam memori: memori ikonis untuk materi yang kita peroleh secara visual, dan memori ekosis untuk materi yang masuk secara auditif (melalui pendengaran). Penyimpanan disini berlangsung cepat, hanya berlangsung sepersepuluh sampai seperempat detik.
Supaya dapat diingat, informasi harus dapat disandi (encoded) dan masuk pada STM. STM hanya mampu mengingat tujuh (plus atau minus dua) bit informasi. Jumlah bit informasi disebut rentangan memori (memori span). Untuk meningkatkan kemampuan STM, para psikolog menganjurkan kita untuk mengelompokkan informasi; kelompoknya disebut chunk.
Bila informasi dapat dipertahankan pada STM, ia akan masuk pada LTM. Inilah yang umumnya disebut sebagai ingatan. LTM meliputi periode penyimpanan informasi sejak semenit sampai seumur hidup. Kita dapat memasukkan informasi dari STM ke LTM dengan chunking, rehearsals, clustering, atau method of loci.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.
Berdasarkan temuan riset linguistik, psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan model berpikir. Pusat kajiannya pada proses belajar dan menggambarkan cara individu memanipulasi simbol dan memproses informasi.
c)      Teori interferensi (interference theory)
Teori interferensi adalah teori psikologis yang menjelaskan tentang beberapa fitur dari memori. Ini menyatakan bahwa gangguan terjadi kita belajar tentang hal-hal yang baru, yang menyebabkan ingatan yang pernah kita simpan didalam otak itu bisa tergangu, akibat dari itu semua adanya persaingan antara ingatan yang baru masuk dengan ingatan yang sudah lama yang ada didalam otak kita.
Bergstrom (1892) psikolog Jerman, yang melakukan studi pertama tentang interferensi. Eksperimen ini mirip dengan Stroop tugas dan mata pelajaran yang diperlukan untuk menyortir dua deck kartu kata-kata ke dua tumpukan. Ketika lokasi berubah untuk tumpukan kedua, menyortir itu akan lebi lambat. Ini menyebabkan sorting aturan pertama menggangu belajar aturan baru.
Pada tahun 1924, James J. Jenkins dan Dallenback menunjukkan bahwa pengalaman sehari-hari dapat mengganggu memori dengan percobaan yang mengakibatkan retensi yang lebih baik selama periode tidur daripada atas jumlah waktu yang sama yang ditujukan untuk aktivitas.
Teori interferensi terbagi menjadi tiga jenis utama yang sangat mempengaruhi proses psikologis seseorang, diantaranya adalah;
1.      Proaktif
2.      Retroactive
3.      Output
Shiffrin (1970) memori merupakan meja lilin atau kanvas. Pengalaman adalah lukisan pada meja lilin atau kanvas itu. Pada kanvas itu sudah terlukis hukum relativitas. Segera setelah itu Anda mencoba merekam hukum medan gabungan. Yang kedua akan menyebabkan terhapusnya rekaman yang pertama atau mengaburkannya. Inilah yang disebut interfensi. Misalkan, anda menghafal halaman pertama dalam kamus inggris-indonesia kemudian anda berhasil. Teruskan ke halaman kedua. Dan berhasil juga, tetapi yang di ingat pada halaman pertama akan berkurang. Ini yang disebut inhibisi retroaktif (hambatan kebelakang). Beberapa experimen menunjukan bahwa pelajaran yang dihafal sebelum tidur lebih awet dalam ingatan kita dari pada pelajaran yang dihafal sebelum kegiatan-kegiatan lain.


Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa ingatan atau rekaman kita dalam otak itu ada batasan. Rekaman yang kita dalam otak itu memiliki kemampuan penyimpanan yang terkadang bisa kehapus rekaman itu jika di isi dengan rekaman yang lain. Disinalah terjadi interferensi. Kaitan dengan komunikasi intrapersonal terkadang seseoarang yang berbicara di depan public, biasanya seseorang secara tiba-tiba lupa dengan apa yang ingin dia sampaikan, sebenarnya itu terjadi karena kita merekam terlalu banyak atau juga bisa di sebabkan rekaman kita kurang kuat di dalam otak kita.
d)     Teori Aus (Disuse Theory)
Menurut teori ini memori hilang atau memudar karena waktu. Seperti halnya otot manusia bila dilatih terus-menerus maka akan kuat. Sejak jaman yunani hingga kini, masih ada orang yang menganggap bahwa tugas guru adalah melatih ingatan muridnya.
William James, juga Benton J. Underwood membuktikan dengan eksperimen, bahwa “the more memorizing one does, the poorer one’s ability to memorize” – makin sering mengingat, makin jelek kemampuan mengingat.



B.     Komunikasi Interpersonal
1.      Definisi Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal adalah suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Maksud dari Proses ini, yaitu mengacu pada perubahan dan tindakan (action) yang berlangsung terus-menerus.
Menurut Joseph A. Devito, komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Komunikasi antarpersonal dinilai paling baik dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Alasannya adalah karena komunikasi antarpersonal dilakukan secara tatap muka dimana antara komunikator dan komunikan saling terjadi kontak pribadi; pribadi komunikator menyentuh pribadi komunikan, sehingga aka nada umpan balik yang seketika (perkataan, ekspresi wajah, ataupun gesture). Komunikasi inilah yang dianggap sebagai suatu teknik psikologis manusiawi.
Komunikasi interpersonal adalah bukan hal yang tunggal melainkan interpersonal itu komunikasi diantara dua orang. Semakin banyak kita berinteraksi dengan orang sebagai individu yang berbeda, semakin interpersonal yang komunikasi tersebut. Para sarjana studi komunikasi interpersonal bagaimana komunikasi menciptakan dan memelihara hubungan dan bagaimana mitra berkomunikasi untuk menghadapi tantangan normal dan Luar Biasa dari mainining keintiman dari waktu ke waktu (Canary Dan Stafford, 1994; Bebek Dan kayu, 1995; Spencer, 1994; kayu Dan Bebek, 006 ). Penelitian menunjukkan bahwa rekan-rekan yang mendengarkan secara sensitif dan berbicara secara terbuka memiliki kesempatan terbesar untuk mempertahankan hubungan dekat dari waktu ke waktu. Penelitian di bidang ini juga menunjukkan bahwa komunikasi adalah pengaruh yang penting tentang bagaimana mengembangkan hubungan pribadi dari waktu ke waktu.
2.      Asumsi Dasar Komunikasi Interpersonal
Asumsi dasar komunikasi antarpribadi adalah bahwa setiap orang yang berkomunikasi akan membuat prediksi pada data psikologis tentang efek atau perilaku komunikasinya, yaitu bagaimana pihak yang menerima pesan memberikan reaksinya. Jika menurut persepsi komunikator reaksi komunikan menyenangkan maka ia akan merasa bahwa komunikasinya telah berhasil.
Setiap berkomunikasi dengan orang lain kita secara tidak langsung membuat prediksi tentang efek dan prilaku komunikasinya. Menurut Miller ada tiga tingkatan analisis yang digunakan dalam melakukan prediksi, yaitu: tingkat kultural, tingkat sosiologis, dan tingkat psikologis.
Berbicara mengenai efektivitas komunikasi antarpersonal, Mc. Crosky, Larson dan Knapp menyatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengusahakan accuracy yang paling tinggi derajatnya dalam setiap situasi.
Untuk kesamaan dan ketidak samaan dalam derajat pasangan komunikator dan komunikan dalam proses komunikasi, Everett M. Rogers mengetengahkan istilah homophily dan heterophily yang dapat menjelaskan hubungan komunikator dan komunikan dalam proses komunikasi antar personal. Homophily adalah istilah yang menggambarkan derajat pasangan perorangan yang berinteraksi yang memiliki kesamaan dalam sifatnya (attribute). Heterophily adalahh derajat pasangan orang-orang yang berinteraksi yang berada dalam sifat-sifat tertentu. Dalam situasi bebas memilih, dimana komunikator dapat berinteraksi dengan salah seorang dari sejumlah komunikan.
Menurut para psikolog seperti Fordon W. Allport, Erich Fromm, Martin Buber, Carl Rogers dan Arnold P. Goldstein, menyatakan bahwa hubungan antar personal yang baik akan membuat, antara lain :
1.      Makin terbukanya seorang pasien mengungkapkan perasaannya,
2.      Makin cenderung ia meneliti perasaanya secara mendalam beserta penolongnya,
3.      Makin cendereng ia mendengar denagn penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan penolongnya.
Menurut Litteljohn (1999) menyatakan komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan antar individu.
Menurut Agus M. Hardjana (2003:85) komunikasi interpersonal adalah sebuah interaksi tatap muka anatar dua orang atau beberapa orang, dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi pesan secara langsung pula. Pendapat senada juga dikemukakan oleh : Deddy Mulyana (2008:81) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar dua orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun non verbal.
Menurut Trenholm dan jensen (1995:26) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal sebagai komunikasi antar dua orang secara langsung secara tatap muka (komunikasi diadik).
Dalam komunikasi antarpersonal kita mencoba untuk menginterpretasikan makna yang menyangkut diri kita sendiri, diri orang lain, dan hubungan yang terjadi. Kesemuanya terjadi melalui suatu proses piker yang melibatkan penarikan kesimpulan. Masing-masing individu secara simultan akan menggunakan tiga tataran yang berbeda, yaitu persepsi, metapersepsi dan metametapersepsi. Ketiganya akan saling mempengaruhi sepanjang proses komunikasi.
Secara teoritis komunikasi antarpersonal diklasifikasikan menjadi dua jenis menurut sifatnya, antara lain :
1.      Komunikasi diadik ( dyadic communication ) adalah komunikasi antarpersonal yang berlangsung antara dua orang yakni seorang komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang lagi komunikan yang menerima pesan.
2.      Komunikasi tridadik (tridadic communication) adalah komunikasi antarpersonal yang pelkunya terdiri dari tiga orang, yakni seorang komunikator dan dua orang komunikan.
Menurut Judy C. Pearson, menyebutkan ada enam karakteristik komunikasi antarpersonal, antaralain:
1.      Komunikasi antarpersonal dimulai dengan diri pribadi (self)
2.      Komunikasi antarpersonal bersifat transaksional
3.      Komunikasi antarpersonal mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi.
4.      Komunikasi antarpersonal mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihak-pihak yang berkomunikasi
5.      Komunikasi antarpersonal melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu dengan lainnya (interdependen) dalam proses komunikasi
6.      Komunikasi antarpersonal tidak dapat diubah maupun diulang
Teori-teori antarpersonal menjelaskan prosesinteraksi antara dua orang (dyad) yang dilakukan tatap muka atau melalui media. Unit analisi dari komunikasi antarpersonal adalah dyad dan relasi itu sendiri. Ada empat perspektif khusu dari studi komunikasi antarpersonal, yaitu:
1.      Perspektif relasional (kualitatif) yang menguraikan komunikasi melalui peranan pengirim dan penerima yang berbagi dan menciptakan makna pesan secara simultan.
2.      Perspektif situasional (kontekstual), yang menguraikan komunikasi yang terjadi antara dua orang dalam konteks tertentu.
3.      Perspektif kuantitatif, yang menguraikan komunikasi sebagai interaksi dyadic, termasuk komunikasi impersonal.
4.      Pespektif strategis, yang menguraikan komunikasi untuk mencapai tujuan antarpersonal tertentu.
Ada beberapa sifat komunikasi interpersonal, diantaranya adalah :
a.       Komunikasi itu bersifat spontan dan informal
b.      Saling menerima umpan balik (feedback) secara maksimal
c.       Partisipan berperan fleksibel

3.      Para Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Interpersonal
a)      Teori kebutuhan hubungan interpersonal
Gregory Bateson adalah seorang Antropolog, dia pendiri garis teori ini yang selanjutnya dikenal dengan komunikasi relasional. Kerjanya mengarah pada pengembangan dua proposisi mendasar pada mana kebanyakan teori relasional masih bersandar. Pertama yaitu sifat mendua dari pesan: setiap pertukaran interpersonal membawa dua pesan, pesan “report” dan pesan “command”. Report message mengandung substansi atau isi komunikasi, sedangkan command message membuat pernyataan mengenai hubungan. Dua elemen ini selanjutnya dikenal sebagai “isi pesan” dan “pesan hubungan”, atau “komunikasi” dan “metakomunikasi”.
Pesan report menetapkan mengenai apa yang dikatakan, dan pesan command menunjukkan hubungan diantara komunikator. Isi pesan sederhana seperti “I love you” dapat dibawakan dalam berbagai cara, dimana masing-masing mengatakan sesuatu secara berbeda mengenai hubungan. Frasa ini dapat dikatakan dalam cara yang bersifat dominasi, submissive, pleading (memohon), meragukan, atau mempercayakan. Isi pesannya sama, tetapi pesan hubungan dapat berbeda pada tiap kasus.
Proposisi kedua Bateson yaitu bahwa hubungan dapat dikarakterisasi dengan komplementer atau simetris. Dalam hubungan yang komplementer, sebuah bentuk perilaku diikuti oleh lawannya. Contoh, perilaku dominan seorang partisipan memperoleh perilaku submissive dari partisipan lain. Dalam symmetry, tindakan seseorang diikuti oleh jenis yang sama. Dominasi ketemu dengan sifat dominan, atau submissif ketemu dengan submissif.
Disini kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan struktur dalam sistem. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki. Sistem yang mengandung serangkaian pesan submissif akan sangat berbeda dengan yang mengandung rangkaian pesan yang besifat dominasi. Dan struktur pesan yang mencampur keduanya adalah berbeda pula.
Meski Bateson seorang pakar antropologi, gagasannya dengan cepat dibawa kedalam psikiatri dan diterapkan pada hubungan patologis. Beberapa peneliti komunikasi memanfaatkan kerja Bateson dan kelompoknya. Aubrey Fisher, salah satu yang dikenal baik dari kelompok ini, sebagai pemimpin teoritisi sistem. Dalam buku Perspectives on Human Communication dia menerapkan konsep sistem kedalam komunikasi.
Analisa Fisher dimulai dengan perilaku seperti komentar verbal dan tindakan nonverbal sebagai unit terkecil analisa dalam sistem komunikasi. Perilaku yang dapat diamati ini dapat dilihat atau didengar dan merupakan satu-satunya ekspresi pemikiran bagi keterhubungan individu dalam sistem komunikasi. Dari sudut pandang sistem, perilaku itu sendiri adalah apa yang dihitung, dan struktur hubungan terdiri atas pola perilaku yang tersusun ini. Dengan kata lain, hubungan kita dengan orang lain ditentukan oleh bagaimana kedua kita bertindak dan apa yang kita katakan.
Pola komunikasi dibentuk oleh sekuen tindakan. Ketika kita berkomunikasi kita bertindak dan bereaksi dalam sekuen, jadi interaksi adalah arus pesan. Fisher percaya bahwa arus bicara dengan dirinya sendiri mengatakan sedikit mengenai komunikasi, sehingga harus dipecah kedalam unit-unit yang mengandung tindakan dan respon. Fisher mengembangkan metode untuk mengetahui semua pola percakapan, yang terdiri atas pesan-pesan penyandian, sehingga pola respon dapat ditetapkan.
Unit yang paling dasar dari komunikasi dipakai Fisher adalah interact, atau rangkaian dua pesan yang bersambungan diantara dua orang.
Contohnya yaitu pertanyaan dari orang pertama diikuti oleh jawaban dari orang kedua. Pertanyaan yang diikuti oleh jawaban akan berbeda dari permintaan yang diikuti persetujuan. Permintan yang diikuti oleh penawaran adalah berbeda dari suggestion atau saran yang diikuti oleh keberatan. Interaksi dikombinasikan kedalam unit yang lebih besar disebut double interact (tiga tindakan), dan selanjutnya dikombinasi lagi kedalam triple interact (empat tindakan). Struktur dari keseluruhan interaksi merupakan rangkaian interaksi yang makin lama makin membesar. Kebanyakan kerja Fisher melibatkan pembuatan keputusan dalam kelompok kecil. Dalam risetnya dia menyandi apa yang orang katakan dalam diskusi kelompok dan menganalisa interaksi ini dalam cara yang seluruh pola, atau struktur dari diskusi dapat digambarkan. Fisher menunjukkan bagaimana interaksi berkombinasi dengan bentuk fase pemuatan keputusan kelompok.
Diantara periset yang terkenal dalam komunikasi relasional adalah Edna Rogers dan Frank Millar. Kerja Millar dan Rogers merupakan aplikasi langsung dari gagasa Bateson dan konsisten dengan teori Fisher. Secara khusus, mereka bertanggung jawab bagi pengembangan metode riset mengenai pengkode-an dan pengelompokan pola relasional. Seperti Fisher, Millar dan Rogers mengamati percakapan dan kode tindakan komunikasi dalam suatu cara yang membiarkan mereka menemukan pola yang diciptakan melalui interaksi. Dari risetnya mereka mengembangkan teori yang menunjukkan bagaimana hubungan mengandung struktur kontrol, kepercayaan, dan keakraban.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Adalah satu bagian dalam lapangan komunikasi yang dikenal sebagai relational communication sangat dipengaruhi oleh teori sistem. Inti dari kerja ini adalah asumsi bahwa fungsi komunikasi interpersonal untuk membuat, membina, dan mengubah hubungan dan bahwa hubungan pada gilirannya akan mempengaruhi sifat komunikasi interpersonal.
Poin ini berdasar pada gagasan bahwa komunikasi sebagai interaksi yang menciptakan struktur hubungan. Dlaam keluarga misalnya, anggota individu secara sendirian tidak membentuk sebuah sistem, tetapi ketika berinteraksi antara satu dengan anggota lainnya, pola yang dihasilkan memberi bentuk pada keluarga. Gagasan sistem yang penting ini secara luas diadopsi dalam lapangan komunikasi. Proses dan bentuk merupakan dua sisi mata uang; saling menentukan satu sama lain.
b)     Teori Analisis Transaksional (Transactional Analysis Theory)
Menurut International Association Transaksional Analisis, Analisis Transaksional adalah teori kepribadian dan psikoterapi sistematis untuk pertumbuhan pribadi dan perubahan pribadi.
a.       Sebagai teori kepribadian, TA menggambarkan bagaimana orang-orang yang terstruktur psikologis. Ia menggunakan apa yang mungkin modelnya yang paling terkenal, ego-negara (Parent-Adult-Anak) model untuk melakukan hal ini (kita akan membahas tiga negara ego kemudian dalam makalah ini). Model yang sama membantu menjelaskan bagaimana orang fungsi dan mengekspresikan kepribadian mereka dalam perilaku mereka.
b.      Ini adalah teori komunikasi yang dapat diperluas untuk analisis sistem dan organisasi.
c.       Ia menawarkan teori untuk perkembangan anak, dengan menjelaskan bagaimana kita dewasa pola hidup berasal dari masa kanak-kanak. Penjelasan ini didasarkan pada gagasan tentang “Hidup Script”: asumsi bahwa kami terus strategi masa kanak-kanak kembali bermain, bahkan ketika hasil ini dalam sakit atau kekalahan.
d.      Dalam aplikasi praktis, dapat digunakan dalam diagnosis dan perawatan berbagai jenis gangguan psikologis, dan menyediakan sebuah metode terapi untuk perorangan, pasangan, keluarga dan kelompok.
e.       Luar bidang terapi, telah digunakan dalam pendidikan, untuk membantu guru tetap komunikasi yang jelas pada tingkat yang tepat, dalam konseling dan konsultasi, dalam pelatihan manajemen dan komunikasi, dan oleh badan-badan lain.
Teori analisis transaksional memandang hubungan sebagai sebuah system. Setiap system memiliki sifat-sifat structural, integrative, dan medan. Semua system terdiri dari subsistem-subsistem yang saling tergantung dan bertindak bersama sebagai satu kesatuan.
Teori ini dikemukakan oleh seorang psikiater jenius Amerika bernama Eric Berne yang lahir di Montreal Kanada 10 Mei 1910. Kemunculan teori ini tidak dapat dilepaskan dari perasaan dari perasaan kecewa Berne terhadap praktek psikiatri yang menurutnya menuntut biaya terlalu mahal tetapi hasil yang dapat diperdebatkan serta sukar dimengerti. Atas dasar inilah, Berne terdorong untuk mengahsilkan teori dan metode psikiatri yang betul-betul dapat mengak misteri dibalik perilaku manusia yaitu pada otak yang merupakan suatu system.
Haree dan Lamb (1996) mendefinisikan teori analisis transaksional sebagai sesuatu teori kepribadian dan tingkah laku social yang dipakai sebagai wahana untuk psikioterapi dan perubahan social yang lebih umum. Konsep kepribadian dan prilaku social dalam teori ini dipandang sebagai satu kesatuan dimana struktur kepribadian seseorang diyakini akan mempengaruhi cara yang bersangkutan berinteraksi secara social. Komunikasi atau tindakan membina hubungan dengan orang lain merupakan wujud interaksi social. Karena alasan ini kemudian analisis transaksional menempatkan tindakan komunikasi antar manusia sebagai bagian yang tak terlepaskan.
menurut teori analisis transaksional, ketika dua lebih orang bertemu, cepat atau lambat; salah satu dari mereka akan menyapa atau memberikan indikasi lainnya atas kehadiran orang lain. Hal ini disebut “ Stimulus Transaksional”. Orang lain tersebut kemudian akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan stimulus yang diterima. Respon yang diberikan orang lain tersebut dinamai “Tanggapan Transaksional”. Orang yang menyampaikan stimulus disebut “agen” dan orang yang merespon disebut “Responden”.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Berne mengajukan beberapa asumsi dasar yang melandasi teorinya, yaitu:
1.      Manusia pada dasarnya dalam keadaan “oke”. Ini lebih merupakan pernyataan kualitas atau potensial ketimbang keadaan actual. Masing-masing manusia selalu berniali, berguna dan memiliki kemampuan-kemampuan tertentu sehingga layak diperlakukan secara patut.
2.      Semua orang memiliki kapasitas untuk berfikir
3.      Manusia memutuskan sendiri jalan hidup mereka sendiri dengan membuat keputusan pada naskah awal kehidupan mereka, dan keputusan itu dapat diubah.
Tujuan teori analisis transaksional adalah menghasilkan hubungan atau komunikasi yang efektif dan memuaskan kedua belah pihak. Menurut teori ini titik tolak untuk memahami perilaku komunikasi manusia adalah dengan memahami sumber yang mendorong perilaku tersebut yakni Egostate.
c)      Teori Proksemik
Proksemik adalah studi tentang penggunaan jarak dalam menyampaikan pesan; istilah ini dilahirkan oleh antropolog interkultural Edward T. Hall. Hall membagi jarak ke dalam empat corak: jarak publik, jarak sosial, jarak personal, dan jarak akrab. Jarak yang dibuat individu dalam hubungannya dengan orang lain menunjukkan tingkat keakraban di antara mereka.
Proksemik menurut Hall adalah bentuk lain untuk menjelaskan hubungan antara pengamatanya dan teori tentang bagaimana seseorang menggunakan ruang yang khusus dalam kebudayaan dan kebiasaan untuk berkomunikasi antarpersonal. Sebuah definisi khusus lagi tentang proksemik adalah studi tentang bagaiman seorang secara tidak sadar terlibat dalam struktur ruang atau jarak fisik antara manusia sebagai sesuatu keteraturan, tertib pergaulan setiap harinya. Konsep ini sebenarnya konsep yang dianalogikan dari studi-studi para arsitek wilayah perkotaan tentang bagaimana pengamanan suatu kota sebagai pemukiman.
Asumsi Dasar Teori
Ada tiga bentuk dasar ruang antarpersonal yang dikemukakan Hall, antara lain :
1.      Fixed feature space adalah suatu struktur yang tidak dapat digerakan tanpa persetujuan kita.
2.      Semi fixed feature space adalah struktur ruang yang sebagaiannya bisa di gerakan atas kehendak kita atau jangkauan kita.
3.      Informal Space adalah ruang atau wilayah di sekitar badan kita dengan orang lain.
Hall mengemukakan bahwa pada saat seseorang terlibat dalam komunikasi antarpersonal dengan orang lain maka bisa terjadi delapan kemungkinan katagori utama dari analisis proksemik, antara lain :
1.      Posture-sex factor, yaitu jarak antara pasangan waktu berhubungan sex.
2.      Sociofugal-sociopetal axis, adalah adanya hambatan ruang antarpersonaldalam berinteraksi, jika tidak ada hambatan disebut socialpetal axis.
3.      Kinesthetic factor, yaitu perilaku prosemik dengan kebiasaan menyentuh tubuh sehingga menunjukan tingkat keakraban antarpartisipan.
4.      Perilaku meraba dan menyentuh, seseorang mungkin dilibatkan dalam setiap cara meraba-raba, menyentuh, memegang, mengusap, menyinggung, mengecapi makanan dan minuman, memperpanjang pegangan, membuat tekanan-tekanan pada pegangan, sentuhan mendadak, ataupun kebetulan menyentuh.
5.      Visual code, kebiasaan kontak mata dengan jangkauan (saling memandang) dan tidak ada kontak sama sekali.
6.      Thermal code, mengamati kehangatan dari komunikator terhadap lainnya.
7.      Olfactory code, factor ini termasuk jenis dan tingkat kehangatan yang terlibat waktu orang bercakap-cakap.
8.      Voice loudness, kekuatan suara waktu berbicara dihubungkan secara langsung dengan ruang antarpersonal.

d)     Uncertainty Reduction Theory (Teori Pengurangan Ketidakpastian)

Tujuan penyusunan teori pengurangan ketidakpastian  ini adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian di antara orang asing yang terlibat dalam pembicaraan satu sama lain untuk pertama kali. Saat pertama kali bertemu, orang bertindak sebagai peneliti yang naïf, yang termotivasi untuk memprediksi maupun untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam perjumpaan – perjumpaan awal.
Teori ini menyebutkan bahwa ada dua tipe ketidakpastian dari perjumpaan awal, yaitu :
1. Ketidakpastian Kognitif (Cognitive uncertainty) merupakan tingkatan ketidakpastian yang diasosiasikan dengan keyakinan dan sikap.
2. Ketidakpastian Perilaku (Behavioral uncertainty), dilain pihak berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan.
Contoh kasus :
Suatu hari Christian menunggu waktu kuliah di kampus. Di sebelahnya duduk seorang wanita yang tidak dikenalnya, yang merupakan mahasiswi kampus UAJY juga. Setelah 5 menit berlalu, mereka merasa saling tidak nyaman dengan suasana tegang karena mereka tidak saling mengenal dan terus berdiam diri. Ada rasa ketidakpastian apakah orang di sebelahnya merasa tidak nyaman atau berpikir bahwa orang di sebelahnya itu sombong karena tidak menyapa dan tidak mengajak berkenalan. Akhirnya Christian menyapa wanita itu dan mengajaknya berkenalan, belum lama mereka mengobrol akhirnya mereka masuk ke kelas masing – masing. Christian mengalami ketidakpastian kembali dengan berpikir, apakah wanita itu menganggapnya “sok kenal”? tapi Christian memiliki keinginan untuk mengurangi ketidakpastian tersebut dengan mengajak wanita itu berkenalan, oleh karena itu dia mungkin lebih mengerti lebih baik tentang kemungkinan tingkah laku dari orang itu.
Asumsi Uncertainty Reduction Theory (Teori Pengurangan Ketidakpastian)
Teori ini meliputi tujuh (7) asumsi :
1. Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpersonal. Karena terdapat harapan yang berbeda – beda mengenai kejadian interpersonal , maka orang akan merasa tidak pasti atau bahkan cemas untuk bertemu dengan orang lain.
2. Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif. Berada dalam ketidakpastian membutuhkan energy emosional dan psikologis yang banyak. Orang-orang yang dalam kerja barunya mengalami stress dengan sekitarnya.
3. Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan prediktabilitas.Meningkatkan prediktabilitas dengan mencari informasi yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan.
4. Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan – tahapan. Fase awal (awal interaksi di anntara orang asing) Fase personal (tahapan ketika orng mulai berkomunikasi dengan lebih spontan dan membuka banyak informasi personal) Fase Akhir (memutuskan apakah hubungan tersebut akan diteruskan atau dihentikan).
5. Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian.
Komunikasi interpesornal mensyartakan beberapa kondisi, yaitu kemampuan untuk mendengar, tanda respon non-verbal, dan bahasa yang sama. Tantangan seperti ini mempengaruhi proses pengurangan ketidakpastian dan pengembangan hubungan.
6. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang berubah seiring berjalannya waktu. Komunikasi interpersonal adalah perkembangan, yang diawali oleh interaksi awal sebagai elemen kunci keberhasilannya.
7. Sangat mungkin menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum.
Perilaku manusia diatur oleh prinsip – prinsip umum yang berfungsi dengan cara seperti hukum.

Aksioma Uncertainty Reduction Theory (Teori Pengurangan Ketidakpastian)
Uncertanty Reduction Theory mengemukakan adanya tujuh aksioma (kebenaran yang ditarik dari penelitian sebelumnya dan akal sehat) :
1. Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi pada permulaan fase awal, ketika jumlah komunikasi verbal antara dua orang asing meningkat, tingkat ketidakpastian untuk tiap partisipan dalam suatu hubungan akan menurun. Jika ketidakpastian menurun, jumlah komunikasi verbal akan meningkat. Hal ini menyatakan adanya kebalikan atau hubungan negative antara ketidakpastian dan komunikasi verbal.
2. Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal. Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negative.
3. Tingkat ketidakpastian yang tinggi menyebabkan menungkatnya perilaku pencarian infromasi. Ketika tingkat ketidakpastian menurun, perilaku pencarian informasi juga menurun. Aksioma ini menunjukan hubungan yang positif antara dua konsep tersebut.
4. Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam sebuah hubungan menyebabkan penurunan tingkat keintiman dari isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi. Aksioma ni memeprlihatkan hubungan yang negative antara ketidakpastian dan tingkat keintiman.
5. Ketidkapastian yang tingkat tinggi menghasilkan tingkat resiprositas yang tinggi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkay resiprositas yang rendah pula. Hubungan yang positif terjadi disini.
6. Kemiripan di antara orang akan mengurangi ketidakpastian, sementara ketidakmiripan akan meningkatkan ketidakpastian. Aksioma ini menyakan sebuah hubungan yang negative.
7. Peningkatan ketidakpastian akan menghasilkan penurunan dalam kesukaan; penurunan dalam ketidakpastian menghasilkan peningkatan dalam kesukaan. Ini merupakan hubungan negatif.

C.    KOMUNIKASI KELOMPOK
1.      Definisi Komunikasi Kelompok
Kelompok adalah sekumpulan orang – orang yang terdiri darii tiga atau lebih. Kelompok memiliki hubungan yang intensif di antara mereka satu sama lainnya, terutama kelompok primer. Intensitas hubungan di antara mereka merupakan persyaratan utama yang dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok tersebut. kelompok kecil adalah sekumpulan perorangan yang relatif kecil yang masing-masing dihubungkan oleh beberapa tujuan yang sama dan mempunyai derajat organisasi tertentu di antara mereka.
Menurut Dedy Mulyana kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Pada komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
Menurut Anwar Arifin komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Dari dua definisi di atas mempunyai kesamaan, yakni adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu umtuk mencapai tujuan kelompok.
Karakteristik kelompok kecil adalah sebagai berikut :
1.      Jumahnya cukup kecil sehingga semua anggota bisa berkomunikasi dengan mudah sebagai pengirim maupun penerima.
2.      Para anggota kelompok harus dihubungkan satu sama lain dengan beberapa cara.
3.      Di antara anggota kelompok harus ada beberapa tujuan yang sama.
4.      Para anggota kelompok harus dihubungkan oleh beberapa aturan dan struktur yang terorganisasi.
Kelompok kecil melaksanakan kegiatannya dengan berbagai format. Format yang paling populer adalah panel atau meja-bundar, seminar, simposium, dan simposium-forum.
Panel atau Meja Bundar. Dalam format panel atau meja bundar, anggota kelompok mengatur diri mereka sendiri dalam pola melingkar atau semi-melingkar. Mereka berbagi informasi atau memecahkan permasalahan tanpa pengaturan siapa dan kapan mereka berbicara. Anggota akan memberikan kontribusinya jika mereka sendiri merasakan merasakan layak itu.
Seminar. Dalam seminar, anggota kelompok adalah “para pakar” dan berpartisipasi dalam format panel atau meja bundar. Perbedaannya adalah dalam seminar terdapat peserta yang anggotanya diminta untuk berkontribusi. Mereka ini bisa diminta untuk mengajukan pertanyaan atau memberikan beberapa umpan balik.
Simposium, setiap anggota menyajikan presentasi yang telah disiapkan, seperti halnya pidato di depan umum. Semua pembicara menilik dari aspek yang berbeda mengenai suatu topik. Dalam simposium, pemimpin akan memperkenalkan para pembicara, mengatur alur dari satu pembicara ke pembicara lain, dan bisa juga menyampaikan ringkasannya secara berkala.
Simposium-Forum. Simposium-forum terdiri dari dua bagian: simposium, dengan pembicara yang sudah disiapkan, dan forum, yang mempersilakan para hadirin untuk mengajukan pertanyaan dan dijawab oleh pembicara. Pimpinan akan memperkenalkan para pembicara dan menjadi moderator dalam acara tanya jawab.
Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan dengan adanya fungsi-fungsi yang dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut, antara lain fungsi hubungan sosial, fungsi pendidikan, fungsi persuasi, fungsi pemecahan masalah, fungsi pembuatan keputusan, dan fungsi terapi.
Berikut beberapa klasifikasi kelompok dan karakteristik komunikasinya menurut para ahli :
·         Kelompok primer dan sekunder.
Charles Horton Cooley pada tahun 1909 (dalam Jalaludin Rakhmat, 1994) mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita.
Jalaludin Rakhmat membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya :
a.       Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana pribadi saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.
b.      Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya.
c.       Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.
d.      Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal.
e.       Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental.
·         Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan.
Theodore Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Menurut teori, kelompok rujukan mempunyai tiga fungsi: fungsi komparatif, fungsi normatif, dan fungsi perspektif.
·         Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif
John F. Cragan dan David W. Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan peskriptif. Kategori deskriptif melihat proses pembentukan kelompok secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga:
a.       kelompok tugas.
b.      kelompok pertemuan.
c.       kelompok penyadar.
2.      Asumsi Dasar Komunikasi Kelompok
Para Psikolog Sosisal juga mengenal mode. Pada tahun 1960-an, tema uatama mereka adalah persepsi sosial. Pada dasawarsa ini berikutnya, tema ini memudaar. Studi tentang pembentukan dan perubhan sikap juga mengalami pasang surut. Pernah menjadi mode sampai tahun 1950-an, memudar pada dasawarsa berikutnya., dan populer lagi pada akhir 1970-an. Begitu pula study kelompok. Pada tahun 1940-an, ketika dunia dilanda perang, kelompok menjadi pusat perhatian. Setelah perang beralih ke individu, dan bertahan sampai dengan tahun 1970-an. Akhir 1970-an, minat yang tinggi tumbuh kembali pada study kelompok, dan seperti yang diramalkan oleh Steiner (1974) menjadi dominan pada tahun 1980-an. Para pendidik melihat komunikasi kelompok sebgai metode pendidikan yang efektif. Menemukan komunikasi kelompok sebagai wadah yang tepat untuk melahirkan ggasan kreatif, sedangkan para psikiater komunikasi kelompok sebagai wahana untuk memperbaharui kesehatan mental serat para ideolog juga menyaksiakan komunikasi kelompok sebgai sarana untuk meningkatkankesadaran politik ideologis. Minat yang tinggitelah memperkaya pengetahuan kita tentang berbagai jenis kelompok dan pengaruh kelompok pada perilaku kita.
3.      Para Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Kelompok
a)      Sosial Exchange Model (Model Pertukaran Sosial)
Dalam teori pertukaran sosial, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi : Anda mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya. Diterapkan pada penetrasi sosial, Anda akan menyingkap informasi tentang diri Anda ketika rasio biaya manfaatnya sesuai bagi Anda.
Menurut Altman dan Taylor, rekan dalam berhubungan tersebut pada saat tertentu, tetapi juga menggunakan informasi yang ada pada mereka juga menggunakan informasiyang ada pada mereka untuk memperkirakan manfaat dan bioaya di masa yang akan datang. Selama manfaat lebih besar dari biayanya, pasangan tersebut akan semakin dekat dengan lebih banyak berbagi dan lebih banyak informasi pribadi.
Menurut Thibaut dan Kelley yang mengemukakan bahwa orang meng evaluasi hubungan dengan orang lain. Model ini memandang hubungan antarpersonal sebagai suatu transaksi dagang, maksudnya adalah orang hubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Asumsi Dasar Sosial Exchange Model
Altman dan Taylor menyatakan ada empat tahap dalam pengembangan sosial dalam proses komunikasi dalam kehidupan manusia, diantaranya :
1.      Orientasi
Orientasi terdiri atas komunikasi tidak dengan orang tertentu, dimana seseorang hanya mengungkapkan informasi yang sangat umum. Jika manfaat ini bermanfaat bagi pelaku hubungan, mereka akan bergerak ke tahap selanjutnya, yaitu ketahap pertukaran afektif eksploratif.
2.      Pertukaran afektif eksploratif
Gerakan yang menuju sebuah tingkat yang lebih dalam dari pengungkapan yang terjadi.
3.      Pertukaran afektif
Pertukaran afektif terpusat pada perasaan mengkritik dan mengevaluasi pada tingkat yang lebih dalam. Thap ini tidak akan dimasuki kecuali mereka menerima manfaat yang besar yang sesuai dengan biaya dalam tahap sebelumnya.
4.      Pertukaran yang seimbang
Kedekatan yang tinggi dan memungkinkan mereka untuk saling memperkirakan tindakan dan respons dengan baik.
Menurut Thibaut dan Kelley, asumsi dasar yang mendasari seluruh analisisnya bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalm hubungan social hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan di tinjau dari beberapa segi, antara lain :
1.      Ganjaran adalah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan.
2.      Biaya adalah akibat yang dinilai negative yang terjadi dalam suatu hubungan.
3.      Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya
4.      Tingkat perbandingan menunjukan ukuran baku (standar) yang dipaki sebagai criteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang.
Dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khusus terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya. Ukuran bagi keseimbangan antara ganjaran dan upaya ini disebut comparison levels, dimana di atas ambang ukuran tersebut orangkan merasa puas dengan hubungan.
Roloff (1981) mengemukakan bahwa asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan upaya tidak bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengekploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkan. Hubungan yang ideal akan terjadi bilamana kedua belah pihak dapat saling memberikan cukup keuntungan sehingga berhubungan tersebut menjadi sumber yang dapat diandalkan bagi kepuasan kedua belah pihak.
b)     Fundamental Interpersonal Relations Orientation (FIRO) Theory
Teori Fundamental Interpersonal Relations Orientation (FIRO) Theory ditemukan oleh William C. Schultz. Teori ini ditemukan pada tahun 1960 untuk menggambarkan hal dasar mengenai perilaku komunikasi di suatu kelompok kecil. Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memasuki kelompok karena adanya tiga kebutuhan interpersonal, yaitu : inclusion, control, dan affection
Teori ini memiliki kesinambungan dari yang diuraikan oleh Cragan dan Wright bahwa ada dua dimensi interpersonal yang mempengaruhi keefektifan suatu kelompok, yaitu: kebutuhan interpersonal dan proses interpersonal yang meliputi keterbukaan (disclosure), percaya, dan empati. Awal dari teori ini yaitu minat Schutz terhadap pembentukan kelompok-kelompok kerja yang efektif. Pengamatan yang dilakukan Schutz sangat dipengaruhi oleh karya-karya Bion (1949) dan Redl (1942) sehingga tidak mengherankan teori yang diungkapkan oleh Schutz sangat berbau psikoanalisis.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Ide pokok dari FIRO Theory adalah bahwa setiap orang mengorientasikan dirinya kepada orang lain dengan cara tertentu dan cara ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilakunya dalam hubungan dengan orang lain dalam sebuh kelompok. Asumsi dasar dari teori ini adalah suatu individu terdorong untuk memasuki suatu kelompok karena didasari oleh beberapa hal, yaitu :
1.      Inclusion, yaitu keinginan seseorang untuk masuk dalam suatu kelompok. Dalam posisi ini, seseorang cenderung berpikir bagaimana cara mereka berinteraksi dalam lingkungan kelompok yang baru ini, seperti sikap apa yang akan saya ambil jika saya memasuki kelompok ini. Dalam situasi ini, akan ada dua kemungkinan yang akan dilakukan, yaitu bereaksi berlebihan (over-react) seperti mendominasi pembicaraan, dan bereaksi kekurangan (under-react) seperti lebih sering mendengarkan atau hanya ingin membagi sebagian kisah hidup kepada orang-orang yang dipercayai saja.
2.      Control, yaitu suatu sikap seseorang untuk mengendalikan atau mengatur orang lain dalam suatu tatanan hierarkis. Dalam posisi ini pembagian kerja seperti sangat dibutuhkan untuk menghasilkan sesuatu yang produktif. Situasi ini dapat menciptakan beberapa sikap, yaitu otokrat (sikap individu yang memiliki kecenderungan lebih kuat atau mendominasi dari pada anggota kelompok lainnya), dan abdikrat (sikap individu yang menyerah dan cenderung mengikuti apa yang dikatakan oleh individu yang mendominasi).
3.      Affection, yaitu suatu keadaan dimana seseorang ingin memperoleh keakraban emosional dari anggota kelompok yang lain. Dalam situasi ini, seseorang membutuhkan kasih sayang sebagai suatu pendukung dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sikap seperti ini akan menciptakan overpersonal (suatu keadaan dalam diri individu dimana tidak dapat mengerjakan pekerjaan karena tidak adanya ikatan kasih sayang), dan underpersonal(suatu keadaan dalam diri individu dimana tidak adanya kasih sayang yang diberikan anggota lain tidak berpengaruh terhadap pekerjaannya).
c)      Teori Perkembangan Kelompok
Teori Perkembangan Kelompok dikemukakan oleh Bennis dan Shepherd pada tahun 1956. Teori ini merupakan pengembangan atau setidaknya dipengaruhi dari apa yang telah diungkapkan oleh orang-orang sebelumnya, seperti S. Freud, Kurt Lewin (1946), Sullivan (1953), Schutz (1955) dan Carl Rogers. Awal dari teori ini adalah dari ketidak-sengajaan Kurt Lewin pada tahun 1946 yang menemukan dasar-dasar munculnya kelompok sensitivitas. Dilanjutkan pada tahun 1960-an adanya kelompok pertemuan, dan Carl Rogers melihat adanya manfaat dari kelompok pertemuan ini, yaitu pengembangan diri.
Cara ini biasa dilakukan oleh para psikolog untuk melatih pasien menemukan bagaimana dirinya sendiri. Kemudian pada tahun 1970-an, ditemukan pula bahwa kelompok pertemuan ini juga dapat mempercepat suatu kehancuran akibat dari kepemimpinan kelompok yang merusak.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari teori ini adalah proses perkembangan kelompok yang terjadi dalam interaksi antara orang-orang yang berada dalam suatu situasi latihan di sebuh kelompok. Teori ini merupakan suatu bagian dari tindak komunikasi kelompok pertemuan. Bennis dan Shepherd meneliti teori perkembangan kelompok ini dari sebuah pengamatan yang dilakukan pada kelompok-kelompok latihan di National Training Laboratory for Group Development di Bethel, Maine, Amerika Serikat. Para peserta kelompok dipilih dari latar belakang yang berbeda mulai dari pendidikan, sosial, dan ekonomi, begitu pula dengan kepribadiannya. Pada awalnya anggota kelompok satu sama lain tidak saling mengenal. Seorang pelatih memberikan tugas-tugas kepada kelompok tersebut dengan prosedur yang telah dibuat. Pertemuan antara anggota kelompok dilakukan beberapa kali dalam satu menggu dan ini dilakukan dalam beberapa minggu. Untuk mencapai tujuan dari tugas-tugas ini, yang mulanya tidak saling mengenal kini mau tidak mau harus saling berkenalan bahkan saling berinteraksi untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan pelatih. Inilah tahapan-tahapan yang dilakukan ketika bergabung dalam suatu kelompok. Ada perkembangan atau proses yang dilewati untuk pencapaian tujuan bersama yang telah disepakati.
Bennis dan Shepherd menyatakan bahwa tidak semua keompok bisa mencapai titik akhir perkembangannya. Tujuan dari pelatihan yang dilakukan dalam sebuah kelompok, antara lain : pada tingkat individual dapat membantu peserta untuk mengembangkan motivasi dalam berinteraksi terhadap orang lain, peningkatan pemahaman terhadap situasi kelompok, peningkatan kendali terhadap komunikasi antar manusia, menambah keragaman perilaku sosial pada setiap peserta latihan; sedangkan pada tingkat kelompok dapat membentuk suatu komunikasi yang valid dimana setiap anggota dapat mengkomunikasikan perasaan, motivasi, keinginannya secara bebas dan tepat.
Tahapan-tahapan perkembangan kelompok yang biasanya dilalui seseorang dalam suatu kelompok, terdiri atas :
1.      Tahap Otoritas, yaitu tahap di mana keraguan ketergantungan dapat dicairkan. Tahapan ini terdiri atas tiga subtahap, yaitu : tahap ketergantungan, tahap pemberontakan, dan tahap pencairan.
2.      Tahap Pibadi, yaitu tahap di mana dicairkan keraguan saling ketergantungan. Tahapan ini terdiri atas tiga subtahap, yaitu : tahap harmoni, tahap identitas pribadi, dan tahap pencairan masalah.


d)     Teori Perbandingan Sosial Festinger
Masing-masing orang memiliki konsep diri yang berbeda-beda sehingga menyebakan dirinya melakukan perbandingan diri dengan orang lain. Gejala ini disebut sebagai perbandingan sosial. Perbandingan sosial terjadi manakala orang merasa tidak pasti mengenai kemampuan pendapatnya maka meraka akan mengevaluasi diri mereka melalui perbandingan orang lain yang sama. Perbandingan sosial merupakan proses otomatis dan spontan terjadi. Umumnya motif yang dilakukan manusia dalam melakukan perbandingan sosial adalah untuk mengevaluasi diri sendiri, memperbaiki diri sendiri dan meningkatkan diri sendiri.
Manusia dalam melakukan perbandingan sosial berlaku dalil umum sebagai berikut :
• Persamaan (similarity hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan orang-orang yang sama dengan dirinya (laterla comparison) atau yang sedikit lebih baik dan umumnya manusia tersebut berjuang untuk menjadi lebih baik.
•Dikaitkan dengam atribut (related atribut hypothesis) : artinya manusia melakukan perbandingan dengan melihat usia, etnis dan jenis kelamin yang sama
• Downward comparison : manusia kadang membandingkan dirinya dengan orang yang lebih buruk dari dirinya. Umumnya ini dilakukan untuk mencari perasaan yang lebih baik atau mengabsahkan diri sendiri (self validating). Disini muncul dalil bahwa manusia kadang tidak objektif dalam melakukan perbandingan sosial
Teori Sosial Comparison (Dorian & Garfinkel, 2002) menyatakan bahwa setiap orang akan melakukan perbandingan antara keadaan dirinya sendiri dengan keadaan orang-orang lain yang mereka anggap sebagai pembanding yang realistis. Perbandingan sosial semacam ini terlibat dalam proses evaluasi diri seseorang, dan dalam melakukannya seseorang akan lebih mengandalkan penilaian subyektifnya dibandingkan penilaian obyektif. Bila masyarakat terlanjur membentuk pandangan bahwa penampilan fisik yang ideal itu adalah seperti yang dimiliki para model yang ditampilkan dalam media massa, maka akan ada kecenderungan bahwa individu akan membandingkan dirinya berdasarkan standar yang tidak realistis. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa orang-orang yang sebenarnya memiliki proporsi tinggi badan serta berat badan yang normal mungkin saja memiliki penilaian yang negatif mengenai tubuhnya karena menggunakan tubuh model-model yang dilihatnya di media masa sebagai pembanding (Vilegas & Tinsley, 2003). Sampai batas tertentu, proses berpikir kritis terhadap diri sendiri memang akan membantu seseorang untuk menilai dirinya sendiri secara sehat dan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. 
Festinger (Sarwono, 2004) menyebutkan bahwa teori perbandingan sosial adalah proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interakso sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self-evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membandingkan diri dengan orang lain.
Ada dua hal yang diperbandingkan dalam hubungan ini, yaitu:
a. Pendapat (opinion)
b. Kemampuan (ability)
Perubahan pendapat relatif lebih mudah terjadi daripada perubahan kemampuan.
1. Dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan
Festinger mempunyai hipotesis bahwa setiap orang mempunyai dorongan (drive) untuk menilai pendapat dan kemampuannya sendiri dengan cara membandingkannya dengan pendapat dan kemampuan orang lain. Dengan cara itulah orang bisa mengetahui bahwa pendapatnya benar atau tidak dan seberapa jauh kemampuan yang dimilikinya (Sarwono, 2004).
Festinger juga memperingatkan bahwa dalam menilai kemampuan, ada dua macam situasi, yaitu: Pertama, kemampuan orang dinilai berdasarkan ukuran yang obyektif, misalnya kemampuan mengangkat barbel. Kedua, kemampuan dinilai berdasarkan pendapat. Misalnya, untuk menilai kemampuan pelukis berdasarkan pendapat orang lain.
2. Sumber-sumber penilaian
Orang akan mengagungkan ukuran-ukuran yang obyektif sebagai dasar penilaian selama ada kemungkinan melakukan itu. Namun, jika tidak, maka orang akan menggunakan pendapat atau kemampuan orang lain sebagai ukuran.
3. Memilih orang untuk membandingkan
Dalam membuat perbandingan dengan orang lain, setiap orang mempunyai banyak pilihan. Namun, setiap orang cenderung memilih orang sebaya atau rekan sendiri untuk dijadikan perbandingan.
Festinger mempunyai hipotesis mengenai hal ini yaitu: kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain menurun jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain itu meningkat. Dari hipotesisnya itu, terdapat dua hipotesis ikutan (corollary), yaitu:
a. Kalau ia boleh memilih, seseorang akan memilih orang yang pendapat atau kemampuannya mendekati pendapat atau kemampuannya sendiri untuk dijadikan pembanding.
b. Jika tidak ada kemungkinan lain kecuali membandingkan diri dengan pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda, maka seseorang tidak akan mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau kemampuannya sendiri.
Dengan menggunakan beberapa hipotesisnya selanjutnya Festinger menarik beberapa kesimpulan (derivasi) untuk tujuan peramalan tingkah laku:
Derivasi A: penilaian orang terhadap dirinya akan mantap (stabil) jika ada orang lain yang pendapat atau kemampuannya mirip dengan dirinya untuk dijadikan pembanding.
Derivasi B: penilaian cenderung akan berubah jika kelompok pembanding yang ada mempunyai pendapat atau kemampuan yang jauh berbeda daripada pendapat atau kemampuan sendiri.
Derivasi C: orang akan kurang tertarik pada situasi-situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang berbeda dari dirinya sendiri dan akan lebih tertarik pada situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang hampir sama dengan dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, orang akan lebih tertarik pada kelompok yang memberi peluang lebih banyak untuk melakukan perbandingan.
Derivasi D: perbedaan besar dalam suatu kelompok dalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedaan itu.
4. Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan
Seperti yang telah dikatakan di atas, terdapat perbedaan antara kemampuan dan pendapat, pada kemampuan ada desakan untuk berubah ke satu arah, yaitu ke arah kemampuan yang lebih tinggi atau baik sedangkan dalam hal pendapat terdapat keleluasaan untuk terjadinya perubahan ke segala arah.
Atas dasar itu, Festinger mengajukan hipotesis berikutnya, yaitu dalam hal kemampuan terdapat desakan untuk berubah searah yaitu berubah ke atas yang tidak terdapat dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesis ini menurut Festinger setidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika Serikat, di mana prestasi yang tinggi sangat dihargai. Dengan kata lain, di lingkungan masyarakat lain di mana prestasi yang tinggi tidak mendapat penghargaan yang tinggi, hipotesis ini belum tentu berlaku.
Hipotesis berikutnya yang dikemukakan Festinger didasarkan pada perbedaan antara kemampuan dan pendapat tersebut adalah: ada faktor-faktor nonsosial ang menyulitkan atau tidak memungkinkan perubahan kemampuan pada seseorang, yang hampir-hampir tidak ada pada perubahan pendapat. Misalnya orang badannya lemah bisa saja berpendapat bahwa ia bisa mengangkat barbel seberat 100 kg. Tetapi kenyataanya ia tetap saja tidak dapat mengangkat barbel tersebut. Lain halnya jika seseorang merasa pendapatnya salah, maka dengan mudah ia mengubah pendapatnya tersebut.
5. Berhentinya perbandingan
Jika kita melihat Derivasi D di atas, yaitu perbedaan besar dalam suatu kelompok dalam hal pendapat atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedaan itu. Maka akan muncul beberapa kesimpulan lagi, salah satunya adalah jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain dalam kelompok terlalu besar, maka akan terdapat kecenderungan untuk menghentikan perbandingan-perbandingan.
Konsekuensi pengehentian perbandingan ini berbeda antara pendapat dan kemampuan, karena perbedaan pendapat seseorang dari kelompok berarti pendapat orang itu tidak benar, sedangkan konotasi negatif seperti itu tidak selalu terdapat pada perbedaan kemampuan.
Mengenai hal ini, Festinger mengemukakan hipotesis bahwa sejauh perbandingan yang berkepanjangan dengan orang lain menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan, penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan dan kebencian. Hipotesis ini pun memiliki hipotesis ikutan yang menyatakan bahwa penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan bermusuhan atau kebencian hanya dalam hal perbedaan pendapat, tidak dalam hal perbedaan kemampuan.
6. Desakan ke arah keseragaman
Setiap faktor yang meningkatkan dorongan untuk membandingkan pendapat atau kemampuan dengan sendirinya juga akan merupakan faktor yang mendesak ke arah tercapainya keseragaman pendapat atau kemampuan yang bersangkutan. Atau dengan kata lain bahwa setiap faktor yang meningkatkan pentingnya suatu kelompok sebagai kelompok pembanding untuk suatu pendapat atau kemampuan akan merupakan faktor yang meningkatkan desakan ke arah keseragaman dalam hal pendapat atau kemampuan tersebut. 
Desakan ke arah keseragaman pendapat atau kemampuan tergantung dari daya tarik kelompok itu. Semakin menarik kelompok itu bagi seseorang, semakin penting arti kelompok itu sebagai pembanding dan semakin kuat pula desakan pada orang itu untuk mengurangi perbedaan antara dirinya sendiri dengan kelompok. Hal tersebut terlihat dalam perilaku-perilaku sebagai berikut:
a. kecenderungan untuk mengubah pendapat sendiri
b. usaha yang semakin meningkat untuk mengubah pendapat orang lain
c. kecenderungan yang meningkat untuk membuat orang lain kurang senang
Jika ada berbagai pendapat atau kemampuan dalam kelompok, manifestasi dari kekuatan desakan ke arah keseragaman berbeda-beda antara orang yang ada di dekat pendapat umum kelompok (modus pendapat kelompok) dengan orang yang jauh dari modus pendapat. Khususnya orang yang dekat dengan modus pendapat kelompok, mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk mengubah posisi pendapat atau kemampuan orang lain, relatif lebih lemah kecenderungannya untuk memperkecil kemungkinan perbandingan dan sangat lemah kecenderungannya untuk mengubah posisinya sendiri jika dibandingkan dengan orang yang jauh dari modus pendapat kelompok.
7. Pengaruhnya terhadap pembentukan kelompok
Dorongan untuk menilai diri sendiri mempunyai pengaruh yang penting terhadap pembentukan kelompok dan perubahan keanggotaan kelompok:
a. Karena perbandingan hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk menilai diri sendiri orang terdorong untuk berkelompok dan menghubungkan dirinya sendiri dengan orang lain.
b. Kalompok yang paling memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat dengan pendapat sendiri. Oleh karena itu, orang lebih tertarik pada kelmpok yang pendapatnya sama dengan pendapat sendiri dan cenderung menjauhi kelompok-kelompok yang pendapatnya berbeda dari pendapat sendiri.
8. Konsekuensi-konsekuensi dari perbandingan yang dipaksakan
Jika perbedaan-perbedaan pendapat atau kemampuan dalam kelompok terlalu besar, maka kelompok akan mengatur dirinya sedemikian rupa sehingga perbedaan itu dapat didekatkan dan perbandingan dapat dilakukan.
Akan tetapi, Festinger mengatakan bahwa ada dua situasi di mana hal tersebut tidak terjadi, yaitu di mana perbedaan tetap besar, tetapi perbandingan tetap harus dilakukan. Kedua situasi tersebut adalah:
a. Situasi di mana kelompok itu sangat menarik bagi seseorang sehingga orang itu tetap saja ikut dalam kelompok walaupun pendapat atau kemampuannya cukup jauh berbeda dari pendapat atau kemampuan kelompok.
b. Situasi di mana individu terpaksa harus ikut terus dengan kelompok karena tidak ada kemungkinan lain, misalnya orang yang dipenjara, atau harus tetap bekerja walaupun tidak suka pada perusahaan tempatnya bekerja. Dalam hal ini pengaruh kelompok terhadap individu lemah dan keseragaman pendapat hanya dapat dicapai melalui paksaan atau kekerasan.
Teori Perbandingan sosial dalam komunikasi kelompok
Teori atau pendekatan perbandingan sosial mengemukakan bahwa tindak komunikasi dalam kelompok berlangsung karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu untuk membandingkan sikap, pendapat dan kemampuannya dengan individu-individu lainnya.
Dalam pandangan teori perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika muncul ketidak setujuan yang berkaitan dngan suatu kejadian atau peristiwa, kalau tingkat kepentingannya peristiwa tersebut meningkat dan apabila hubungan dalam kelompok (group cohesivenes) juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, setelah suatu keputusan kelompok dibuat, para anggota kelompok akan saling berkomunikasi untuk mendapatkan informasi yang mendukung atau membuat individu-individu dalam kelompok lebih merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut.
Sebagai tambahan catatan, teori perbandingan sosial ini diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana tindak komunikasi dari para anggota kelompok mengalami peningkatan atau penuruanan.
2. Perbandingan Sosial dan Identitas social
Identitas sosial sebagai teori tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori di mana bisa membimbing kita untuk membandingkan diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang berbeda, siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah. Setidaknya ada tiga variabel yang mempengaruhi hubungan pembedaan antar kelompok dalam situasi sosial yang nyata (Tajfel, 1974; Turner, 1975; dalam Hogg & Abrams, 2000). Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok mereka sebagai konsep diri mereka: secara subjektif mereka pasti menidentifikasikan kelompok yang relevan. Hal ini tidak cukup dari orang lain saja yang mengidentifikasikan seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosial yang memungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara sikinifikan. Misalnya saja, di Amerika perbedaan kelompok lebih cenderung menonjol pada perbedaan warna kulit, tapi perbedaan warna kulit bukan sesuatu yang menonjol di Hongkong. Ketiga, in-group tidak membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada out-group: out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group. 
Menurut Sarben & Allen (1968), identitas sosial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
3. Perbandingan sosial dan prasangka social
Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dalam masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.
C. Contoh Perbandingan Sosial dalam Kehidupan
1. Perbandingan sosial dalam fenomena mengantri
Dalam penelitiannya, Zhou dan Soman, melihat adanya kesempatan diantara para pengantri, untuk melakukan perbandingan sosial posisinya, dengan mereka yang ada dalam antrian yang sama. Setiap pengantri, akan merasakan mereka berada dalam situasi krisis, atau menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Perasaan harga diri dalam situasi semacam itu, ternyata dapat kembali ditegakkan, jika mereka dapat membandingkan diri dengan posisi pengantri lain yang lebih buruk. Jadi para pengantri, bukan hanya menghitung berapa orang lagi yang ada di depan, melainkan juga berapa orang yang juga masih antri di belakang.
Antri, ternyata memprovokasi penarikan perbandingan sosial. Karena dalam antrian, akan terlihat dengan jelas, siapa yang memiliki posisi lebih baik dan siapa lebih buruk. Manusia selalu cenderung membandingkan, dimana posisinya, dengan melihat mereka yang posisi sosialnya berada atas dan di bawah. Sama seperti antrian, siapa posisinya di depan dan siapa di belakang. Penelitian Prof. Zhuo dan Prof. Soman menunjukkan, perbandingan posisi ini berlaku, jika antrian klasik terbentuk, yakni masing-masing pengantri berdisi pada posisi berbaris ke belakang. Jika antrian diatur dengan nomor, seperti di ruang tunggu dokter atau di rumah sakit, fenomena perbandingan posisi sosial tidak muncul.
2. Perbandingan Sosial dalam Performance Appraisals (PA)
Dalam dunia industri (pekerjaan), perbandingan sosial pun memiliki porsinya. Salah satunya adalah dalam proses evaluasi tenaga kerja. Proses evaluasi tenaga kerja dengan memperhatikan produktivitasnya disebut sebagai penilaian karya atau performance appraisal (pa). Tujuannya adalah digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penempatan, baik promosi, mutasi, maupun demosi juga untuk penentuan penggajian serta kebutuhan pelatihan. Penilaian karya atau kinerja dapat dievaluasi dengan produktivitas secara kuantitatif maupun subyektif. Produktivitas kuantitatif yang dapat diukur seperi misalnya, target barang yang dipasarkan oleh seorang sales atau jumlah pasien sehari yang didapat oleh seorang dokter. Sedangkan produktivitas kerja subyektif adalah penilaian sikap dan perilaku kerja dari rekan sejawat, atasan, bawahan maupun stake holder, seperti misalnya kerjasama yang dimiliki oleh tenaga kerja.
Penilaian karya secara konvensional hanya dilakukan oleh atasan kepada bawahan menyangkut penilaian subyektif sehingga kurang menekankan pada penilaian kuantitatif produktivitasnya. Beberapa permasalahan PA sehingga tidak mampu obyektif karena pengaruh hallo effect, yaitu kesalahan penilai karena tidak mampu membedakan antara kepentingan pribadi dengan proporsi bidang tugas. Akibatnya, atasan hanya menilai bawahan berdasarkan hubungan emosional yang digunakan dalam memberikan standarisasi penilaian. Permasalahan lainnya adalah contrast effect, yakni standar nilai yang kontras diberikan kepada individu yang berbeda hanya karena penilai terlalu berorientasi kepada kelebihan seorang saja. Kondisi ini disebabkan oleh social comparison (perbandingan sosial) yang terlalu ekstrim kepada individu yang berbeda.

D.    KOMUNIKASI ORGANISASI
1.      Definisi Komunikasi Organisasi
Istilah “organisasi” dalam bahasa Indonesia merupakan adopsi dari kata “organization” dari bahasa Latin yang berasal dari kata kerja bahasa Latin “organizare” yang artinya to form as or into a whole consisting of interdependent or coordinated parts.
Everet M.Rogers dalam bukunya Communication in Organization, mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas. Robert Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems Approach, mendefinisikan organisasi sebagai sarana dimana manajemen mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.
Menurut pendapat (Rogers dan rogers, dalam Henneman dan McEwen, 1975, hlm. 218). Organisasi didefinisikan “ suatau kumpulan atau suatu sistem individu yang bersama-sama, melalui hirarki pangkat dan pembagian kerja, berusaha untuk mencapai tujuan tertentu” .
ada beberapa hal terpenting dalam komunikasi organisasi yang sesuai dengan definisi diatas:
Dapat dikatakan bahwa organisasi merupakan suatu paduan dari bagian-bagian yang satu sama lain saling bergantung. Dalam komunikasi organisasi akan erat kaitannya dengan suatu kekuasaan, arus pesan, dan perilaku karena melibatkan jumlah orang yang tidak sedikit dalam setiap organisasinya.
Menurut Gold Haber, Komunikasi organisasi adalah arus pesan dalam suatu jaringan yang sifat hubungannya saling bergantungan satu sama lain. Arus pesan yang digunakan bersifat, yaitu :
1.      Vertikal
2.      Horizontal
3.      Diagonal.
Secara fungsional, komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Komunikasi organisasi dapat terjadi kapanpun, setidaknya satu orang yang menduduki suatu jabatan dalam suatu organisasi akan menafsirkan suatu pertunjukkan. Sedangkan secara tradisional, komunikasi organisasi cenderung dianggap menekankan kegiatan penanganan pesan yang terkandung dalam suatu “batas organisasional (organizational boundary)”. Dalam hal ini komunikasi organisasi dipandang dari suatu perspektif interpretif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi.
Komunikasi organisasi erat kaitannya dengan kekuasaan. Maka dari itu French dan Reven membagi lima tipe kekuasaan, antara lain :
a.       Reward Power, memusatkan perhatian pada kemampuan untuk memberi ganjaran atau imbalan atas pekerjaan atau tugas yang dilakukan orang lain.
b.      Coercive Power, lebih memusatkan pandangan pada kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain.
c.       Referent Power, didasarkan pada suatu hubungan kesukaan dalam arti seseorang mengidentifikasi orang lain yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya.
d.      Expert Power, memfokuskan diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan pastilah ia memiliki pengetahuan, keahlian, dan informasi lebih banyak dalam suatu persoalan.
e.       Legitimate Power, bersandar pada struktur suatu organisasi, dan terutama pada nilai-nilai kultural.
Conrad (1985) mengidentifikasikan tiga fungsi komunikasi didalam sebuah organisasi. Fungsi-fungsi tersebut adalah :
1.      Fungsi Perintah
Komunikasi memperbolehkan anggoa organisasi “ Membicarakan, menerima, menafsirkan, dan bertindak atas suatu perintah”. Dua jenis komunikasi yang mendukung pelaksanaan tugas ini adalah pengarahan dan umpan balik dari kiomunikan, dan tujuannya adalah adalah berhasil mempengaruhi anggota laindalam organisasi. Hasil fungsi perintah adlah koordinasi di antara sejumlahb anggota yang saling bergantung dalam organisasi tersebut.
2.      Fungsi Relasional
Komunikasi memperbolehkan anggota organisasi “ menciptakan dan mempertahankan bisnis produktif dan hubungan personal dengan anggota organisasi lain”. Hubungan dalam pekerjaan mempengaruhi kinerja pekerjaan (job peformance) dalam berbagai cara, misalnya, kepuasana kerja, aliran komunikasi kebawah maupun ke atas dalam hirarki organisasional dan tingkat pelaksanaan perintah.
3.      Fungsi Manajemen ambigu
Pilihan dalam situasi organisasi sering dibuat dalam keadaan yang sangat ambigu. Misalnya, motivasi berganda telah muncul karena pilihan yang diambil akanmempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga diri sendiri: tujuan organisasi tidak jelas, dan konteks yang mengharuskan adanya pilihan tersebut mungkin tidak jelas.
Faktor lain yang ditemukan oelh Dennis (1975) dengan kategori-kategori tradisional untuk menganalisis komunikasi organisasi, diantaranya :
a.       Komunikasi Ke Bawah
Komunikasi ini diprakarsai oleh manajemen organisasi tingkat dan kemudian ke bawah melewati “rantai perintah”. Banyak penelitian mengenai keefektifan berbagai bentuk komunikasi ke bawah menunjukan bahwa menggunakan saluran kombinasi cenderung memberikan hasil yang terbaik. Penelitian yang dilakukan oleh Dahle (1954) menemukan bahwa uruan saluran menurut tingkat keefektifannya (dari yang efektifitasnya paling tinggi hingga yang paling rendah) diantaranya sebgai berikut :
1.      Kombinasi tulisan
2.      Lisan saja
3.      Tulisan saja
4.      Papan pengumuman
5.      Selentingan
Dengan kata lain, untuk menyampaikan informasi kepada para pegawai dengan tepat, kombinasi saluran tulisan dan memberi hasil terbaik.
b.      Komunikasi ke atas.
Komunikasi dari bawahan ke atasan. Komunikasi tipe ini umumnya bertujuan untuk melakukan kegiatan prosedural yang sudah merupakan bagian dari struktur organisasi atau perusahaan. Bentuknya antara lain dalam pelaporan kegiatan, penyampaian gagasan, dan penyampaian informasi yang menyangkut masalah-masalah pekerjaan. Bisa dilakukan secara langsung dan tak langsung atau secara tertulis. Dalam organisasi pembelajaran, model komunikasi seperti ini sudah biasa dilakukan. Kepada semua karyawan didorong untuk tidak segan-segan menyampaikan hal apapun kepada atasan sejauh dalam kerangka pengembangan perusahaan.
2.      Asumsi Dasar Komunikasi Organisasi
Sosiolog Amitai Etzioni menyatakan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat organisasi. Kita dilahirkan dalam sebuah organisasi dan dididik dalam suatu organisasi serta sebagian besar dari kita menghabiskan mayoritas hidupnya dengan bekerja untuk organisasi. Komunikasi organisasi akan selalu dibutuhkan pada era sekarang ini. Alasannya karena kini, makin banyak lembaga baik di bidang bisnis ataupun industri,
organisasi-organisasi sosial, ataupun institusi pendidikan yang harus mengetahui bagaimana prinsip mengenai komunikasi yang baik dalam suatu organisasi untuk suatu pencapaian bersama. Dalam komunikasi organisasi berkaitan erat dengan arus komunikasi.
Ada tiga pendekatan untuk melihat komunikasi yang terjadi di dalam organisasi, yaitu :
1.      Pendekatan Makro :
Pendekatan makro melihat organisasi sebagai suatu struktur global yang berinteraksi dengan lingkungannya. Organisasi melakukan aktivitas-aktivitasnya untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
2.      Pendekatan Mikro :
Pendekatan ini terutama menfokuskan kepada komunikasi dalam unit dan sub-unit pada suatu organisasi. Komunikasi yang diperlukan pada tingkat ini adalah komunikasi antara anggota kelompok
3.      Pendekatan Individual :
Pendekatan Individual menitik beratkan pada tingkah laku komunikasi individual dalam organisasi. Semua tugas-tugas yang telah diuraikan pada dua pendekatan sebelumnya diselesaikan oleh komunikasi individual satu sama lainnya.
3.      Para Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Organisasi
a)      Teori Komunikasi Kewenangan
Teori Komunikasi Kewenangan dikemukakan oleh Chester Barnard, seorang presiden dari Bell Telephone Company di New Jersey, Amerika Serikat. Barnard mengungkapkan sebuah tesis yang menyatakan bahwa sebuah organisasi hanya dapat berlangsung dengan adanya suatu kerja sama antarmanusia. Kerja sama dijadikan sebuah sarana di mana kemampuan individu dapat dikombinasikan untuk mencapai tujuan bersama. Sejarah dari adanya teori komunkasi kewenangan bermula dari Perrow (1938) yang merasa prihatin mengenai implikasi teori klasik mengenai organisasi dan doktrin ilmiah manajemen, di mana birokrasi dianggap sebagai suatu hal kotor. Namun, sejak Barnard (1973) mampublikasikan The Functions Of The Executive, sejak inilah mulai muncul pemikiran baru tentang birokrasi. Bernard menyatakan bahwa organisasi adalah sistem orang, bukan struktur yang direkayasa secara mekanis. Suatu struktur yang mekanis yang jelas dan baik tidaklah cukup.
Definisi Barnard mengenai organisasi formal menitikberatkan konsep sistem dan konsep orang. Tekanannya pada aspek-aspek kooperatif organisasi mencerminkan pentingnya unsur manusia. Barnard menyatakan bahwa eksistensi suatu organisasi bergantung pada kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan kemauan untuk bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang sama pula. Maka ia menyimpulkan bahwa “Fungsi pertama seorang eksekutif adalah mengembangkan dan memelihara suatu sistem komunikasi.”
Bernand juga menyatakan bahwa kewenangan merupakan suatu fungsi kemauan untuk bekerja sama. Ia menyebutkan empat syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang menerima suatu pesan yang bersifat otoritatif:
1.      Orang tersebut memahami pesan yang dimaksud
2.      Orang tersebut percaya bahwa pesan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan organisasi.
3.      Orang tersebut percaya, pada saat ia memutuskan kerja sama, bahwa pesan tersebut sesuai dengan minatnya.
4.      Orang tersebut memiliki kemampuan fisik dan mental untuk melaksanakan pesan.
Seperangkat premis ini menjadi terkenal sebagai Teori Penerimaan Kewenangan, yakni kewenangan yang berasal dari tingkat atas organisasi sebenarnya merupakan kewenangan nominal. Namun, Barnard menunjukan bahwa banyak pesan yang tidak dapat dianalisis, dinilai dan diteima, atau ditolak dengan sengaja. Tetapi kebanyakan arahan, perintah dan pesan persuasive termasuk ke dalam zona acuh-tak-acuh (zone of indifference) seseorang.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari adanya teori ini yaitu bahwa organisasi adalah sistem orang, bukan struktur yang direkayasa secara mekanis. Dari definisi organisasi yang diungkapkan oleh Barnard inilah, suatu sistem kegiatan dua orang atau lebih yang dilakukan secara sadar dan terkoordinasi menitikberatkan pada konsep sistem dan konsep orang. Barnard juga menyatakan bahwa eksistensi yang dimiliki suatu organisasi tergantung pada kemampuan anggota-anggota yang terlibat untuk berkomunikasi dan berkemauan untuk bekerja samauntuk mencapai suatu tujuan bersama. Adapula kewenangan sebagai suatu fungsi kemauan untuk bekerja sama. Ada empat syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang menerima pesan yang otoritatif, yaitu :
1.      Harus memahami pesan yang dimaksud.
2.      Memastikan dan percaya bahwa pesan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan organisasi.
3.      Memastikan bahwa ketika ia memutuskan untuk bekerja sama, pesan tersebut telah sesuai dengan minatnya.
4.      Memiliki kemampuan fisik dan mental untuk menjalankan pesan.
Barnard membagi teori komunikasi kewenangan menjadi dua bagian, yaitu :
1.      Penerimaan suatu kewenangan dan penolakan suatu kewenangan, dengan menerima suatu kewenangan berupa pesan maka ia menduduki posisi bawahan.
2.      Penolakan suatu kewenangan dengan penolakan suatu kewenangan berupa pesan diartikan bahwa orang tersebut khawatir akan resiko yang akan diterimanya.
Barnard juga menyatakan bahwa teknik-teknik komunikasi baik berupa lisan ataupun tulisan sangat penting untuk pencapaian tujuan namun juga dapat menjadi sumber masalah dalam suatu organisasi.
b)     Teori Fusi
Teori Fusi dikemukakan oleh Bakke dan Argyris (1950). Adanya teori ini di dasarkan atas suatu ketidakpuasan terhadap teori-teori sebelumnya, seperti teori birokrasi. Teori ini ingin menunjukkan bahwa jika seseorang ada dalam suatu organisasi belum tentu orang tersebut nyaman dan sesuai dengan falsafah yang ada di organisasi tersebut. Maka dari itu teori mengungkapkan bahwa tidak selamanya orang yang ada dalam organisasi akan memiliki suatu kesamaan tujuan.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi dasar adanya teori ini adalah kesadaran akan adanya banyak masalah pada proses memuaskan minat manusia yang berlainan di mana akan ada tuntutan penting struktur birokrasi. Saat inilah Bakke menyarankan adanya suatu preses fusi.
Hal ini berkaitan bahwa organisasi pada suatu posisi tertentu akan memiliki pengaruh terhadap individu, dan pada saat yang sama pula individu dapat mempengaruhi suatu organisasi.
Argyris menambahkan pernyataan Bakke tersebut, ia menyatakan bahwa ketidaksesuaian yang mendasar antara kebutuhan pegawai yang matang dengan persyaratan formal organisasi, maksudnya yaitu adanya kemungkinan seorang pegawai memiliki tujua yang berbeda dengan tujuan yang diinginkan organisasi.
c)      Teori Lapangan Tentang Kekuasaan
Teori ini dikembangkan oleh Cartwright dari pernyataan Kurt Lewin (1951) yang mendefinisikan kekuasaan sebagai bentuk kekuasaan A atas B yang artinya X berubah menjadi Y yang dalam prosesnya akan ada paksaan untuk mengikuti A. Cartwright kemudian mereformulasikan definisi kekuasaan sebagai kekuasaan A atas B dalam rangka mengubah X menjadi Y pada waktu tertentu sama dengan kekuatan maksimum.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari teori lapangan tentang kekuasaan ini, yaitu bahwa dalam suatu organisasi akan ada yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam perjalanan komunikasi organisasinya antara yang berkuasa dan yang dikuasai bisa jadi dapat bekerja sama untuk pencapaian suatu tujuan namun bisa juga terjadi perpecahan yang akan menyebabkan suatu organisasi tidak dapat mencapai suatu tujuan yang diharapkan. Dalam teori ini, Cartwright juga membedakan antara kekuasaan dan kontrol. Dalam teori ini juga, Cartwright memberikan tujuh istilah primitif untuk penjabaran dari definisinya mengenai kekuasaan, yaitu :
1.      Pelaku (agent) : Suatu satuan yang dapat menghasilkan pengaruh atau menderita akibat apa yang sedang dikerjakannya.
2.      Tindakan pelaku (act of agent) : Peristiwa yang menimbulkan suatu pengaruh (efek).
3.      Lokus (locus) : Suatu tempat dalam tata ruang.
4.      Hubungan langsung (direct joining) : Merupakan suatu kemungkinan perpindahan langsung dari satu lokus ke lokus lain.
5.      Dasar motif (motive base) : Energi bawaan yang menggerakkan tingkah laku untuk kebutuhan, dorongan, dan motif.
6.      Besaran (magnitude) : Merupakan ukuran dari konsep-konsep yang berupa tanda plus (+) atau minus (-).
7.      Waktu (time) : Menunjukkan berapa lama berlangsungnya suatu peristiwa.
d)     Teori Kekuasaan Sosial
Teori Kekuasaan Sosial dikemukakan oleh French sebagai bentuk representatif dari pejelasan yang diemukakan Cartwright.French menganggap bahwa teori yang dikemukakan Cartwright belum jelas karena kekuasaan dalam sistem sosial, belum diungkapkan oleh Cartwright. Dalam teori kekuasaan sosial akan dibahas mengenai proses pengaruh mempengaruhi dalam suatu organisasi, khususnya yang berkaitan dengan pendapat dan perubahan pendapat organisasi terhadap sesuatu hal.

Asumsi Dasar dan Uraian Teori
       Asumsi dasar dari teori ini bahwa French membagi proses pengaruh memmpengaruhi dalam tiga pola relasi dalam organisasi, antara lain :
· Hubungan kekuasaan (power relation) antara anggota organisasi.
· Pola komunikasi dalam kelompok.
· Hubungan antara pendapat dalam kelompok
Dalam teori ini digambarkan suatu garis pendapat (opinion continuum) yang memiliki dua dimensional dan pada garis tersebut terjadi pergeseran daya (forces). Daya yang dipaksakan dari A (merupakan ketua dari organisasi) kepada B (anggota lebih dari satu) disebut pengaruh sosial (social influence), sedangkan jumlah kekuatan dari daya-daya disebut kekuasaan (power). Jadi, kekuasaan A terhadap B sebanding dengan kekuatan-kekuatan daya yang ada dan yang dapat dipaksakan A terhadap B. Garis A akan bertemu garis B, hal ini dinamakan titik keseimbangan.
       Dalam suatu organisasi, semua daya yang dihasilkan oleh masing-masing anggota organisasi bersatu pada satu titik keseimbangan tertentu. Titik inilah yang menunjukkan posisi dari pendapat organisasi. Menurut French, adanya proses saling mempengaruhi dapat menyebabkan perubahan titik keseimbangan yang dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. French mengemukakan lima macam kekuasaan dasar yang berpengaruh dalam suatu sistem sosial, yaitu :
1.                  Kekuasaan Rujukan (referent power atau attraction power) yang didasarioleh perasaan saling menyukai dan saling beridentifikasi antara A dan B.
2.                  Kekuasaan Ganjaran (reward power) yang didasari oleh kemampuan A untuk memberi ganjaran terhadap B.
3.                  Kekuasaan Hukuman (coercive power) yang didasari oleh kemampuan A untuk memberi hukuman terhadap B.
4.                  Kekuasaan Pengabsahan (legitimate power) didasari oleh hak yang ada pada A untuk membenarkan atau menyalahkan tingkah laku B.Kekuasaan Keahlian (expert power) yang didasari pada persepsi B bahwa A lebih tahu mengenai hal-hal tertentu.
        French mengatakan bahwa hubungan kekuasaan antara anggota-anggota organisasi dapat digambarkan sebagai sejumlah titik-titik yang dihubungkan dengan garis-garis yang disebut dengan di rected graph .

E.     KOMUNIKASI MASSA
1.      Definisi Komuniksai Massa
Komunikasi massa berasal dari istilah bahasa Inggris, mass communication, sebagaikependekan dari mass media communication, artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass communication. Massa mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi tertentu yang sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama. Menurut Michael W Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) sesuatu bisa didefinisikan komunikasi massa jika mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.      Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan dan mentransmisikan pesan kepada khalayak yang luas dan tersebar.
2.      Komunikator dalam komunikasi massa mencoba untuk berbagi pengetahuan dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain.
3.      Pesan yang disampaikan bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang, dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain.
4.      Komunikator dalam komunikasi massa biasanya berupa organisasi formal atau berbentuk suatu lembaga.
5.      Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper, artinya pesan yang disampaikan atau disebarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa.
6.      Umpan balik yamg diterima dalam komunikasi massa sifatnya tertunda
Bittner: Mass communication is messages communicated throught a massa medium to a large number of people.
Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan dengan mengunakan media massapada sejumlah besar orang.
Joseph R. Dominick: Komunikasi massa adalah suatu proses dimana suatu organisasi yang kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin memproduksi dan mengirimkan pesan kepada khalayak yang besar, heterogen, dan tersebar.
Jalaluddin Rakhmat merangkum: Komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Joseph A. Devito dalam bukunya, Communicology : An Introduction to the study of communication,
Pengertian pertama: komunikasi massa adalah komunikasi yang dijtujukan kepada massa, kepada khlayak yang luar biasa banyaknya. Ini bukan berarti khlayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang ang menonton televisi, setidaknya cakupan khlayak itu besar dan pada umumnya sukar untuk didefinisikan.
Pengertian kedua :Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio dan visual. Komunikasi barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya, seperti : (televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita.)
William R. Rivers dkk komunikasi massa dapat diartikan dalam dua cara:
1.      Komunikasi oleh media.
2.      Komunikasi untuk massa.
Namun, Komunikasi Massa tidak berarti komunikasi untuk setiap orang. Pasalnya, media cenderung memilih khalayak; demikian pula, khalayak pun memilih-milih media.
Karakteristik Komunikasi Massa menurut William R. Rivers dkk.:
1.      Satu arah.
2.      Selalu ada proses seleksi –media memilih khalayak.
3.      Menjangkau khalayak luas.
4.      Membidik sasaran tertentu, segmentasi.
5.      Dilakukan oleh institusi sosial (lembaga media/pers); media dan masyarakat saling memberi pengaruh/interaksi.
McQuail menyebut ciri utama komunikasi massa dari segi:
1.       Sumber : bukan satu orang, tapi organisasi formal, “sender”-nya seringkali merupakan komunikator profesional.
2.       Pesan : beragam, dapat diperkirakan, dan diproses, distandarisasi, dan selalu diperbanyak; merupakan produk dan komoditi yang bernilai tukar.
3.       Hubungan pengirim-penerima bersifat satu arah, impersonal, bahkan mungkin selali sering bersifat non-moral dan kalkulatif.
4.       Penerima merupakan bagian dari khalayak luas.
5.       Mencakup kontak secara serentak antara satu pengirim dengan banyak penerima.
Lengkapnya, Karakteristik Komunikasi Massa menurut para pakar komunikasi :
1.      Komunikator Melembaga (Institutionalized Communicator) atau Komunikator Kolektif (Collective Communicator) karena media massa adalah lembaga sosial, bukan orang per orang.
2.      Pesan bersifat umum, universal, dan ditujukan kepada orang banyak.
3.      Menimbulkan keserempakan (simultaneous) dan keserentakan (instantaneos) penerimaan oleh massa.
4.      Komunikan bersifat anonim dan heterogen, tidak saling kenal dan terdiri dari pribadi-pribadi dengan berbagai karakter, beragam latar belakang sosial, budaya, agama, usia, dan pendidikan.
5.      Berlangsung satu arah (one way traffic communication).
6.      Umpan Balik Tertunda (Delayed Feedback) atau Tidak Langsung (Indirect Feedback); respon audience atau pembaca tidak langsung diketahui seperti pada komunikasi antarpribadi.
Ada lima tahap yang berbeda yang membentuk proses komunikasi massa:
1.      Sebuah pesan diformulasikan oleh komunikator profesional.
2.      Pesan akan dikirim dengan cara yang relatif cepat dan berkelanjutan melalui penggunaan media (biasa dipergunakan cetak, film, atau siaran).
3.      Pesan mencapai relatif besar dan beragam (yaitu, massa) penonton, yang hadir ke media dengan cara selektif.
4.      Setiap anggota dari penonton menafsirkan pesan sedemikian rupa sehingga mereka mengalami makna yang kurang lebih paralel dengan yang dimaksudkan oleh komunikator professional.
5.      Sebagai hasil dari ini mengalami makna, anggota audiens dipengaruhi dalam beberapa cara: yaitu, komunikasi memiliki beberapa efek.
2.      Asumsi Dasar Komunikasi Massa
Asumsi dasar adanya teori ini karena zaman terus berkembang dimana manusia semakin kritis dan perkembangan teknologi tidak bisa dan tidak bolehdihentikan. Informasi semakin mudah diciptakan dan didapatkan karenaperkembangan media massa yang sedemikian pesat. Pesatnya perkembangan teknologi di bidang komunikasi massa mau tak mau akan memberikan banyak efek yang beragam bagi setiap individu yang menerimanya, efek ini dapatmembuat pintar publik namun dapat juga menyebabkan pembodohan terhadap publik. Namun demikian, komunikasi massa tetap menjadi sebuah perwujudan dari perkembangan zaman yang seharusnya dilihat dan dijaga agar tetap selalu berefek positif sesuai dengan fungsi dari komunikasi massa itu sendiri. Berikut ini adalah fungsi-fungsi dari komunikasi massa, antara lain :
1.      Fungsi pengawasan
·         Pengawasan peringatan
·         Pengawasan instrumental
2.      Fungsi interpretasi
3.      Fungsi hubungan (linkage)
4.      Fungsi sosialisasi
5.      Fungsi hiburan
Disamping itu dalil yang mendasari munculnya komunikasi massa, diantaranya :
·         Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang, dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait; media juga merupakan industri tersendiri yang memiliki aturan dan norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya. Di lain pihak, institusi media diatur oleh masyarakat.
·         Media massa merupakan sumber kekuatan atau alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
·         Media merupakan lokasi (atau forum) yang semakin berperan, untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional atau internasional.
·         Media sering sekali berperan sebgai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembanagan tata-cara, mode , gaya hidup dan norma-norma.
·         Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif; media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.
3.      Para Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Massa
a)      Teori Kegunaan dan Kepuasan(Uses and Gratifications Theory)
Teori kegunaan dan kepuasan diperkenalkan pertama kali pada tahun 1974 oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch. Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif dalam memilih dan menggunakan media massa. Audience atau khalayak memiliki peran yang aktif dalam memilih media dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan khalayak juga selektif dalam memilih media yang tepat dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Teori ini merupakan kebalikan dari teori jarum hipodermik atau teori peluru dimana pada teori tersebut audience atau khalayak dianggap pasif dan media sangat powerful dalam menyuntikkan pesan-pesannya kepada khalayak. Sementara dalam teori ini khalayak yang justru powerful dalam memilih media dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Hal ini memiliki arti bahwa terjadi proses seleksi media yang dilakukan oleh khalayak. Formula yang dirumuskan untuk menjelasakan teori ini adalah probabilitas seleksi akan sama dengan janji imbalan dibagi dengan upaya yang diperlukan. Formula ini menjelaskan bahwa imbalan atau hal yang didapat oleh khalayak dalam memenuhi kebutuhannya dibandingkan dengan upaya yang diperlukan dalam mengakses media tersebut atau manfaat yang akan diperoleh akan menghasilkan kemungkinan dipilihnya media massa tersebut oleh khalayak dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Gratifikasi atau kepuasan yang bersifat umum antara lain pelarian dari rasa khawatir, peredaan rasa kesepian, dukungan emosional, perolehan informasi dan kontak sosial.
Bahkan sebelumnya karya klasik oleh Herta Herzog (1944) memulai tahap awal penelitian Kegunaan dan Gratifikasi. Dia berusaha membagi alsan-alasan orang melakukan bentuk-bentuk alsan yang berbeda mengenai perilaku media, seperti membaca surat kabar dan membaca radio. Herxog mempelajari mengenai peran dari keinginan dan kebutuhan khalayak, dan ia sering kali diasosiakan sebagai pelopor asli teori Kegunaan dan Gratifikasi (meskipun label ini baru muncul di kemudian hari)
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Menurut Katz, Blumler, Gurevitch, (1974:20) mereka juga merumuskan asumsi-asumsi dasar teori ini, diantaranya :
1.      Khalayak dianggap aktif; artinya,sebagian penting dari penggunaan meida massa dirumuskan mempunyai tujuan.
2.      Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3.      Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya.
4.      Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari dat yang diberikan anggota khalayak; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.
5.      Penilaian tentang aarti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu oleh khlayak. (Blummler, dan Katz 1974:22).
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain.
Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Teori kegunaan dan kepuasan juga adalah salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan sering digunakan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?”
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media persons interactions sebagai berikut :
1.      Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
2.      Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan social
3.      Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
4.      Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Teori ini juga membahas mengenai kebutuhan dan biasanya sangat erat kaitannya dengan teori Maslow, yang terdiri atas :
·         Physiological Needs
·         Safety Needs
·         Belonging Needs
·         Esteem Needs
·         Self-actualization Needs
Uses and Gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam.
b)     Teori Agenda Setting (Agenda Setting Theory)
Teori Penentuan Agenda (Agenda Setting Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah:
1.       Masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu;
2.       Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain;
Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda adalah peran fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal
“Pers mungkin tidak berhasil banyak waktu dalam menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa” Bernard C. Cohen, 1963.
Teori Agenda Setting pertama dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and the Picture in our head”, penelitian empiris teori ini dilakukan Mc Combs dan Shaw ketika mereka meniliti pemilihan presiden tahun 1972.
Mereka mengatakan antara lain walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas social kita, ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, meraka juga belajar sejauhmana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Media massa berfungsi menyusun agenda untuk diskusi, kebutuhan-kebutuhan dan kehidupan orang-orang. penting atau tidaknya diskusi tersebut ditentukan dan diperluas oleh media massa. Menurut teori ini media massa mempunyai fungsi yang berbeda sesuai dengan jenis mediannya.
Misalnya, televisi mempunyai agenda settingnya berlaku dalam waktu pendek yang memprioritaskaan pada agenda setting sebagai lampu sorot. Adapun pada surat kabar sangat memperhatikan agenda setting tentang masalah publik, politik, atau masalah-masalah yang sedang aktual di masyarakat.
Mengikuti pendapat Chaffed dan Berger (1997) ada beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan untuk memperjelas teori ini:
1.      Teori ini mempunyai kekuatan penjelas untuk menerangkan mengapa orang sama-sama menganggap penting suatu isu.
2.      Teori ini mempunyai kekuatan memprediksikan sebab memprediksi bahwa jika orang-orang mengekspos pada satu media yang sama, mereka akan merasa isu yang sama tersebut penting.
3.      Teori ini dapat dibuktikan salah jika orang-orang tidak mengekspos media yang sama maka mereka tidak akan mempunyai kesamaan bahwa isu media itu penting.
Sementara itu, Stephen W. Littlejhon (1992) pernah mengatakan, agenda setting ini beroperasi dalam tiga bagian sebagai berikut:
·         Agenda media itu sendiri harus diformat. Proses ini akan memunculkan masalah bagaimana agenda setting media itu terjadi pada waktu pertama kali.
·         Agenda media dalam banyak hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan, seberapa besar kekuatan media mampu mempengaruhi agenda publik dan bagaimana publik itu melakukannya.
·         Agenda pubik mempengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan adalah pembuatan kebijakan publik yang dinggap penting bagi individu.
Dengan demikian, agenda setting ini memprediksikan bahwa agenda media mempengaruhi agenda publik, semantara agenda publik sendiri akhirnya mempengaruhi agenda kebijakan.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitkan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang). Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (Community Salience).
Model agenda setting menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi fokus penelitian telah bergeser dari efek pada sikap dan pendapat kepada efek kesadaran dan efek pengetahuan. Asumsi dasar teori ini, menurut Cohen (1963) adalah : The press is significantly more than a surveyor of information and opinion. It may not be successful much of the time in telling the people what to think, but it stunningly successful in telling leaders what to think about. To tell what to think about. artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan yang menonjol, media memberikan test case tentang isu apa yang lebih penting. Asumsi agenda setting model ini mempunyai kelebihan karena mudah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang lebih banyak mendapat perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya, akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media massa. oleh karena itu agenda setting model menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan tersebut. Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat (Elvinaro, dkk, 2007: 76-77).
Dampak media massa, kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa. Disinilah terletak efek komunikasi massa yang terpenting, kemampuan media untuk menstruktur dunia buat kita. Tapi yang jelas Agenda Setting telah membangkitkan kembali minat peneliti pada efek komunikasi massa.
c)      Teori Norma Budaya (Cultural Norms Theory)
Cultural Norms Theory dikemukakan oleh Melvin DeFleur. Dalam teori inimedia massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya padatema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khalayak di mana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengancara-cara tertentu.Perilaku individual biasanya dipandu oleh norma-norma budayamengenai suatu hal tertentu, maka media komunikasi secara tidak langsungakan mempengaruhi perilaku.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Cultural norms theory bahwa norma budaya yang ada di masyarakat berkaitan dengan media komunikasi dan komunikasi massa.
Ada tiga cara di mana media secara potensial mempengaruhi situasi dannorma bagi individu-individu, terdiri atas:
·         Pesan komunikasi massa akan memperkuat pola-pola yang sedang berlakudan memadu khalayak untuk percaya bahwa suatu bentuk sosial tertentutengah dibina oleh masyarakat.
·         Media komunikasi dapat menciptakan keyakinan baru mengenai hal-hal dimana khalayak sedikit banyak telah memiliki pengalaman.
·         Komunikasi massa dapat mengubah norma-norma yang tengah berlaku dankarenanya mengubah khalayak dari suatu bentuk perilaku mejadi bentuk perilaku yang lain.
Media massa melalui informasi yang disampaikannya dengan cara-cara tertentu dapat menimbulkan kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma dan nilai-nilai budayanya.Media massa mempengaruhi budaya-budaya masyarakatnya dengan cara :
·         Pesan-pesan yang disampaikan media massa memperkuat budaya yang ada. Ketika suatu budaya telah kehilangan tempat apresiasinya, kemudian media massa memberi lahan atau tempat maka budaya yang pada awalnya sudah mulai luntur menjadi hidup kembali.
·         Media massa telah menciptakan pola baru tetapi tidak bertentangan bahkan menyempurnakan budaya lama.
·         Media massa mengubah budaya lama dengan budaya baru yang berbeda dengan budaya lama.
Menurut Paul Lazarfeld dan Robert K Merton terdapat empat sumber utama kekhawatiran masyarakat terhadap media massa, yaitu :
Sifat Media Massa yang mampu hadir dimana-mana (Ubiquity) serta kekuatannnya yang potensial untuk memanipulasi dengan tujuan-tujuan tertentu
Dominasi kepentingan ekonomi dari pemilik modal untuk menguasai media massa dengan demikian media massa dapat dipergunakan untuk menjamin ketundukan masyarakat terhadap status quo sehingga memperkecil kritik sosial dan memperlemah kemampuan khalayak untuk berpikir kritis.
·         Media massa dengan jangkauan yang besar dan luas dapat membawa khalayaknya pada cita rasa estetis dan standar budaya populer yang rendah.
·         Media massa dapat menghilangkan sukses sosial yang merupakan jerih payah para pembaharu selama beberapa puluh tahun yang lalu.
d)     Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media.
Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. contoh, orang yang suka liga inggris, akan tergantung sama tnyangan itu. orng yg suka liga spanyol, tdak tergantung dgn tyangan itu.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial. Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi




F.     Komunikasi Budaya
1.      Definisi Komunikasi Budaya
Komunikasi budaya adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah kebudayaan yang sama. Fungsi Sosial Komunikasi Budaya: Fungsi pribadi, ialah fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui komunikasi yang bersumber dari seorang individu, untuk menyatakan identitas sosial, menyatakan integrasi sosial, menambah pengetahuan. Fungsi sosial, ialah fungsi komunikasi yang bersumber dari faktor budaya yang ditunjukkan melalui prilaku komunikasi yang bersumber dari interaksi sosial, diantaranya berfungsi sebagai berikut: pengawasan,  menjembatani, sosialisasi nilai, dan menghibur.
2. Asumsi dasar Teori Komunikasi Budaya
Kajian budaya adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Kajian budaya jauh melampaui media, sering juga disebut kajian khalayak. Kajian budaya berkaitan dengan sikap, pendekatan, dan kritik mengenai sebuah budaya (West & Turner 2008, II:63). Kajian budaya berkembang di Inggris. Stuart Hall adalah seorang teoritikus budaya dan mantan direktur Center for Contemporary Cultural Studies. Ia menyatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi kaum elit. Media berfungsi mengomunikasikan cara-cara berpikir yang dominan, tanpa memperdulikan efektivitas pemikiran tersebut. Kajian budaya menekankan bahwa media menjaga agar orang-orang yang berkuasa tetap memiliki kekuasan, sementara yang kurang berkuasa menerima mentah-mentah apa yang diberikan kepada mereka. Kajian budaya mempelajari kegiatan rekreasi, hobi dan olahraga untuk berusaha memahami bagaimana individu berfungsi di dalam masyarakat. Intinya kajian budaya bergerak melampaui interpretasi mengenai masyarakat yang kaku dan terbatas menuju konsepsi budaya yang lebih luas. Teori ini berakar pada beberapa klaim penting mengenai budaya dan kekuasaan: budaya tersebar dalam dan menginvasi semua sisi perilaku manusia dan orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hirarkis. Asumsi pertama berkaitan dengan pemikiran mengenai budaya. Budaya didefinisikan sebagai sebuah komunitas makna. Berbagai norma, ide dan nilai serta bentuk-bentuk pemahaman di masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Dalam artian luas, praktik-praktik budaya dan institusi memengaruhi ideologi kita. Kita tidak dapat melarikan diri dari kenyataan budaya bahwa sebagai komunitas global, tindakan tidak dilakukan dalam ruang hampa. Graham Murdock (1989) menekankan ketersebaran budaya dengan menyatakan bahwa semua kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan dan menciptakan ulang sistem makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam bentuk-bentuk ekspresif, praktik-praktik sosial dan institusi-institusi. Makna di dalam budaya kita dibentuk oleh media. Media dapat dianggap sebagai pembawa pesan berbasis teknologi dari budaya, bahkan media lebih daripada itu. Media menginvasi seluruh ruang kehidupan kita, membentuk selera makan, berpakaian, dan tindakan-tindakan lainnya. Asumsi kedua dari kajian budaya berkaitan dengan manusia sebagai bagian penting dari sebuah hirarki sosial yang kuat. Kekuasaan bekerja di semua level kehidupan manusia. Hall tertarik dengan kekuasaan yang dipegang oleh kelompok sosial atau kekuasaan di antara kelompok-kelompok. Makna dan kekuasaan berkaitan erat. Makna tidak dapat dikonseptualisasikan di luar bidang permainan dari hubungan kekuasaan. Sumber kekuatan yang paling mendasar di dalam membentuk cara pandang itu semua dalam masyarakat kita adalah media. Media telah menjadi terlalu kuat dan berkuasa. Tidak ada institusi yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang didengar oleh publik kecuali media. Jika media menganggap suatu peristiwa memiliki nilai penting, maka peristiwa tersebut menjadi penting. Suatu peristiwa yang sebenarnya tidak penting, maka ia menjadi tidak penting. Hegemoni merupakan konsep penting dalam kajian budaya. Secara umum hegemoni didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap yang lain. Gramsci berpendapat bahwa khalayak dapat dieksploitasi oleh sistem sosial yang juga mereka dukung. Mulai dari budaya popular, lagu-lagu pop, tarian atau dance, makanan, hingga agama.
3. Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Budaya
a)      Teori Akomodasi Komunikasi
Teori ini dikemukakan oleh Howard Giles dan koleganya, teori ini berkaitan dengan penyesuaian interpersonal dalam interaksi komunikasi. Hal ini didasarkan pada observasi bahwa komunikator sering kelihatan menirukan perilaku satu sama lain. Teori akomodasi komunikasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai model ”mobilitas aksen” Yang didasarkan pada berbagai aksen yang dapat didengar dalam situaisi wawancara. Teori akomodasi didapatkan dari sebuah penelitian yang awalnya dilakukan dalam
bidang ilmu lain, dalam hal ini psikologi sosial. (West dan Lynn Turner, 2007: 217). Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan orang lain. (West dan Lynn Turner, 2007: 217)
Asumsi-Asumsi Teori Akomodasi Komunikasi
Mengingat bahwa akomodasi dipengaruhi oleh beberapa keadan personal, situasional dan budaya maka dapat diidentifikasikan empat asumsi berikut ini:
·         Persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat didalam semua percakapan.
Pengalaman-pengalaman dan latar belakang yang bervariasi akan menentukan sejauh mana orang akan mengakomodasi orang lain.semakin mirip sikapdan keyakinan kita dengan orang lain,makin kita tertarik kepada dan mengakomodasi orang lain tersebut.
·         Cara dimana kita mempersepsikan tuturan dan perilaku orang lainakan menentukan bagaiman kita mengevaluasi sebuah percakapan.
Akomodassi komunikasi adalah teori yang mementingkan bagaimana orang mempersepsikan dan mengevaluasi apa yang terjadi dalam sebuah percakapan. Persepsi adalah proses memerhatikan dan menginterpretasikan pesan, dan evaluasi merupakan proses menilai percakapan. Orang pertamakali mempersepsikan apa yang terjadi dalam percakapan sebelum mereka memutuskan bagaiman mereka akan berperilaku dalam percakapan.
·         Bahasa dan perilaku memberikan informasi mengenai status sosial dan keanggotaan kelompok.
Asumsi ketiga ini berkaitan dengan dampak yang dimiliki bahasa terhadap orang lain.secara khusus,bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah percakapan.
·         Akomodasi bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian dan norma mengarahkan proses akomodasi.
Norma telah terbukti memainkan peranan dalam teori giles, norma adalah harapan mengenai perilaku yang dirasa seseorang harus atau tidak harus terjadi didalam percakapan. Norma pada umumnya orang yang lebih muda harus meurut pada orang yang lebih muda mengidindikasikan bahwa orang yang lebih bawah akan lebih  mengakomodasi percakapan.
Cara Beradaptasi
         Teori akomodasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan. Mereka mungkin menciptakan komunitas percakapan yang melibatkan penggunaan bahasa atau sistem nonverbal yang sama, mereka mungkin akan membedakan diri mereka dari orang lain, dan mereka akan berusaha terlalu keras untuk beradaptasi. Pilihan-pilihan ini akan diberi label konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan.
Proses pertama yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah konvergensi. Jesse Delia, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland dalam West dan Lynn Turner (2007:222) mendefinisikan konvergensi sebagai ”strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan. Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka akan melakukan konvergensi dalam percakapan.
Proses kedua yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah divergensi yaitu strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara para komunikator. Divergensi terjadi ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara.
Terdapat beberapa alasan mengapa orang melakukan divergensi, pertama untuk mempertahankan identitas sosial. Contoh, individu mungkin tidak ingin melakukan konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan budaya mereka. Contoh, ketika kita sedang bepergian ke Paris, kita tidak mungkin mengharapkan orang Prancis agar melakukan konvergensi terhadap bahasa kita. Alasan kedua mengapa orang lain melakukan divergensi adalah berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan peranan dalam percakapan. Divergensi seringkali terjadi dalam percakapan ketika terdapat perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan (dokter-pasien, orangtua-anak, pewawancara-terwawancara, dan seterusnya. Terakhir, divergensi cenderung terjadi karena lawan bicara dalam percakapan dipandang sebagai anggota dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggap memiliki sikap-sikap yang tidak menyenangkan, atau menunjukkan penampilan yang jelek.
Proses ketiga yang dapat dihubungkan dengan teori akomodasi adalah Akomodasi Berlebihan : Miskomunikasi dengan tujuan. Jane Zuengler (1991) dan West dan Lynn Turner (2007: 227) mengamati bahwa akomodasi berlebihan adalah ”label yang diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu berlebihan.” istilah ini diberikan kepada orang yang walaupun bertindak berdasarkan pada niat baik, malah dianggap merendahkan.
b)     Standpoint Theory (Sandra Harding dan Julia T. Wood)
Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition. Dalam teori ini, Harding dan Wood menggagas bahwa salah satu cara terbaik untuk mengetahui bagaimana keadaan dunia kita, yaitu dengan memulai penyelidikan kita dari standpoint kaum wanita dan kelompok-kelompok marginal lain. A standpoint adalah sebuah tempat di mana kita memandang dunia di sekitar kita. Apapun tempat yang menguntungkan itu, lokasinya cenderung memfokuskan perhatian kita pada beberapa fitur dalam bentangan alam dan sosial dengan mengaburkan fitur-fitur lainnya. A standpoint bermakna sama dengan istilah viewpoint, perspective, outlook, atau position. Dengan catatan bahwa istilah-istilah ini digunakan dalam tempat dan waktu khusus, tetapi semuanya berhubungan dengan perilaku dan nilai-nilai. Standpoint kita mempengaruhi worldview kita.
Menurut Harding, ketika orang berbicara dari pihak oposisi dalam hubungan kekuasaan (power relations), perspektif dari kehidupan orang-orang yang tidak memiliki power, menyediakan pendangan yang lebih objektif daripada pandangan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Yang menjadi fokus bahasannya adalah standpoint kaum wanita yang selama ini termarginalisasi.
Standpoint Seorang Feminis Berakar pada Filosofi dan Literatur
Georg Hegel (filosof Jerman) menganalisis hubungan majikan-budak untuk menunjukkan apa yang orang tahu tentang diri mereka, orang lain, dan masyarakat berdasarkan di mana mereka menjadi bagian dalam kelompok itu. Majikan dan budak memiliki perspektif yang berbeda ketika keduanya menghadapi realitas yang sama. Namun ketika ‘para tuan’ membangun struktur masyarakat, mereka memiliki kekuasaan (power) untuk membuat perspektif yang mereka miliki juga dianut oleh orang-orang dari kelompok yang lain. Referensi berikutnya adalah teori Karl Marx dengan konsep kaum borjuis dan proletarian serta ‘class struggle’. Para feminis mengganti konsep proletarian dengan kaum wanita, dan mengganti perjuangan kelas dengan ‘gender discrimination’. George Herbert Mead menggagas bahwa kebudayaan (culture) dianut oleh manusia lewat komunikasi. Dengan menggunakan gambaran prinsip symbolic interactionism, Wood menyatakan bahwa gender lebih merupakan sebuah konstruksi budaya daripada sebuah karakteristik biologis. Berdasarkan teori postmodernism, para feminis mengkritik kenyataan bahwa rasionalitas dan western science, didominasi oleh pria.
Harding dan Wood menggambarkan semua teori berdasarkan pendekatan konflik di atas, tanpa membiarkan teori-teori itu membentuk atau mempengaruhi substansi pendekatan standpoint mereka.
Wanita sebagai Kelompok yang Termarginalisasi
Para ahli teori ini melihat perbedaan-perbedaan penting antara pria dan wanita. Untuk menggambarkan ini, Wood menggunakan teori relational dialectic tentang autonomy-connectedness. Pria dianggap lebih otonom, sedangkan wanita dianggap lebih suka berhubungan dengan orang lain. Namun Wood melihat perbedaan seperti ini, serta perbedaan lain yang begitu luas antara pria dengan wanita, merupakan hasil dari cultural expectation serta perlakuan yang diterima pria dan wanita dari orang lain.
Selain isu gender, Harding juga menekankan kondisi ekonomi, ras, orientasi seksual sebagai identitas kultural tambahan yang dapat membuat orang berada di tengah masyarakat atau menjadi orang yang terpinggirkan. Standpoint theory menekankan pentingnya social location karena mereka yakin bahwa orang yang berada di puncak societal hierarchy adalah orang-orang yang memiliki previlise untuk mendefinisikan apa dan bagaimana artinya ‘menjadi wanita’, atau ‘menjadi pria’, atau hal-hal lain, bagian dari budaya, yang dianut masyarakat.
Knowledge from Nowhere versus Local Knowledge
Mengapa standpoint begitu penting? Karena, menurut Harding, kelompok sosial yang memiliki kesempatan untuk mendefinisikan problematika, konsep, asumsi, dan hipotesis yang penting dalam sebuah bidang ilmu, akan meninggalkan bekas sosialnya pada gambaran dunia yang berasal dari hasil penelitian dalam bidang itu.
Penekanan Harding terletak pada local knowledge untuk menentang pernyataan bahwa traditional western science yang mengungkapkan ‘truth’, bebas nilai dan objektif. Harding dan para ahli standpoint theory lainnya bersikukuh bahwa tidak ada kemungkinan bagi teciptanya perspektif yang tanpa bias, yang tanpa ditunggangi kepentingan-kepentingan, impartial, bebas nilai, atau terlepas dari situasi sejarah tertentu.
Namun Harding dan Wood tidak menyatakan bahwa standpoint wanita atau kelompok minoritas lainnya, memberikan pandangan yang jelas akan sesuatu. Situated knowledge akan selalu parsial. Para ahli standpoint theory memelihara perspektif bahwa kelompok subordinat memberikan gambaran dunia yang lebih lengkap dan karenanya, lebih baik daripada gambaran yang diberikan oleh kelompok masyarakat yang terhormat.
Objektifitas yang Kuat: Tinjauan yang Lebih Parsial dari Standpoint Wanita
Harding menggunakan istilah strong objectivity untuk menyebut strategi memulai penelitian ini dari kehidupan wanita dan kelompok termarginalisasi lainnya yang kepentingan dan pengalamannya, biasanya diabaikan. Mengapa standpoint wanita dan kelompok lain yang termarginalisasi dapat menampilkan perspektif yang lebih menyeluruh, lebih tepat, atau lebih benar dibandingkan perspektif pria yang berada pada posisi dominan? Wood menawarkan dua penejalasan. Pertama, orang-orang dengan status subordinat memiliki motivasi yang lebih besar untuk mengerti perepektif dari orang-orang dengan kekuasaan lebih. Alasan yang kedua, yaitu karena kelompok-kelompok ini biasanya dipinggirkan, maka mereka punya sedikit alasan untuk mempertahankan status quo.
Menurut Harding, perspektif objektif dari kehidupan wanitalah yang memberikan standpoint yang lebih disukai dalam melakukan proyek-proyek penelitian, hipotesis dan interpretasi.
Teori ke Praktik: Penelitian Komunikasi Berdasarkan Kehidupan Wanita
Ada contoh di bawah ini yang mampu menggambarkan sebuah model penelitian komunikasi yang berawal dari kehidupan wanita. Julia Wood mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai seorang wanita kulit putih, heteroseksual, wanita profesional, yang memikul tanggung jawab untuk mengurus kedua orangtuanya hingga keduanya meninggal. Wood lantas melihat bahwa praktik-praktik gendered communication merefleksikan sekaligus memaksakan societal expectation kita bahwa caregiving adalah pekerjaan wanita. Ia mendengar kata-kata bahwa dirinya memang sudah seharusnya mampu mengurus orangtua dan keluarga, dari ayah dan koleganya.
Wood percaya bahwa kebudayaan itu sendiri harus direformasi dengan cara menjauhkan istilah caring terhadap afiliasi historisnya dengan wanita dan hubungan pribadi dan mendefinisikannya kembali sebagai hal yang penting dan merupakan bagian integral dari kehidupan publik kolektif kita.
Contoh lain tentang studi komunikasi yang berawal dari standpoint wanita adalah konsep invitational rhetoric yang diajukan oleh Sonja Foss dan Cindy Griffin. Foss dan Griffin mengajukan konsep offering sebagai pendekatan alternatif terhadap rhetoric yang merefleksikan kehidupan wanita. Invitational rhetoric adalah sebuah undangan untuk mengerti sebagai cara untuk menciptakan suatu hubungan yagn berakar pada persamaan, nilai yang tetap ada, dan self-determinism. Dalam offering, orator mengatakan apa yang mereka ketahui dan mengerti. Mereka menghadirkan penglihatan mereka akan dunia dan menunjukkan bagaimana dunia terlihat dan bagaimana dunia mempengaruhi mereka.
Beberapa kritik bagi teori ini adalah sebagai berikut:
Meskipun standpoint theory pada awalnya dibangun untuk mengapresiasi nilai dari pespektif wanita, teori ini kemudian diaplikasikan pula pada kelompok-kelompok marginal lainnya. Karena pembahasannya menjadi semakin spesifik, maka konsep solidaritas kelompok yang menjadi inti teori ini patut dipertanyakan. Hekman dan Hirschmann menyatakan bahwa tidak ada sebuah ekspresi lewat kata-katapun yang bebas dari nilai, termasuk wanita dan kelompok-kelompok marginal lainnya,
Konsep strong objectivity sebenarnya kontradiktoris. Jika ditinjau dari postmodern, standpoint theory menyatakan bahwa standpoint itu sifatnya relatif dan tidak dapat dievaluasi dengan kriteria mutlak. Di sisi lain, Sandra dan Wood menekankan bahwa perspektif wanita ini lebih bebas bias dan lebih netral daripada perspektif kelompok yang lebih terhormat.
c)      Muted Group Theory (Cheris Kramarae)
Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition Kramarae menyatakan bahwa bahasa (language) secara harfiah, adalah sebuah man-made construction. Ia menegaskan bahwa bahasa dari sebuah budaya khusus tidak melayani semua orang yang mengucapkannya secara sama, karena memang tidak semua speaker memberikan kontribusi yang sama dalam formulasinya. Wanita, dan anggota dari kelompok subordinat lain, tidaklah bebas atau bisa mengatakan apa, yang ingin mereka katakana, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma-norma yang mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, yaitu pria.
Menurut Kramarae, kata-kata wanita tidak dihargai dalam masyarakat kita. Pemikiran wanita mengalami hal yang sama. Ketika wanita mencoba meniadakan ketidakadilan ini, kontrol pria terhadap komunikasi menempatkan wanita dalam ketidakberdayaan. Man-made language membantu mendefinisikan, menjatuhkan, dan meniadakan wanita. Wanita adalah the muted group (kelompok yang dibungkam). Tipe dominansi pria pada bahasa hanyalah satu aspek saja dari berbagai cara untuk membungkam kepentingan wanita dalam masyarakat.
Muted Groups: Black Holes in Someone Else’s Universe
Ardener berasumsi bahwa ketidakpedulian terhadap pengalaman wanita merupakan masalah unik gender bagi social-anthropology. Ia kemudian sadar bahwa mutedness (kebisuan) disebabkan karena kekurangan kekuasaan (power). Orang-orang yang memiliki sedikit kekuatan tidak menyadari masalah bahasa yang mereka gunakan untuk mengungkapkan persepsi mereka.
Menurut Ardener, muted structures ada di dalamnya, tetapi tidak sadar dalam penggunaan bahasa yang diciptakan kelompok dominan. Sebagai hasilnya, mereka diabaikan, disia-siakan, dan tidak terlihat. Seperti black holes in someone else’s universe.
Namun Ardener mengingatkan bahwa muted group tidak selalu diam. Isunya adalah apakah orang dapat mengatakan hal yang ingin mereka katakan saat dan di tempat mereka ingin mengatakannya. Atau haruskah mereka me-re-encode pemikiran mereka untuk membuat mereka dimengerti oleh public dominan? Kramarae merasa yakin bahwa posisi kekuasaan dominan pria dalam masyarakat menjamin bahwa cara ekspresi publi tidaklah secara langsung tersedia bagi wanita.
Pada hakikatnya, Kramarae hanyalah salah seorang feminis yang ingin megungkapkan kebungkaman yang sistematik atas suara wanita (women voice). Para feminis memiliki agenda penelitian yang menganggap penting pengalaman wanita.
Kekuatan Maskulin untuk Menamai Pengalaman
Karamarae memulai bahasannya dengan asumsi bahwa wanita melihat kenyataan di sekitarnya dengan cara yang berbeda dengan pria karena keduanya mengalami pengalaman dan aktivitas yang berbeda berdasarkan pembagian kerja (division of labor). Ia yakin bahwa ketidaksesuaian kekuasaan antar jenis kelamin memastikan bahwa wanita memandang dunia dengan cara yang berbeda dengan pria. Seringkali pengalaman wanita ini harus diungkapkan kemudian disensor terlebih dahulu oleh pria. Padahal saling pengertian sebenarnya mampu terbentuk jika ada diskusi lebih lanjut mengenai hal itu. Namun, masalah yang dihadapi wanita adalah diskusi itu tidak pernah benar-benar terjadi di lapangan. Persepsi pria dominan karena dominansi politik mereka, yang kemudian mengekang kebebasan berekspresi wanita sebagai mode alternatif di dunia. Pemilik mode ekspresi di dunia adalah pria dan pria pula yang membingkai diskusi.
Menurut teori symbolic interactionism dari Mead, perluasan pengetahuaan adalah perluasaan penamaan (naming). Jika ini benar, maka siapapun yang punya kemampuan naming, ia akan memiliki kekuasaan yang luar biasa. Selanjutnya, menurut pendekatan socio-cultural, bahasa membentuk persepsi kita akan realitas. Maka, menurut Kramarae, pengabaian terus-menerus terhadap kata-kata, dapat membuat pengalaman itu menjadi unspoken, bahkan unthought. Akibatnya, lama-kelamaan, muted women akan meragukan validitas pengalaman dan legitimasi perasaan mereka.
Pria sebagai Gatekeepers Komunikasi
Meskipun public mode of expression memiliki begitu banyak kosakata untuk mendeskripsikan pengalaman feminin, wanita akan tetap di-muted ketika mode of expression mereka diabaikan. Dalam masyarakat terjadi pembangunan kultural tentang peran luar biasa pria dengan tidak mengakui atau mempublikasikan seni, puisi, skenario, public address, dan esay akademik wanita. Selama 500 tahun wanita dilarang membuka bisnis. Bahkan pengaruhnya dalam media cetak dibatasi hingga tahun 70-an. Kramarae menyebutnya malestream expression. Menurut Dorothy Smith, pria menganggap penting hanya pembicaraan yang diucapkan pria. Lingkaran pria yang menulis dan berbicara sangat penting bagi satu sama lain. Apa yang dilakukan pria hanya relevan bagi pria, ditulis oleh, tentang, dan untuk pria. Pria didengarkan dan mendengarkan satu sama lain.
Janji yang Tak Terpenuhi tentang Internet
Kita berasumsi bahwa ketika internet muncul, era gatekeeping yang dilakukan oelh pria, telah berakhir. Namun tidak demikian menurut Kramarae. Di bawah ini
ada 4 kiasan untuk menggambarkan hal itu:
Information Superhighway, yaitu masih sulit bagi wanita untuk mengakses pelayanan inernet dengan harga yang relative masih tidak terjangkau bagi wanita, serta situs tidak dirancang secara khusus untuk menyambut wanita.
The New Frontier, yaitu pria berpandangan bahwa komputer dan online tidak cocok bagi wanita.
Democracy, yaitu karena kaum wanita belum menjadi kelompok yang ‘membuat pengetahuan (knowledge), maka wanita justru harus lebih berhati-hati ketika menelusuri dunia maya.
A Global Community, lewat internet, wanita bisa saling berbagi pengalaman dengan orang lain di seluruh dunia. Namun internet menghadirkan komunitas yang telah eksis tanpa mendorong pihak-pihak yang tidak hadir untuk berpartisipasi. Untuk mendapt kepercayaan, para pria membuat site ‘women only’ untuk menipu wanita dan mendapatkan kepercayaan mereka.
Women’s Truth into Men’s Talk: The Problem of Translation
Mengasumsikan bahwa dominansi maskulin dalam komuniksi publik adalah sebuah realitas yang tengah terjadi, Kramarae menyatakan, untuk berpartisipasi dalam masyarakat, wanita harus mentranslasikan model mereka ke dalam sistem ekspresi pria yang dipakai masyarakat selama ini. Seperti bicara dengan bahasa kedua, translasi ini butuh proses yang terus-menerus. Apa yang ingin dikatakan wanita tidak dapat diungkapkan secra benar-benar tepat karena bahasa yang ada bukanlah buatan mereka. Dan, layaknya seperti bahasa kedua, ketika translasi selesai dilakukan, kata-kata yang telah ditranslasikan itu tidak benar-benar mengungkapkan maksud wanita.
Speaking Out in Private: Networking with Women
Menurut Kramarae, wanita cenderung mencari cara yang berbeda dalam mengekspresikan pengalamannya kepada public. Wanita menggunakan diary, jurnal, surat, cerita, dongeng, gossip, seni, puisi, nyanyian, maupun parodi nonverbal. Pria biasanya lupa akan sekitarnya jika telah berkomuniksi dengan wanita lewat channels tersebut. Karamarae yakin bahwa pria memiliki kemampuan yang lebih rendah dari wanita dalam mengerti maksud dari lawan jenis. Namun pria tetap melakukan itu karena mereka sadar bahwa mendengarkan wanita itu perlu untuk membangun kehormatan yang lebih besar lagi untuk dirinya.
Speaking Out in Public: A Feminist Dictionary
Tujuan utama dari muted theory adalah untuk mengubah man-made linguistic system yang membuat wanita tidak bisa maju dan berkembang. Menurut Kramarae, salah satunya dibakukan oleh kamus-kamus yang beredar. Kemudian ia dan Paula Treichler membuat kompilasi kamus feminis yang menawarkan definisi untuk kata-kata wanita.
Sexual Harassment: Coining A Term to Label Experience
Pelecehan seksual (sexual harassment) tidaklah terjadi secara acak menurut Kramarae. Wanita telah menjadi objek tetap pelecehan seksual. Ini terjadi karena wanita tidak memiliki kekuasaan (power) yang besar dalam masyarakat sehingga ia senantiasa dilecehakn dan direndahkan. Masih menurut Kramarae, istilah sexual harassment sendiri digunakan pertama kali pada sebuah kasus di pengadialn pada akhir tahun 1970. itu adalah kata legal petama yang didefinisikan oleh wanita. Dan bagi muted group, perjuangan untuk mengimbangi man-made language, terus berlangsung.
Kritik: Is A Good Man Hard to Find (And Change)?
Mengapa budaya patriarki dianut oleh kita? Mengapa pria begitu ingin mendominasi msyarakat? Pertanyaan tentang motif pria ini adalah sesuatu yang problematis. Menurut Kramarae, pria berusaha mengontrol wanita. Namun anggapan ini dibantah oleh Tannen. Tannen setuju bahwa perbedaan gaya komunikasi antara pria dan wanita menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan. Namun Tannen menolak alasan yang diajukan Kramarae. Menurut Tannen, penyebabnya adalah gaya yang berbeda (different style) antara pria dan wanita. Kramarae membantahnya kembali dengan menyatakan bahwa alasan itu terlalu naïve. Kramarae menyalahkan hirarki politik, pendidikan, agama, legal, ras, system support gender, dan kelas. Respons kita pada muted theory bergantung pada apakah kita mendapat manfaat atau malah menjadi korban atas sistem ini.
d)     Genderlect Styles (dari Deborah Tannen)
Deborah Tannent mendiskripsikan ketidakmengertian (misunderstanding) antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada pelayanan status dan kemandiriannya.
Genderlect Styles membicarakan gaya bercakap-cakap- bukan apa yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya. Tanent meyakini bahwa terdapat gap antara laki-laki dan perempuan, dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross culture), untuk itu perlu mengantisipasi berkenaan dengan gap itu. Kegagalan mengamati perbedaan gaya bercakap dapat membawa masalah yang besar.
Perbedaan-perbedaan itu terletak pada:
·         Kecenderungan feminis versus maskulin, hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda: antara superior dan inverior dalam pembicaraan. Komunitas feminis – untuk membangun relationship; menunjukkan responsif. Komunitas maskulin – menyelesaikan tugas; menyatakan diri; mendapatkan kekuasaan.
·         Perempuan berhasrat pada koneksi versus laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power).
·         Raport talk versus report talkPerbedaan budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan perempuan. Raport talk adalah istilah yang digunakan untuk menilai obrolan perempuan yang cenderung terkesan simpatik.Report talk adalah istilah yang digunakan menilai obrolan laki-laki yang cenderung apa adanya, pokoknya sampai. Berkenaan dengan kedua nilai ini, Tanent menemukan temuan-temuan yang terkategorikan sebagai berikut:
a. Publik speaking versus private speaking, dalam kategori ini diketemukan bahwa perempuan lebih banyak bicara pada pembicaraan pribadi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat pembicaraan publik, laki-laki menggunakan pembicaraan sebagai pernyataan fungsi perintah; menyampaikan informasi; meminta persetujuan.
b. Telling story, cerita-cerita menggambarkan harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, dan nilai-nilai si pencerita. Pada kategori ini laki-laki lebih banyak bercerita dibanding perempuan-khususnya tentang guyonan. Cerita guyonan merupakan suatu cara maskulin menegoisasikan status.
c. Listening, perempuan cenderung menjaga pandangan, sering manggut, berguman sebagai penanda ia mendengarkan dan menyatakan kebersamaannya. Laki-laki dalam hal mendengarkan berusaha mengaburkan kesan itu- sebagai upaya menjaga statusnya.
d. Asking questions, ketika ingin bicara untuk menyela pembicara, perempuan terlebih dahulu mengungkapkan persetujuan. Tanent menyebutnya sebagai kooperatif-sebuah tanda raport simpatik daripada kompetitif. Pada laki-laki, interupsi dipandang oleh Tanent sebagai power-kekuasaan untuk mengendalikan pembicaraan. Dengan kata lain, pertanyaan dipakai oleh perempuan untuk memantapkan hubungan, juga untuk memperhalus ketidaksetujuan dengan pembicara, sedangkan laki-laki memakai kesempatan bertanya sebagai upaya untuk menjadikan pembicara jadi lemah.
e. Conflict, perempuan memandang konflik sebagai ancaman dan perlu dihindari. Laki-laki biasanya memulai konflik namun kurang suka memeliharanya.

G.    Komunikasi Antar Budaya
1.      Definisi Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.
Kemampuan lintas budaya terdiri atas tiga komponen, diantaranya :
a.       Komponen pengetahuan (knowledge)
Definisi dari pengetahuan adalah pemahaman akan pentingnya identitas etnik/kebudayaan dan kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Artinya, mengetahui tentang suatu identitas kebudayaan dan mampu melihat segala perbedaan, misalnya, antara ah;li identitas kolektif dan ahli identitas individu.
b.      Komponen kesadaran (mindfulness)
Kesadaran secara sederhana berarti secara biasa dan teliti untuk menyadari. Hal ini berarti kesiapan berganti ke perspektif baru.
c.       Komponen kemampuan (skill)
Kemampuan mengacu kepada kemampuan untuk menegosiasi identitas melalui observasi yang teliti, menyimak, empati, kepekaan non-verbal, kesopanan, penyusunan ulang, dan kolaborasi. Anda tahu jika anda memperoleh negosiasi identitas yang efektif jika kedua pihak merasa dipahami, dihormati, dan dihargai.
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya.
Intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture.
Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1.      Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.
2.      Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.
3.      Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.
4.      Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara.

2.      Asumsi Dasar Komunikasi Antar Budaya
Didalam buku “Intercultural Communication: A Reader” dimana dinyatakan bahwa komunikasi antar budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994:19).
Definisi lain diberikan oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003:13). Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antar budaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi.
Philipsen (dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah. Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode.
Terdapat empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:
a.       Jarak kekuasaan (power distance)
b.      Maskulinitas.
c.       Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).
d.      Individualisme.
3.      Para Pencetus dan Teori-teori Komunikasi Budaya
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori pengelolaan kecemasan/ketidakpastian (AnXiety/Uncertainty Management), teori negoisasi rupa (Face-Negotiation), dan teori kode berbicara (Speech Codes).
a)      Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. Perbedaannya dapat dijelaskan dengan apakah seseorang merupakan anggota dari sebuah kebudayaan dengan konteks yang tinggi atau kebudayaan dengan konteks yang rendah[6]. Kebudayaan dengan konteks yang tinggi sangat mengandalkan keseluruhan situasi untuk menafsirkan kejadian-kejadian dan kebudayaan dengan konteks rendah lebih mengandalkan pada isi verbal yang jelas dari pesan-pesan. Para anggota kebudayaan dengan konteks yang tinggi, seperti orang-orang Jepang, mengandalkan isyarat non-verbal dan informasi tentang latar belakang seseorang untuk mengurangi ketidakpastian, tetapi para anggota dari kebudayaan dengan konteks rendah seperti orang-orang inggris menanyakan pertanyaan langsung berhubungan dengan pengalaman, sikap dan keyakinan.
William Gudykunst menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses
meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.
Di tahun-tahun terakhir, Gudykunst telah memperluas teori ini secara mendalam, bahwa teori tersebut sekarang telah mencakup sekitar 50 dalil yang berhubungan dengan konsep diri, motivasi, reaksi, terhadap orang yang baru, penggolongan sosial, proses-proses situasional, hubungan dengan orang-orang baru, dan beberapa hal lain yang berhubungan dengan kecemasan dan keefektifan.[7] Jelasnya, kecemasan dan ketidakpastian berhubungan dengan seluruh sifat-sifat komunikasi, prilaku, dan pola-pola, serta kombinasi ini mempengaruhi apa yang kita lakukan dalam percakapan dengan orang-orang yang tidak kita kenal.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
a.       Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
b.      Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
c.       Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
d.      Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
e.       Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.
f.       Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain.
b)     Teori Negosiasi Rupa (Face Negotiation Theory)
Dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey dan koleganya, teori negoisasi rupa memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya rupa dalam kebudayaan yang berbeda.Jadi, ini adalah perluasan alami dari teori-teori tentang argumentasi. Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Budaya memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana orang berkomunikasi dan mengelola konflik satu sama lain secara individu, dan antar kelompok. Budaya memberikan kerangka acuan untuk interaksi individu dan kelompok karena terdiri dari nilai, norma, kepercayaan, dan tradisi yang memainkan peranan besar dalam bagaimana seseorang atau kelompok mengidentifikasi diri. Dr Ting-Toomey menyatakan bahwa konflik dapat berasal baik dari benturan langsung dari kepercayaan budaya dan nilai-nilai, atau sebagai akibat dari misapplying harapan tertentu dan standar perilaku untuk suatu situasi tertentu. Face-Negosiasi Teori mengidentifikasi tiga masalah tujuan bahwa konflik akan berkisar:. Konten, relasional, dan identitas.
Konten tujuan konflik adalah isu-isu eksternal yang individu memegang dalam hal tinggi. Tujuan konflik relasional, seperti namanya, lihat bagaimana individu mendefinisikan, atau idealnya akan mendefinisikan hubungan mereka dengan anggota lain dalam situasi konflik. Akhirnya, identitas gol berbasis melibatkan masalah konfirmasi identitas, rasa hormat, dan persetujuan dari anggota konflik. Tujuan ini memiliki koneksi terdalam dengan budaya dan mereka yang paling langsung berhubungan dengan menyelamatkan muka isu.
Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a.       Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.
b.      Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.
c.       Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d.      Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e.       Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.
Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other -face.
c)      Teori kode berbicara (Speech Codes Theory)
Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:
a.       Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.
b.      Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c.       Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d.      Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e.       Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.
Asumsi Dasar dan Uraian Teori
Teori kode berbicara mengacu pada kerangka kerja untuk komunikasi dalam masyarakat tutur tertentu. Sebagai disiplin akademis, ini mengeksplorasi cara di mana kelompok berkomunikasi berdasarkan sosial, jenis kelamin budaya, pekerjaan atau faktor lainnya. Sebuah kode berbicara juga dapat didefinisikan sebagai "sistem konstruksi sosial historis berlaku istilah, makna, tempat, dan aturan, tentang perilaku komunikatif."
Definisi dasar dari kode berbicara sosiolog Basil Bernstein adalah, "sebuah prinsip coding adalah aturan yang mengatur apa yang harus dikatakan dan bagaimana mengatakannya dalam konteks tertentu" (Miller, 2005).
Menurut profesor komunikasi dan penulis Katherine Miller (2005), teori kode berbicara memiliki latar belakang dalam antropologi, linguistik dan komunikasi. Pengaruh penting lainnyaadalah karyaantropolog danahli bahasa DelHymes (Miller, 2005). Fokusnya adalah pada praktek pidato lokal dalam situasi budaya dansosial.
Dell Hymes menemukan model berbicara yang akan membantu dalam kode berbicara di komunitas tertentu (sebagaimana dilaporkan oleh Miller), diantaranya:
·         Situasi (pengaturan atau adegan)
·         Peserta (analisis kepribadian dan posisi sosial atau hubungan)
·         Ends (tujuan dan hasil)
·         Kisah Para Rasul(pesan, bentuk, isi, dll)
·         Kunci (nada atau mode)
·         Sarana (saluran atau modalitas digunakan)
·         Norma (kerangka kerja untuk memproduksi dan pengolahan pesan)
·         Genre (jenis interaksi)













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Memahami konteks komunikasi di dalam kehidupan sehari-hari adalah salah satu cara untuk mengetahui komunikasi lebih jauh. Dengan memahami konteks komunikasi, berarati kita telah paham membedakan macam-macam bentuk komunikasi, mulai dari komunikasi diri sendiri (intrapersonal) sampai dengan komunikasi yang secara luas. Lahirnya konteks komunikasi tentunya ada teori yang mendasari adanya konteks komunikasi, tidak ada satu konteks komunikasi-pun yang tidak mempunyai teori yang mendasarinya. Tentunya para ahli atau para pencetus menemukan teori tersebut bukanlah mudah seperti yang kita bayangkan, banyak proses yang tentunya terjadi. Para peneliti menemukan teori biasanya mengikuti teori yang sudah ada, jadi antara konteks komunikasi dan teori-teori yang mendasari adalah satu kesatuan utuh dan tentunya tidak dapat terpisahkan antara keduanya.


DAFTAR PUSTAKA
Baran, Stanley J. & Dennis K. Davis. 2003. Mass Communication Theory:
Foundation Ferment, and Future. USA: Wadsworth.
Denis, Mcquaild. 1996. Teori komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga.
Graeme Bruton .1990.  More Than Meets The eye: An Introduction to Media Studies. Newyork.
http://books.google.co.id/books /audience+dalam+media+massa&source/
Jalaluddin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
McQuail. 1987. Teori Komunikasi Massa edisi 2. Jakarta: Erlangga.
Mcquail. 2000. Mass Communication Theory. London: SAGE Publication.
Nurudin. 2003. Komunikasi Massa. Malang: CESPUR.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo.
Riverd William L. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: PT
Kencana.
Sari, Endang S. 1993. Audience Research. Yogyakarta: Andi Offset



Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking